Jumat, 15 Juli 2011

♥ .:| Ketika Cinta Harus Memilih Bag. 4 |:. ♥


setelah aku menyampaikan tawaranku pada Vita. kami pun jarang berhubungan, hanya terkadang saja ketika seperti yang telah kusebutkan cuma ketika punya sms nasihat saja saling ingat mengingatkan dalam kebaikan.

pasca bencana merapi mereda dan aku pun kembali ke bangku perkuliahan seperti biasa. sibuk dengan kuliah sibuk juga dengan organisasi dakwah kampus. tapi tentu aku menitik beratkan pada kuliahku. tapi ku berusaha tetap seimbang keduanya.

suatu ketika dalam serangkaian sms ku dengan Vita. dia bertanya padaku
"ehm. maaf ya mas sekarang aku belum bisa menjawab tawaran mas waktu itu. tapi mas punya cadangannya kan selain aku?" kata Vita
"cadanganya belum jelas. Insya Allah sebelum kamu memberikan jawaban pasti aku belum akan mencari yang lain" kataku
"soalnya gini mas, setelah lulus nanti aku diberik amanah oleh orang tua ku untuk menggantikannya, trus ayahku memintaku setelah lulus untuk bekerja di Belanda" jawabnya

setelah menerima jawaban itu aku merasa seperti tidak memiliki harapan lagi akan dirinya. dilihat dari sisi materi sepertinya dia jauh lebih mapan dari keluargaku. tapi aku ingat akan sebuah hadits yang mana Allah SWT tidak memandang rupa dan harta, tapi melihat hati dan amal kita. “Sungguh Allah tidaklah melihat kepada rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat hati dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim).

"yang namanya rizki sudah ada yang mengatur, alangkah baiknya aku syukuri saja segala nikmatNYA padaku. masih banyak orang yang bernasib tidak sebaik aku, masih ada orang yang untuk makan saja masih susah. ah, aku takut jika aku melihat orang di atasku terus nanti malah jadi orang yang kufur akan nikmatNYA. lagi pula Allah melihat dari sisi Ketakwaan seseorang" gumamku dalam hati

setelah percakapan di atas aku jagi kepikiran tentang cadangan. dan inilah awal dari kesalahanku bermula. aku tidak menepati janjiku untuk menunggu kepastian jawabannya. ya Allah bodohnya aku ini

saat itu aku kenal dengan seorang wanita muslimah yang aktif dalam dakwah baik untuk akhwat maupun yang campur. dia memiliki pemahaman akan Islam yang bagus, keistiqomahannya Insya Allah tak diragukan lagi. sebut saja namanya Nia. sering kami berdiskusi sama sama dan akhirnya dia menawariku untuk membantunya untuk menjadi salah satu admin di pagenya.
"Akhi. mau gak bantuin aku? tanya Nia padaku
"bantuin apa ukh? jawabku
"akhi mau gak bantu aku jadi admin page ku"jawabnya
"jika menurutmu aku mampu. Insya Allah ku bantu"jawabku
"ok, tunggu konfirmasi dari aku ya"jawabnya
"iya" jawabku

beberapa waktu berselang dia memintaku untuk posting artikel dipagenya.
"akhi, posting artikel dong dipage kita." katanya waktu itu lewat inbox
"ok" jawabku
akupun posting sebuah artikel yang aku ambil dari aplikasi al sofwah buletin yang pernah ku download.
"artikelnya bagus akh" kata Nia lewat inbox
"alhamdulillah" jawabku

setelah itu aku pun aktif di page dakwah itu. dan hubungan kami berdua pun semakin dekat. sebelumnya lewat inbox saja sekarang kami sering sms. untuk memudahkan dalam hubungan ketika ada sesuatu di page kami. karena terkadang ada posting liker yang agak "nyeleneh" kami langsung saling menghubungi untuk segera ditindak lanjuti.

♥.:| Ketika Cinta Harus Memilih bag. 3|:. ♥

Setelah kepulanganku dari posko pengungsi, aku kembali ke kampus bersama teman2 ku satu tim. sesampainya dikampus aku pun bergegas mencari temanku dari panitia pusat untuk meminta kunci motorku karena sebelum berangkat kesana motorku dipinjam olehnya. namun ternyata temanku sedang mengantarkan relawan untuk pergantian shift.

aku pun menunggu di ruang basecamp salah satu organisasi dakwah kampus yang aku ikut di dalamnya. setelah lama menunggu akhirnya dia datang
"assalamu'alaikum" kata mas Bondi
"wa'alaikum salam warah matullah" jawabku
"sorry ya boy, aku tadi nganterin relawan dulu" kata mas bondi
"ok, gak papa mas. aku langsung pulang dulu ya" kataku
"o ya, hati hati" jawabnya
aku pun pulang ke masjid tempat aku tinggal, kebetulan aku tidak nge kos karena aku takut terpengaruh dengan anak anak kos yang sering bergaul terlalu bebas. yah sekalipun tidak semua, lebih baik mencegah daripada sudah terlanjur kan.

