Bulan Juni-Juli mungkin menjadi bulan-bulan yang paling menyibukkan bagi para orangtua. Betapa tidak, di bulan inilah biasanya sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan mulai dari sekolah menengah atas sampai ke level paling buncit alias play group atau taman bermain, membuka pendaftaran murid-murid baru. Sebagai orangtua tentu berharap untuk mempunyai anak yang sholeh/sholehah, dan untuk itu para orangtua pun seakan berlomba mencari sekolah terbaik yang diharapkan mampu melahirkan murid-murid unggulan yang ber-imtaq (iman dan taqwa) sekaligus ber-iptek. Tak ayal, sekolah-sekolah yang bercirikan Islam pun seakan menjadi ajang perburuan para orang tua. Dari mulai TPQ, TK-IT, SD-IT, SMP-IT, SMA-IT, sampai sekolah-sekolah yang mengusung konsep Islamic Full Day School dan Islamic Boarding School.
Sebenarnya, adalah hal yang sangat menggembirakan melihat tingginya animo masyarakat terhadap sekolah-sekolah Islami. Suatu indikasi bahwa pendidikan agama tidak lagi menjadi pendidikan sampingan. Pemahaman agama kini diangap sebagai suatu hal yang fundamental bagi perkembangan seorang anak. Kualitas individu tak lagi dinilai dengan kriteria duniawi semata. Akibatnya, madrasah-madrasah —terutama yang memakai atribut “terpadu”— tak lagi dianggap sekolah pinggiran, pondok pesantren —apalagi yang berbasis pondok pesantren modern— tak lagi dianggap sebagai tempat pembuangan sekaligus penampungan anak-anak nakal dan atau bodoh.
Permasalahan yang lantas muncul adalah adanya fenomena yang memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat terlalu menggantungkan harapan kepada lembaga-lembaga tersebut. Dengan kata lain, sekolah seolah menjadi satu-satunya sarana pendidikan bagi sang anak. Sepulang dari sekolah, sang anak kembali dibiarkan tanpa ada kesinambungan pendidikan yang tercermin dari perilaku dan kebiasaan orang tua. Jika ingin punya anak yang mencintai Qur’an, maka kirimlah ke TPQ atau TKIT, jika ingin punya anak yang faham fiqih, maka carilah SDIT, dan biarlah sang guru yang akan mencetak dan kita tinggal menunggu hasilnya, begitulah kira-kira.
Adalah suatu kekeliruan jika beranggapan bahwa sekolah-sekolah Islam tersebut dapat memberikan pendidikan secara menyeluruh. Konsep long-life education dalam Islam sebagaimana yang banyak tertuang dalam Al-Qur’an dan sabda-sabda Rasulullah SAW tidaklah mengisyaratkan pendidikan sepihak. Lihatlah pesan Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah seorang anak lahir melainkan dalam keadaan fithrah, maka kedua orang tualah yang menjadikannya, menasranikannya, dan yang memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anak yang selamat dari cacat, apakah kamu menganggap hidung, telinga, dan anggota binatang terpotong." (HR. Muslim No. 4803)
Di sini tersirat betapa orang tua (keluarga) juga diharapkan untuk berperan dalam membentuk pribadi anak. Proses tarbiyah (pendidikan) tidaklah terhenti sampai di sekolah, melainkan ia berlanjut sampai ke rumah dan lingkungan tempat sang anak berada. Hal ini sejalan dengan ungkapan masyarakat Barat yang mengatakan “The First School is Home and The First Teacher is Mother” (Rumah adalah Sekolah Pertama dan Ibu adalah Guru Pertama). Mirip sekali dengan pepatah Arab yang berbunyi "Al-Ummu Madrasah" (Ibu adalah Sekolah). Di situ terlihat betapa rumah dan keluarga yang dalam konteks ini diwakili oleh sang Ibu, juga menjadi salah satu pilar bahkan batu pertama dalam pendidikan. Hal ini pula yang mendasari beberapa keluarga untuk menjatuhkan pilihan pada home-based school di mana mereka mendidik putra-putri mereka di dalam rumah.
Ada baiknya jika kita bercermin pada kehidupan para Nabi dan orang-orang Shaleh yang banyak memberikan pelajaran yang bisa kita petik. Sayyidatina Maryam —ibunda Nabi Isa AS— bisa menjadi wanita pilihan langit karena adanya tarbiyah Ilahi yang tercermin melalui kesholehan keluarga Imran (baca: Maryam ialah anak dari keluarga Imran). Begitu pula dengan Fatimah RA Beliau tidak lantas tiba-tiba muncul menjadi wanita utama jika ayahanda (Rasulullah SAW) dan ibunda (Khadijah RA) tercinta tidak turut memberikan keteladanan dan pembinaan langsung.
Mungkin kita semua pernah mendengar ungkapan, “Jika anak dibesarkan dengan berbagi, maka ia belajar kedermawanan, jika anak dibesarkan dengan kebenaran, ia akan belajar kejujuran,” dst…dst. Hal ini menyiratkan bahwa seorang anak belajar bukan hanya dari sekolah melainkan juga dari apa yang orang tua ajarkan dan perlihatkan kepada dirinya.
Karena itu adalah setengah bermimpi jika menginginkan anak yang rajin mengaji tetapi orang tua sendiri tidak pernah membaca Al-Qur’an. Bagaimana mungkin mengharapkan anak yang mencintai masjid jika ayah sendiri bahkan tidak pernah mengajak ke masjid.
Kini, jika sekolah-sekolah Islam menjadi 'alternatif' utama bagi para orang tua adalah hal yang patut disyukuri. Akan tetapi upaya tidak lantas berakhir sampai di situ? Selayaknyalah kita bisa menjadikan anak-anak untuk berpikir bahwa rumahku juga sekolahku, orangtuaku juga guruku. Karena itu kita semua patut belajar bagaimana menjadikan rumah dan keluarga sebagai sarana pendidikan, pembinaan, dan pembelajaran bagi anak, terlebih di saat sekolah-sekolah Islami tersebut biasanya menetapkan biaya yang terlalu tinggi untuk dijangkau, maka rumah dan keluarga dapat menjadi pilihan utama dalam mewarnai pendidikan anak. Wallahu a’lam bi showab.
Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun, wajaalna lilmuttaqiina imaama. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqon [25] : 74)
0 komentar:
Posting Komentar