Minggu sore aku diminta istriku untuk menemaninya berbelanja sayuran dan bumbu dapur di salah satu pasar kaget, tak jauh dari tempat tinggal kami. Sore itu pengunjung pasar yang hanya ada setiap hari Minggu sore hingga sekitar pukul 9 malam itu sangat ramai. Saat istriku mulai memilih beberapa sayuran, aku dan putriku memilih tetap duduk di motor, menunggunya tak jauh dari penjual sayur yang terlihat kerepotan melayani calon pembeli yang memenuhi pinggir dagangannya yang dihamparkan di pinggir jalan.
Semula aku tak begitu memperhatikan pengunjung pasar sore itu, sejak datang aku tertarik dengan beraneka ragam kerajinan tangan yang terbuat dari bambu dan kayu yang dijajakan tepat diseberang penjual sayuran tak jauh dari tempatku menunggu istri berbelanja sayuran. Sampai akhirnya pandanganku beralih ketika putriku memanggil sambil mengguncangkan tanganku.
“ Bi, lihat ibu yang pakai kerudung hitam di samping ummi itu. Kok pakai jilbabnya begitu, aneh ya? “
Aku mengikuti arah yang ditunjuk putriku. Rupanya yang putriku maksudkan adalah seorang ibu muda yang mengenakan kerudung pendek warna hitam. Benar yang putriku bilang, ada yang aneh dengan cara berpakaian ibu yang sedang asyik memilih sayuran itu. Dia memakai kerudung, tapi pakaian yang dikenakannya adalah kaos dan celana pendek. Astaghfirulloh, prihatin rasanya melihat pemandangan seperti ini.
Belum habis rasa heran kami melihat penampilan sang ibu yang berkerudung dengan celana dan kaos pendek itu, putriku kembali mencolek tanganku. Dengan berbisik dia kembali memberi tahu beberapa pengunjung pasar yang berpakaian aneh. Tak jauh dari ibu pertama tadi, terlihat seorang wanita muda dengan pakaian yang terlihat rapi. Wanita muda ini memakai jilbab putih, pakaian yang dikenakannya tidak seperti ibu pertama. Wanita ini memakai baju lengan panjang dan celana panjang. Sekilas, pakaian yang dikenakan wanita ini sudah memenuhi kriteria berjilbab, tapi tetap saja ada yang membuat tak nyaman bagi yang melihatnya. Pakaian yang dikenakan wanita ini memang menutupi seluruh kulit kecuali telapak tangannya, namun sama sekali tidak menutupi bentuk dan lekuk badannya. Pakaian yang dikenakannya terlalu ketat, hingga hanya dengan pandangan sekilas, semua orang tahu akan lekuk-lekuk tubuhnya.
Seperti kebetulan, tak lama kemudian lewat dihadapan kami dua orang perempuan muda yang berboncengan motor matic. Keduanyapun terlihat seperti menggunakan jilbab. Tapi astaghfirulloh, kedua perempuan abg ini terlihat sekenanya menggunakan pakaian. Kepala mereka memang tertutup oleh kerudung, tapi baju mini mereka tak mampu menutupi punggung mereka hingga semua orang yang kebetulan melihat mereka dapat melihat pemandangan tak nyaman ini. Terlebih perempuan yang dibonceng, cara dia membonceng persis seperti coboy di atas kudanya hingga rok panjang yang dikenakannya terangkat hingga setinggi lutut.
Tiga kali melihat pemandangan yang aneh, akhirnya aku alihkan kembali pandanganku pada sang penjual kerajinan bambu. Namun sayang, tepat di samping pejual kerajinan bambu kini telah berdiri seorang perempuan dengan pakaian longgar dan panjang, jilbabnyapun cukup panjang hingga menutupi seluruh bagian dadanya. Kalau dari segi berpakaian, jelas perempuan ini tahu betul caranya berjilbab, jauh berbeda dengan cara ‘berjilbab’ orang-orang yang tadi sempat ditunjukan oleh putriku. Namun sayang, meski perempuan itu berjilbab, namun dia tak cukup pintar untuk menjaga tingkah lakunya. Kulihat dia sedang bercanda dengan seorang laki-laki. Mereka terlihat akrab bahkan sesekali terdengar sang perempuan tertawa terbahak hingga suaranya terdengar dari tempatku berada, sekitar 20 meter. Aku memang tak begitu kenal dengan sang perempuan, tapi aku tahu persis bahwa laki-laki yang sedang bercanda dengannya bukanlah suaminya. Entah siapa, tapi yang jelas cara mereka berbicara dan bercanda sungguh membuat tak nyaman, dan menurutku tak semestinya hal itu dilakukan oleh sang perempuan.
Ada-ada saja yang kami lihat sore itu. Barangkali karena ini di pasar, sama seperti dagangan yang dijajakan, maka pengunjungnyapun beraneka ragam. Terhadap mereka yang masih mengenakan jilbab ‘ala kadarnya’, apapun alasan mereka aku tak ingin terburu-buru memvonisnya. Bagaimanapun mereka sudah berusaha untuk menutupi auratnya, namun caranya saja yang salah. Barangkali butuh waktu hingga akhirnya mereka bisa mengenakan jilbab yang syar’i. Yang disayangkan adalah apabila mereka berlindung dibalik jilbab untuk kepentingan tertentu. Atau juga mereka mengira bahwa cara berpakaian mereka, cara berjilbab mereka sudah benar padahal sebenarnya mereka sama sekali belum berjilbab. Kepala mereka boleh saja sudah ditutup dengan kerudung, tapi aurat lainnya tak mereka perhatikan. Seolah, aurat itu adanya hanya di kepala, hingga ketika rambut sudah ditutup maka aurat sudah tertutup semua.
Juga, bagi saudari-saudariku yang sudah paham bagaimana cara berjilbab secara syar’i sangat disayangkan jika hanya fisik saja yang mereka ‘selamatkan’ namun akhlak dibiarkan berbuat sekehendak hati. Jilbab sesugguhnya mampu menutup aurat fisik secara menyeluruh, juga mampu menjaga tingkah laku, perbuatan dan akhlak pemakaianya. Apa artinya jilbab, jika sang pemakainya tak mampu mengendalikan tutur sapa, tingkah laku bahkan nafsunya.
Mari, para muslimah semua untuk ‘belajar’ berjilbab yang sesungguhnya. Sangat memprihatinkan bila melihat kenyataan bahwa masih banyak muslimah yang belum atau tidak tahu bagaimana cara berjilbab yang sesuai dengan tuntunan agama. Mereka berjilbab setengah-setengah, sebagian di tutup tapi sebagian lainnya dibiarkan terbuka. Sangat menyedihkan bila melihat kenyatan bahwa masih banyak muslimah yang tak mampu menjaga akhlaknya sebagaimana mereka menjaga auratnya. Seharusnya ada perbedaan jelas antara yang berjilbab dengan yang tidak, namun apa bedanya jika jilbab yang mereka kenakan tak lebih dari penutup kepala sedang pakaian lainnya sama seperti non muslim yang merasa tak berkewajiban menutup auratnya. Tak ada yang tak bisa, mungkin agak sulit pada mulanya namun jika sudah diniatkan, ilmu dikumpulkan maka berjilbab akan menjadi hal mudah, dan sangat dibutuhkan, bukan sekedar kewajiban.
0 komentar:
Posting Komentar