sampai dimasjid, aku masuk kamar dan langsung merebahkan badanku. letih capek ngantuk campur aduk jadi satu. sambil tepar di kasur aku tiba tiba aku berpikir sesuatu, tentang anak anakku disana dan juga tentang Vita.
"ah, semoga aja bapak bapak dari FKAM dapat mendampingi anak anak itu. ehm kalo Vita?? kenapa aku mikirin dia. astaghfirullah...." gumamku dalam hati
"oh iya, ku sms aja dia. aku ngirim sms ke dia "harus kenal. Zaini" pesanku singkat
"oh iya mas, afwan tadi gak sempat pamitan" balasnya
"iya gak pa2"jawabku

suatu malam aku pernah mengajak dia diskusi tentang pacaran anak anak muda. ternyata dia adalah salah satu wanita yang tak setuju akan pacaran karena dalam Islam tidak diperbolehkan. dan dia juga belum pernah sekalipun yang namanya pacaran sama seperti aku, padahal menurutku kalo dia mau jadi playgirl sekalipun dia pasti bisa. sampai sampai dia cerita kadang kadang bingung bagaimana cara menolak lelaki yang mengajak dia pacaran

hari hari ku selanjutnya ku jalani seperti biasa. karena masih libur sampae waktu yang tidak ditentukan aku pun pulang ke kampung halamanku yang masih disalah satu kabupaten di jogja. aku masih berhubungan dengan dia tapi hanya sebatas saling sms nasihat saja, gak lebih dari itu.

singkat cerita suatu hari Vita tiba tiba mengirimkan pesan singkat padaku.
"assalamu'alaikum"
"wa'alaikum salam" balasku
"mas boleh tanya sesuatu?" tanya dia
"boleh, silahkan..."jawabku
"dulu mas pertama kali sms aku "harus kenal" begitu, apa ada yang belum sempat tersampaikan??" tanya dia
"ehm. gak kok. memangnya kenapa?" jawabku
"oh gak cuma tanya aja. o ya mas boleh aku minta bantuan mas?"
"boleh. bantuin apa ya?" jawabku
"gini mas, aku baru saja diajak pacaran dengan seorang lelaki namanya Luki, aku sudah menolaknya tapi dia tetap gak mau terima, mas mau gak kirim dia sms mas ngaku kalo mas adalah pacarku, aku udah bingung banget harus berbuat apa"katanya
"waduh gimana ya, emm... mana nomernya. tapi aku gak enak e. aku bayangin kalo posisiku ada pada orang itu. pasti dia bakalan sakit hati banget."
"ini mas nomernya 08XXXXXXX, tolong ya mas, dosa nya aku yang nanggung"jawabnya
aku pun langsung menuruti permitaannya mengirimkan sms pada orang yang disebutkan tadi. ternyata dugaanku benar, sepertinya dia begitu kecewa. tapi apa boleh buat. karena sepertinya saat itu ada kesempatan untuk sekedar memberikan suatu tawaran padanya. aku pun memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu padanya
"o ya vit. btw sudah berapa orang yang sudah kamu tolak? tanyaku
"gak tau mas, banyaklah."jawabnya
"kalo aku daftar, udah urutan keberapa? tanyaku
"ehm. ah mas ini ikut ikutan juga" jawabya
"tapi aku berbeda dari mereka yag mengajakmu pacaran. aku mengajakmu untuk menikah suatu saat nanti. ya seperti katamu tidak ada pacaran dalam Islam"jawabku
"ehm...beri aku waktu mas, aku belum bisa menjawab sekarang. untk saat ini kita jadi saudara saja ya" jawabnya
"ok. gak papa. Insya Allah aku sabar menunggu jawabanmu. lagi pula planing untuk sampai disana juga masih lama" jawabku
"iya mas. mas istikharah aja dulu. aku pun juga begitu" jawabnya
"ok. Insya Allah"

setelah percakapan itu. kami jarang berhubungan, cuma seperti biasa kadang kadang kalo punya sms nasihat kami sering saling mengingatkan.

