Hari belumlah terlalu sore, baru jam setengah lima. Tapi hujan yang turun dengan lebat membuat sore terasa lebih gelap dari yang semestinya. Angin yang bertiup cukup kencang dan suara guntur yang bersahutan menambah suasana semakin dingin dan mencekam.
Di dalam becak, aku terdiam menahan dingin. Percikan hujan menerobos melalui celah-celah plastik penutup becak yang tersingkap angin. Aku terpaksa mengurungkan semua keinginanku untuk berbincang banyak hal dengan ‘teman lamaku’ yang kini harus berjuang lebih keras lagi untuk menggerakan roda-roda becak menembus genangan air dan melawan kencangnya angin. Jika aku nekat bertanya, bukan saja suaraku hanya akan tenggelam dalam derasnya hujan dan guntur yang terus bersahutan, tapi juga akan semakin menyiksanya. Ia sudah sangat kerepotan mengumpulkan tenaga dan mengatur nafasnya.
Kang Admin, begitu biasa kupanggil teman lamaku ini. Usia kami memang terpaut cukup jauh. Ia seumuran dengan kakak pertamaku. Di musholla Baiturrohman lah kami sering bertemu. Sholat berjamaah dan belajar Al Quran bersama, belasan tahun yang lalu. Saat itu aku masih sekolah, sedang Kang Admin sudah berkeluarga dan dikaruniai dua orang anak.
Meski merasa terlambat, namun ia tetap belajar membaca Al Quran dengan penuh semangat.
Aku dan Kang Admin tinggal di RW yang sama, tapi di RT yang berbeda. Menjadi tukang becak adalah pekerjaan utamanya. Sampai saat ini sudah lebih dari dua puluh tahun ia menghidupi keluarganya dengan profesi yang cukup menguras tenaga ini. Tapi, setahuku ia jarang atau bahkan hampir tak pernah mengeluh. Sore itu buktinya. Meski hujan turun dengan begitu deras, meski angin bertiup cukup kencang dan suara guntur menggelegar terus bersahutan, ia tetap mantap mengayuh becaknya.
“ Maafkan aku, Kang. Aku tak menyangka hujan akan turun dengan lebat begini “ Aku merasa bersalah padanya. Akulah yang meminta tolong padanya mengantarku ke agen bus sore itu. Siang tadi, saat aku hendak memesan becak, tiba-tiba Kang Admin yang baru pulang dari pasar melintas di depan rumah. Alhamdulillah, Kang Admin menyanggupi. Aku yakin ini bukan sebuah kebetulan, tapi Allah sudah mengaturnya demikian. Ini kesempatan baginya untuk menjemput rezeki, juga kesempatan bagiku untuk berbagi.
“ Tak perlu meminta maaf, ini sudah menjadi resiko pekerjaanku “ jawabnya mantap. Aku melihat kejujuran dan keikhlasan dalam ucapannya.
Aku tetap merasa tidak enak hati meskipun Kang Admin tak menyalahkanku, juga siapapun. Ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Ia tak perlu mengeluh, apalagi marah. Baginya ini bukan sekedar resiko pekerjaannya, tapi juga takdir dan ketetapan Allah yang harus ia terima dengan ikhlas.
Tiba-tiba aku teringat akan pekerjaanku. Dibandingkan Kang Admin, kondisiku sebenarnya jauh lebih beruntung. Sehari-hari aku bekerja di dalam kantor yang cukup nyaman. Aku nyaris tak pernah berhubungan langsung dengan teriknya matahari ataupun dinginnya hujan. Aku bisa ‘mengatur’ suhu dalam ruangan sesuai yang aku inginkan. Terkadang aku memang merasakan dingin, tapi bukan karena hujan atau angin, melainkan dingin dari AC ruangan yang memberikan kesejukan serta aroma yang menyegarkan.
Bila rasa dingin mulai mengganggu aktifitasku, kapanpun aku bisa membuat minuman hangat. Meski diluar hujan turun dengan sangat lebat, angin bertiup sangat kencang bahkan kilat terus menyambar dan petir menggelegar, aku merasa aman dan nyaman-nyaman saja. Bahkan alunan lagu dari salah satu komputer semakin menambah kenyamanan seakan di luar sana sedang tidak terjadi apa-apa.
Hal ini jelas jauh berbeda dengan yang dialami Kang Admin. Bila cuaca cerah, maka ia bermandi keringat di bawah terik matahari yang menyengat. Bila cuaca buruk seperti sore itu, hujan deras membuat hampir seluruh tubuhnya basah. Angin yang bertiup kencang, bukan saja menambah dingin namun juga menghambat laju becak yang dikayuhnya. Ketika sebagian orang gemetar melihat kilat yang menyambar dan mendengar guntur yang mengelegar, Kang Admin tetap tegar mengayuh tanpa gentar.
Dalam keadaan yang sangat tidak mengenakan, apa yang Kang Admin lakukan? Tak ada pilihan lain, dan tak ada keinginan lain. Ia kumpulkan seluruh sisa tenaganya untuk terus mengayuh pedal becaknya. Ia tak pedulikan pakaiannya yang basah, ia lupakan rasa dingin, dan ia abaikan kilat yang mengerikan serta guntur yang menggetarkan. Ia berjuang sekuat tenaga, pertaruhkan kesehatan dan keselamatan badan, mengantarkan penumpang becaknya dengan selamat sampai tujuan.
Astaghfirulloh! Aku merasa malu. Malu dengan kang Admin. Meski begitu berat perjuangan dan pengorbanannya untuk menghidupi keluarga, ia tidak atau jarang mengeluh. Berbeda denganku yang mudah sekali jenuh dan mengeluh. Aku merasa malu dengan mereka yang tetap tegar bertahan, menjemput rizki dibawah panasnya terik matahari atau derasnya guyuran hujan.
Dari rasa malu, perlahan muncullah rasa takut. Aku takut akan keluh kesahku yang seringkali muncul seiring rasa jenuh dalam pekerjaanku. Aku takut itu akan mengundang siksa Nya. Dan aku semakin takut bila mengingat ayat yang diulang-ulang dalam surat Ar Rahmaan.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? “
Ya Allah, ampuni hamba jika segala nikmat yang Engkau anugerahkan belum sepenuhnya bisa kusyukuri. Ampuni hamba yang terkadang menganggap bahwa kenyamanan yang kudapatkan dalam pekerjaan adalah sesuatu yang sudah semestinya diberikan pihak perusahaan. Ampuni hamba yang seringkali lalai dan lupa, bahwa sesungguhnya kenikmatan yang kurasakan dalam pekerjaanku, juga dalam seluruh kehidupanku adalah karuniaMu. Ampuni hamba yang kerap merasa diri tidak beruntung, padahal diluar sana banyak sekali yang harus melawan teriknya matahari, mengabaikan derasnya hujan agar dapur tetap mengebul.
Sungguh, tiada maksud hamba mengingkari nikmat Mu. Tapi seandainya mau jujur, terkadang masih ada dusta di hatiku. Keluh kesahku, anggapan biasaku tanpa kusadari menggeser rasa syukurku atas karunia Mu. Masihlah ada dusta dihatiku. Syukur yang kuucap, terkadang tak sejalan dengan apa yang kuperbuat.
Maafkan hamba ya Allah, begitu banyak kupinta pada Mu, namun sedikit sekali syukurku. Ampuni hamba ya Allah, begitu banyak keluh kesahku hingga kulupa akan besarnya nikmat Mu.
Astaghfirulloh, astaghfirulloh, astaghfirullohal ‘adzim.
0 komentar:
Posting Komentar