ღ☆ღ*♥*ღ☆ Ketika Cinta Harus Memilih bag. 2 ☆ღ,¤¤*♥ღ☆ღ

hari kedua aku jadi relawan aku mencoba mewujudkan keinginanku semalam untuk mengajak anak2 pengungsi untuk belajar sholat sama sama. waktu itu aku minta ijin terlebih dahulu kepada panitia pengurus setempat. alhamdulillah mereka mengizinkan, dan justru mereka menyerahkan semuanya pada kami. tapi ketika itu ada satu masalah. aku butuh alat untuk menampilkan film kartun sifat sholat Nabi ini dalam hal ini monitor atau LCD proyektor.
"pak, ini nantikan saya butuh alat pembantu untuk mengajari anak anak belajar sholat, saya butuh monitor pak, boleh saya pinjam pak?" tanyaku
"waduh maaf mas, sepertinya gak bisa" kata bapak2 yg bertugas jaga disana
"oh yasudah pak, makasih" kataku

aku pun berpikir, putar otak gimana nanti aku bisa menampilkan film ini. akhirnya kuputuskan untk menghubungi panitia pusat dikampusku
"assalamu'alaikum, mas mau tanya, nanti shift pergantian relawan dari psikologi datang jam berapa ya? bisa gak kalo nanti dibawakan LCD proyektor dari kampus?" tanyaku,
"wa'alaikum salam, insya Allah nanti sore. ok nanti kuusahakan"kata temanku dari panitia pusat kampus
"alhamdulillah, makasih mas" kataku

sambil menunggu, ternyata anak anak pengungsi pada berkumpul ditenda relawan. ku manfaatkan untuk mendekati mereka.
"eh kalian udah pada bisa sholat belum" tanyaku
"belum mas" kata salah satu dari mereka, kulihat yang lain pun juga begitu kelihatannya
"oya, nanti sore kita nonton kartun yuk, sifat sholat Nabi. mau gak?
"nanti sore mas? ya mas mau mau" kata mereka
senang nya hati ku, jalanku dipermudah oleh Allah untuk mengajari mereka

beberapa saat kemudian datang Vita menghampiriku
"ehm, mas bisa minta tolong? tanya Vita
"iya bisa, ada apa? kataku
"gini mas, itu saya ada pasien yang tensi darahnya sampai 200 an,sekarang dia saya ajak ngobrol, tapi saya kesulitan bahasa, mas bisa bahasa jawa kan? bantuin ya? kata Vita
"ok, dimana sekarang? tanyaku
"disamping ruang medis mas" jawabnya

kami pun kesana. saat masuk ruangan kudapati seorang wanita paruh baya yang berlinang air mata dipipinya.
"bu, ngapunten, ibu kengeng menopo? tanyaku pake bahasa jawa
"ngeten mas, kulo wingi niku pas merapi meletus pisah kalian garwo kulo mas"kata ibu itu
"sakniki, ibu sampun ngertos garwo njenengan wonten pundi?tanyaku
"sakniki wonten posko desa liyo mas, kaliyan anak kulo, nanging kulo dereng tenang mikir garwo kulo sakniki" jawab ibu itu
aku pun menjelaskan pada Vita kalo dia terpisah dengan suaminya, dan sekrang suaminya ada diposko pengungsi lain, tapi dia memikirkannya dan belum bisa tenang.
"ibu shalat nopo mbotenn bu?"tanyaku
"mboten mesti mas"jawabnya
"geh mpun sakniki kajenge ibu tenang ibu sholat rumiyen njeh"kataku
dia pun mau dan ku minta Vita untuk membimbingnya dalam shalat

sore harinya alhamdulillah proyektor sudah ditangan. kukumpulkan anak anak pengungsi ke masjid darurat dibantu oleh teman temanku relawan lain termasuk dari LSM FKAM (Forum Komunikasi Aktivis Masjid) setempat
"assalamu 'alaikum...warah matullahi....wabarakaatuh"kuucapkan salam pada mereka
"wa'alaikum salam warah matullahi wabarakaatuh" jawab mereka dengan nada khas anak anak sama persis seperti masa kecilku dulu
" alhamdulillah....nah adek adek sekarang Mas Zaini mau ngajak nonton bareng sifat sholat nabi, tolong diperhatikan ya? nanti kita praktek sama sama" kataku
mereka pun hnya melongo tanpa ekspresi, akupun langsung memutarkan film itu

setelah film selesai diputar, ternyata adzan maghrib udah terdengar. akupun mengajak mereka untuk wudhu sama sama sambil membimbing mereka. alhamdulillah mereka antusias sekali melaksanakannya. dan kami pun shalat maghrib berjamaah. seusai itu kami bubar sendiri sendiri untuk makan malam

aku kaget waktu itu baru jam 7 kurang anak anak itu sudah mencariku
"mas udah shalat lagi belum" tanya mereka
"belum masih sekitar setengah jam lagi, nanti aja kalo dengar adzan kalian langsung kemari ya"kataku
betapa senang nya hatiku waktu itu karena ke antusiasan anak anak itu. bahkan keesokan harinya mereka bangun lebih dahulu daripada aku untuk mengajaku shalat subuh. subhanallah......

hari ketiga adalah hari terakhir bagiku bertugas disana, ternyata Vita sudah kembali pulang karena dia sudah bertugas disana selama 6 hari. tidak ada satu pun kalimat perpisahan yang terucap diantara kami. hari terakhir ini adalah hari terberatku karena harus meninggalkan anak anak emasku yang masih perlu banyak pendampingan. sempat aku ditanya oleh pihak LSM FKAM
"mas disini berapa hari? kembali kesini lagi gak mas?" tanya mereka padaku
"Insya Allah hari ini saya pulang pak, seperti nya saya tidak kembali kesini" jawabku, aku tak tau mengapa mereka tanya seperti itu padaku

sore hari aku pulang kejogja bersam kawan kawan lainnya. rasanya ada sesuatu yang mengganjal dihatiku. tapi ku tak tau itu apa. di dalam mobil, kami saling bertukar nomer hp satu sama lain. dan aku pun minta nomer hp Vita pada temanku yang lain. tapi hari sebelumnya memang Vita sudah meminta nomer hpku terlebih dahulu, jadi menurut ku tak masalah

♥ ♥ { [ Ketika Cinta Harus Memilih Bag. 1 ] } ♥ ♥

kisah ini bermula sekitar setahun yang lalu di suatu pagi yang tak begitu cerah ku buka mata ini saat mendengar suara adzan yang bersaut sautan dipagi yang masih cukup gelap dipandangan mata. setelah subuh ku baca beberapa halaman Al Qur'an dan setelah itu karena mataku masih agak mengantuk aku tidur lagi, kebetulan hari ini aku kuliah agak siang. o iya aku disini adalah seorang lelaki sederhana yang sedang menimba ilmu dibangku perkuliahan di salah satu universitas swasta dijogja, sebut saja aku Zaini.

setelah bangun betapa kagetnya aku melihat diluar masjid tempat aku tinggal, debu bertebaran menutupi atap lantai 2 masjidku. setelah aku turun ternyata di bawah pun tak jauh berbeda. hari itu gunung merapi sedang menunjukan aktivitasnya memuntahkan isi perut bumi.

setelah mandi dsb aku berangkat kuliah. disepanjang jalan mobil, motor, bis, jalan raya hampir semua diselimuti oleh debu merapi. mungkin ini semua adalah sebuah sebuah ujian bagi penduduk jogja dan warga sekitar merapi khususnya bagi mereka yang berpikir dan mampu bermuhasabah diri akan peringatan-Nya

ternyata hari itu kuliah diliburkan hingga sampai batas waktu yang tidak ditentukan. ketika itu aku senang karena bisa sedikit istirahat namun juga sedih karena teringat akan saudara saudaraku yang sedang terkena musibah.

pada hari berikutnya dari organisasi mahasiswa kampus membuka pendaftaran relawan merapi dan bantuan logistik. kuputuskan untuk ikut menjadi relawan ke sebuah daerah di dekat candi Prambanan selama 3 hari. setelah kumandaftarkan diri hari itu juga aku berangkat kesana.

sampai disana aku bingung harus berbuat apa, dan akhirnya ku diajak oleh relawan yang bertugas sebelumnya untuk berkenalan dengan relawan lain. dan disinilah awal pertemuanku dengan seorang gadis jelita dan muslimah dari tim medis regu penolong sebut saja dia Vita.
"assalamu'alaikum" ucapku saat memasuki ruangan tim medis
"wa'alaikum salam" jawab mereka
"oh ya ni temen2, perkenalkan ada relawan baru dari kampus kami yang akan menggantikan relawan sebelumnya" kata mas Pebri ketua tim relawan dari kampusku di tempat pengungsian itu
sambil mengatupkan tanganku "kenalin, Zaini" katakau
"oh iya, vita"
dan seterusnya aku berkenalan dengan tim medis lain. waktu itu aku masih biasa biasa saja, dan begitu pun dengan dia

keesokan harinya kami tim relawan dari kampusku diajak sarapan bareng dengan relawan tim medis semalam termasuk juga vita. sambil makan kami ngobrol ngalor ngidul untuk mengenal satu sama lain. setelah makan kami pun membereskan piring gelas dsb. setelah selesai kami dari kampusku dan relawan salah satu kampus lain mencoba membuat kegiatan untuk anak2. pagi itu kami sepak bola bersama anak2. begitu menyenangkan dan juga melelahkan

hari berikutnya aku berpikir mengapa aku tidak mengajari anak anak sholat saja? kulihat setiap sholat jamaah di masjid darurat hanya sedikit yang ikut sholat berjamaah. kebetulan di netbookku ada kartun sifat sholat Nabi yang Insya Allah menarik untuk mereka.

### DI LANGIT ASA (Part VI) ###


Hari menjelang Maghrib. Syifa baru saja tiba di rumahnya setelah beraktivitas selama seharian. Ia langsung menyambar komputernya begitu masuk ke dalam kamarnya. Ia sudah tidak sabar lagi untuk membuka e-mailnya sejak mendapatkan sms dari Eggi siang tadi. Rasanya ia sudah tidak dapat menahan lagi rasa penasarannya terhadap ikhwan yang hendak dita’arufkan Eggi dengannya. Maka, begitu Syifa tiba di rumah, ia pun langsung menghidupkan komputernya dan membuka e-mailnya.

Benar saja! Seperti yang dikatakan Eggi, data beserta foto ikhwan tersebut memang sudah dikirimkan Eggi ke alamat e-mailnya. Syifa membacanya sejenak. Biodatanya begitu singkat dan sederhana. Kata-kata pembuka dan penutupnya pun begitu sederhana. Sesederhana namanya yang penuh makna, Muhammad Fikri. Usianya hanya terpaut 3 bulan dengan Syifa. Ia merupakan karyawan pabrik sebuah perusahaan elektronik ternama. Lulusan SMU dan saat ini sedang kuliah S1 teknik elektro. Ikhwan itu anak keempat dari 5 bersaudara.

Tak terlalu banyak keterangan yang diperoleh Syifa karena begitu singkatnya biodata ikhwan tersebut. Namun bagian akhir biodata sederhana itu sangat menarik perhatian Syifa. ikhwan itu menuliskan sebaris ayat pertama dari surat Al-Qalam :

Nun. Wal qalami wamaa yasthurun.

Syifa tertegun membacanya. Ia tahu persis arti dari ayat itu, ‘Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.’ Sekian kali ta’aruf, baru kali ini Syifa mendapatkan biodata yang sederhana & mencantumkan sebuah ayat yang sangat disukainya. Berbagai pertanyaan pun hinggap di kepala Syifa. Begitu perhatiankah ikhwan itu pada kegemarannya? Begitu dalamkah pemahaman ikhwan itu terhadap agamanya hingga ia tahu sebuah ayat dimana Allah bersumpah demi pena?! Dan… masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membuat Syifa semakin penasaran dengan jawabannya. Syifa pun mengakui kalau biodata sederhana itu sangat memikat hatinya dan membuatnya ingin tahu seperti apa sebenarnya ikhwan itu.

Syifa menurunkan tampilan layar komputernya hingga tampaklah wajah Muhammad Fikri yang membuatnya penasaran itu. Syifa memperhatikan foto itu sesaat. Tak ada yang menarik dari penampilan ikhwan itu. Ia terlihat sederhana seperti biodata yang dibuatnya. Wajahnya bulat putih dan terlihat dewasa. Akankah Syifa melanjutkan proses ta’aruf dengan ikhwan itu? Syifa belum bisa menjawabnya. Ia harus istikharah terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan yang terbaik.

"Ku pInang engkau dengan Al-Qur'an....," Suara merdu milik Gradasi yang menembangkan Ku Pinang Dengan Al-Qur’an kembali terdengar dari ponsel Syifa dan membuyarkan perhatian Syifa dari layar komputer.

“Pasti Eggi,” pikir Syifa seraya merogoh ke dalam tasnya. Setelah mendapatkan ponselnya, Syifa melihat layar ponselnya, ternyata Rahma, sahabat Syifa yang dahulu pernah mengaji bersama dengannya.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, Fa?,” jawab Rahma di seberang telepon.

“Khair Alhamdulillah. Ada apa, Ma? Gak biasanya telfon.”

“Hehe..iya nih. Aku ada perlu sedikit sama kamu."

“Perlu apa?,” Syifa penasaran mendengarnya.

“Begini, Fa. Aku punya sepupu ikhwan yang seusia sama kamu. Namanya Firdaus. Dia lulusan sarjana informatika dan sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah, PNS pula. Orangnya pendiam seperti kamu, akhlaknya baik, bacaan al-qur’annya bagus, hafalannya lumayan dan dia sedang mencari akhwat yang siap menikah. Kalau kamu belum ada calon, aku ingin menta’arufkan kamu sama sepupuku itu,” ujar Rahma langsung menjelaskan maksudnya menghubungi Syifa.
Syifa menarik napas.

“Kalau calon, terus terang aku memang belum punya.”

“Alhamdulillah.”

“Tapi, Ma. Aku baru saja memulai proses dengan seorang ikhwan.”

“Sejauh mana?.”

“Baru saling tukar CV aja. Bertemu pun belum.”

“Berarti masih ada kesempatan donk. Toh kamu belum dikhitbah dan belum ada kesepakatan apa-apa.”

“Yaa…memang belum sih.”

“Ya sudah, kalau begitu nanti aku kirimkan data dan fotonya besok ke e-mail kamu. Ya, sebagai bahan pertimbangan gak apa-apa kan. Kamu istikharah ja minta petunjuk Allah pilihan yang terbaik. Oke?!.”

”Baiklah, aku tunggu CV-nya. Setelah mantap dan yakin, insya Allah nanti aku kabari,” Syifa akhirnya menyetujui juga.

“Oke! Insya Allah segera aku kirimkan CV-nya. Wassalamu’alaikum,” sahut Rahma dengan nada riang.

Syifa menghela napas. Kali ini ia harus menghadapi 2 pilihan yang sangat sulit dan sama sekali tidak tahu mana yang lebih baik untuknya. Kedua ikhwan itu sama-sama belum dikenalnya. Ia sama sekali tidak tahu seperti apa kedua ikhwan tersebut. Syifa sungguh tidak mengerti harus memilih yang mana. Sepupu Rahma yang sudah PNS dan sarjana, ataukah Fikri yang hanya seorang karyawan pabrik. Syifa sungguh-sungguh tidak tahu.

“Ya, Rabb… berilah hamba petunjuk-Mu mana yang terbaik bagi hamba dari keduanya sehingga hamba tidak salah memilih. Amin…,” do’a Syifadi dalam hati.
Sayup-sayup suara azan Maghrib terdengar dari pengeras suara masjid dan mushola-mushola yang berada di lingkungan tempat tinggal Syifa. memanggil insan-insan yang beriman untuk menghadap Rabb yang telah menciptakannya dalam khusyuknya shalat.


*****



Ahad pagi yang cerah. Secerah penampilan Syifa siang itu dengan gamis kuning bermotif kotak-kotak berwarna biru langit yang berpadu dengan jilbab kuning muda. Wajahnya pun terlihat begitu cerah meski ia merasa tidak ada yang membuatnya merasa sangat gembira hari itu. Hatinya justru sedang berdebar-debar tak karuan tanpa bisa dikendalikannya. Padahal ini bukanlah pertama kalinya Syifa hendak ta’aruf dengan seorang ikhwan. Tapi itulah yang terjadi setiap kali ta’aruf, hatinya selalu saja berdebar tidak karuan.

Syifa menarik nafas dalam-dalam seraya berusaha menata hati dan mengendalikan debar-debar yang dirasakannya. Ummi Zakky yang diam-diam memperhatikan Syifa, tersenyum melihat tingkah Syifa. Bukan sekali ini murabbiyahnya itu melihat Syifa seperti itu. Sejak sang murabbinya pertama kali menta’arufkan Syifa, sejak itu pula ia selalu melihat Syifa seperti itu. Dan …. lagi dan lagi, murabbiyahnya itu hanya tersenyum melihatnya. Karena semua itu adalah fitrah setiap manusia yang memiliki akal dan perasaan.

Syifa kembali menarik nafas. Angannya melayang jauh pada foto ikhwan yang akan ta’aruf dengannya hari itu. Foto yang dikirimkan beserta CV ke alamat e-mailnya seminggu yang lalu. Entah seperti apa wajah asli ikhwan itu. Akankah sama persis seperti yang ada di foto, bulat putih dan terlihat dewasa, ataukah ternyata jauh berbeda dengan yang tergambarkan di foto. Syifa sungguh penasaran karenanya.

Muhammad Fikri. Akhirnya Syifa memilih untuk berta’aruf dengan sahabat baik Eggi itu dari pada Firdaus, sepupu Rahma yang PNS. Entah apa yang membuat Syifa lebih mantap untuk berta’aruf dengannya. Yang ia tahu, kalau hatinya lebih yakin untuk berta’aruf dengannya. Syifa terus berdoa dan berharap semoga pilihannya adalah yang terbaik untuknya.

Usia Fikri 6 tahun di atas Eggi. Karena itu Eggi sudah menganggapnya seperti kakak sendiri. Entah apa yang membuat ikhwan itu bersedia ta’aruf dengan Syifa hingga bersedia jauh-jauh datang dari kota hujan, Bogor ke kota Patriot, Bekasi. Padahal Syifa dan Eggi belum lama kenal dan kenal pun hanya dari jauh. Jangankan mengenal persis pribadi masing-masing, bertemu langsung pun mereka belum pernah. Selain itu, kota Bogor dengan IPB-nya yang terkenal, menyimpan begitu banyak akhwat-akhwat aktivis dakwah yang luar biasa. Sungguh, Syifa tak habis pikir karenanya. Ia hanya berharap itu semua adalah sebuah tanda bahwa ikhwan itu memang jodohnya. Bukankah tak ada hal yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak?!!

Dan kini, baik Eggi maupun Fikri benar-benar berada di hadapan Syifa. Mereka duduk berjejer tepat di hadapan Syifa. Di sebelah kiri Fikri, duduk seorang laki-laki yang usianya terlihat lebih tua beberapa tahun di atas mereka. Laki-laki itu tidak lain adalah murabbi Fikri.

“Subhanallah…. Mereka benar-benar datang,” gumam Syifa pelan, nyaris tidak terdengar. Ia segera membenamkan wajahnya dalam-dalam sambil terus berusaha menghilangkan geroginya agar tak terlihat salah tingkah di hadapan mereka. “Bismillah…. Ya Allah, jika memang ia jodohku, mantapkanlah hatiku dan mudahkanlah segalanya. Namun jika bukan, lapangkanlah hatiku agar bisa menerima segala ketetapan-Mu dengan ikhlas,” doa Syifa dalam hati.

Tanpa banyak basa-basi, suami Ummi Zakky yang merupakan pemilik rumah tempat ta’aruf itu dilaksanakan segera membuka dan memimpin acara hari itu. Acara dimulai dengan perkenalan antar kedua murabbi, yaitu Ummi Zakky dan murabbi Fikri. Eggi juga tidak ketinggalan memperkenalkan dirinya pada Ummi Zakky mengingat dialah yang sejak awal berperan menjodohkan Fikri dan Syifa.
Setelah saling berkenalan, acara inti pun dimulai. Fikri sebagai tamu, lebih dahulu memperkenalkan dirinya dan menjelaskan kondisi dirinya dan keluarganya. Tak ketinggalan pula ia menjelaskan mengenai tujuannya menikah beserta semua visi misi dan harapan-harapan yang ingin diwujudkannya dalam sebuah pernikahan.
Fikri terlihat begitu santai. Bahkan sesekali candaan kecil meluncur dari mulutnya sehingga membuat suasana tidak terlihat kaku dan sangat formil. Emosinya tampak sangat terkontrol dan dapat menguasai keadaan. Mungkin karena usianya yang sudah cukup matang dan usia tarbiyahnya yang sudah cukup lama. Jauh berbeda dengan Syifa yang sejak awal kedatangan Fikri tadi sudah sangat tegang. Sehingga ia pun tak dapat berkata banyak dan tampak begitu kaku meski terkadang ia ikut tersenyum manakala Fikri berusaha mencairkan suasana dan ketegangan yang dirasakannya.

Seperti biasa, Ummi Zakky mengingatkan keduanya akan semua konsekuensi yang harus dijalani setelah pernikahan, seperti tinggal mengikuti suami dan memiliki anak. Ia meminta Syifa dan Fikri membicarakannya agar nantinya mereka sama-sama tahu dan lebih mantap dalam mengambil keputusan langkah berikutnya.

Tepat saat azan Zuhur berkumandang, ta’aruf hari itu pun selesai. Tinggal memutuskan langkah selanjutnya, apakah proses ta’aruf tersebut akan diteruskan hingga ke pelaminan, ataukah cukup hanya sampai di situ. Keduanya bergantung pada keputusan serta kemantapan hati Syifa dan Fikri.

Suami Ummi Zakky yang menjadi pembawa acara hari itu, menunda sejenak acara untuk memenuhi panggilan azan yang telah berkumandang. Ia mengajak Eggi, Fikri beserta murabbinya untuk menunaikan shalat berjama’ah di masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah Ummi Zakky. Sedangkan Ummi Zakky dan Syifa shalat berjama’ah di rumah.

Ahad siang itu, kembali …. harapan-harapan Syifa beterbangan ke langit bersama untaian doa-doa yang dipanjatkan dalam setiap sujud-sujudnya. Harapan dan doa-doa yang terus beterbangan tinggi menembus lapisan demi lapisan langit hingga ke ‘arsy, di mana Rabb-nya berada. Seraya terus berharap Sang Rabb akan mengabulkan pintanya, mengabulkan segenap doa-doanya.
Usai menunaikan shalat Zuhur, Syifa melaksanakan shalat istikharah 2 raka’at untuk meminta petunjuk dan kemantapan hati apa yang harus diputuskannya nanti. Begitu pula dengan Fikri. Di masjid ia juga melaksanakan shalat istikharah dan berdoa memohon petunjuk Allah. Mereka berdua sadar betul kalau jodoh merupakan rahasia Illahi Rabbi. Dan hanya Allah yang memutuskan segala sesuatu di bumi ini. Hanya Allah yang Maha Berencana. Hanya Allah pula yang Maha Tahu mana yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Suami Ummi Zakky kembali membuka acara setelah tadi sempat ditunda selama hampir setengah jam karena masuk waktu Zuhur. Setelah mereka semua menunaikan shalat Zuhur dan berkumpul lagi, barulah acara dimulai kembali. Suami Ummi Zakky memberikan sedikit tausiyahnya pada Syifa dan Fikri terlebih dahulu sebelum mendengar keputusan Syifa dan Fikri akan kelanjutan proses yang mereka jalani hari itu.

Selesai suami Ummi Zakky bertausiyah, barulah Syifa dan Fikri diminta menyatakan keputusan mereka masing-masing. Syifa diminta mengutarakan keputusannya terlebih dahulu. Wajahnya terlihat lebih fresh seusai shalat. Sikapnya pun tampak lebih tenang dan rileks kali ini meski debar-debar di hatinya belum kunjung menghilang juga.

Syifa tertunduk sesaat dan terdiam. Ia sadar segenap perhatian kini tertuju padanya. Namun ia berusaha tetap tenang seraya menyusun baris-baris kalimat yang akan disampaikannya nanti.

Beberapa menit kemudian, baru terdengar baris suara lembut Syifa dari bibirnya.

“Bismillahirrahmanirrahim… Rabbi shrahli shadri wayassirli amri wahlul uqdatan millisani yafqahu qauli. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesempatan berta’aruf dengan akhi Fikri hari ini dalam rangka berproses secara syar’i demi untuk menunaikan sunnah Rasulullah dan menggenapkan separuh agama ini. Setelah istikharah ba’da shalat Zuhur tadi, insya Allah ana yakin dan mantap untuk melanjutkan proses ta’aruf ini ke proses selanjutnya dan membina sebuah keluarga yang samara dengan akhi Fikri,” ucap Syifa penuh kemantapan.

“Namun kelanjutan proses ini, bukan hanya pada keputusan ana semata. Keputusan selanjutnya ana serahkan pada akhi Fikri. Apa pun keputusannya, insya Allah ana siap menerimanya dengan kelapangan hati,” lanjut Syifa tawakal.

Selesai Syifa menyampaikan keputusannya, giliran Fikri yang berganti menyatakan keputusannya pada seluruh hadirin.

“Bismillahirrahmanirrahim…,” Fikri mulai berbicara.

Ia diam sejenak dan menarik nafas. Membuat Syifa yang menanti kata-kata yang hendak keluar dari mulut Fikri, semakin tegang dan berdebar-debar karenanya.

“Ana pun sudah istikharah ba’da shalat Zuhur tadi untuk meminta petunjuk Allah agar tidak salah melangkah dan mengambil keputusan,” ujar Fikri kemudian. “Apa pun hasilnya nanti, semoga itu yang terbaik dan semoga dapat diterima dengan penuh keikhlasan,” sambung Fikri tidak langsung mengutarakan keputusannya.
Fikri kembali menarik nafas.

“Insya Allah, ana yakin dan mantap sekali untuk melanjutkan proses dengan ukhti Syifa hingga ke pelaminan. Bahkan melanjutkannya hingga ke surga Allah yang abadi,” ucap Fikri yang disambut dengan ucapan hamdalah dan senyuman oleh Syifa dan seluruh hadirin yang mendengarkannya.

“Insya Allah, 2 minggu lagi ana akan datang pada orang tua ukhti Syifa untuk meminang agar walimah bisa segera dilaksanakan. Semoga ukhti bersedia.”

Syifa tersenyum. Kali ini ia benar-benar bisa tenang dan santai dari sebelumnya. Hatinya pun terasa lega meski masih tetap berdebar-debar. Namun kali ini debar-debar yang dirasakannya berbeda dari sebelumnya. Kali ini ia berdebar-debar memberikan jawaban pada Fikri karena begitu bahagianya.

“Insya Allah bersedia,” jawab Syifa tanpa ragu.

“Alhamdulillah,” sahut Fikri dan yang lainnya.

Hari ahad siang itu, sungguh sebuah hari yang sangat indah bagi Syifa. Ia tiada henti-hentinya bersyukur pada Sang Illahi yang telah membuka sebuah jalan yang sungguh sangat di luar dugannya. Setelah sekian lama menanti, setelah beberapa kali berta’aruf, seorang sahabat yang belum pernah bertatap muka dengannya, membawakan seorang ikhwan jauh dari kota hujan, yang akhirnya memberikan kesejukan pada hatinya yang telah gelisah menanti.

“Alhamdulillah… segala puji hanya pada-Mu ya Rabb, ya Rahman, ya Rahim. Sungguh hanya Engkau yang Maha Berencana. Ya Rabb, mudahkanlah segala urusan kami, mekarkanlah bunga-bunga cinta di hati kami, sampaikanlah kami dalam indahnya sebuah pernikahan, izinkanlah kami bersama-sama mengarungi samudra kehidupan ini, tak terpisahkan hingga ke surga-Mu kelak. Ya Rabb, hanya pada-Mu kami panjatkan segala doa kami, hanya pada-Mu kami gantungkan segenap asa kami. Ya Rabb, yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Engkaulah sebaik-baik penolong. Kabulkanlah permohonan-permohonan kami. Amin allahumma amin…,” doa Syifa dalam hatinya diiringi gerimis yang turun dari kelopak matanya.


*****
TAMAT