Kebahagiaan  Bu Narti semakin  lengkap karena tak berapa lama lagi  anak bungsunya akan  menjadi pengantin. Do’anya terkabul, gadis  kesayangannya akan dipinang oleh seorang lelaki yang insya Allah sholeh  dan bertanggung jawab menurut pandangannya.
Dan hari yang dinantipun tiba, semua berjalan dengan lancar. Meski tak semewah 
walimatul 'ursy  anak teman-temannya, tapi baginya cukup meriah. Bu Narti adalah seorang  janda yang telah ditinggal suaminya beberapa tahun yang lalu. Jadilah  ia seorang single parent dengan tiga anak yang  lucu-lucu. Air matanya tak dapat ia bendung tatkala ijab qobul  putrinya berlangsung, dia teringat mendiang suaminya. Dia berbisik  dalam hati “Pak, lihat... anak kita sudah besar, dan sekarang telah  menjadi pengantin yang sangat cantik...”
Pestapun telah usai, dan sekarang saatnya sang buah hati meninggalkan  dirinya karena akan diboyong suaminya ke negri seberang, kebetulan  menantunya itu  bertugas disana.
Santi sangat berat hati meninggalkan ibunya, mengingat usianya yang  akan mencapai 50 tahun. Tapi apa dikata, dia harus mengikuti kemana  suaminya pergi. Dia ingin sekali membawa sang ibu untuk tinggal bersama  mereka, akan tetapi ibunya menolak dengan halus. “Nggak usah nak... ibu  lebih nyaman tinggal di kampung...lagian kalau disana, ibu akan susah  menengok makam bapakmu jika tiba-tiba ibu rindu, kamu baik-baik disana  ya...jadilah istri yang baik dan menyenangkan bagi suamimu, dampingi dia  dalam keadaan apapun.”
Santipun berangkat dengan hati yang berat.
Krek...! Santi tersentak dari lamunannya, dia melihat sosok lelaki  melangkah masuk. Cepat-cepat ia menyusul lelaki itu  kepintu seraya  menyalami dan mencium tangannya, lelaki yang selama tiga tahun ini telah  menjadi suaminya.
Setelah membereskan sepatu dan tas suaminya, dia cepat-cepat ke dapur  untuk menyiapkan secangkir teh hangat kesukaan seuaminya tak lupa  dengan sepiring singkong rebus tuk cemilan di sore hari.
“Mas mau  mandi dulu atau mau  langsung makan...?” Tanya Santi pada  suaminya. “Nanti saja, mas mau rebahan dulu, makannya habis magrib aja,”  jawabnya singkat, dan diapun langsung  masuk kekamar dan tidur.  Suasanapun kembali sepi. Tak ada suara anak kecil di rumah itu karena  sampai saat inipun mereka belum memperoleh satu orangpun keturunan.
Santi kembali sibuk menyiapkan makan malam buat mereka berdua.
Sebenarnya Santi bukanlah sosok yang pendiam, tetapi semenjak  menikah, dia agak tertutup dan pendiam karena suaminya adalah laki-laki  yang dingin dan sangat terutup, bahkan terhadap Santi istrinya.  Terkadang Santi jenuh dan bosan dengan keadaan itu, dia merasa sedikit  tertekan dengan sifat suaminya yang dingin, akan tetapi dia selalu ingat  akan pesan ibunya bahwa suami adalah Surga dan Neraka bagi seorang  istri.
Tak jarang dia menangis sendiri tatkala suaminya  tak ada dirumah.  Dia bertanya-tanya dalam hati  kenapa suaminya masih menganggap dia  seperti orang asing. Dia sedih tatkala menyaksikan sepasang suami istri  yang begitu asik bercengkrama atau berjalan bergandengan, pergi  jalan-jalan berdua, sedangkan dia, sangat jarang, bahkan  tuk sekedar  duduk bercengkrama diteras rumah di sore haripun sangat jarang.
Ingin sekali dia bertanya langsung pada suaminya, tapi dia takut jika suaminya tersinggung, jadi dia lebih memilih diam.
Sebenarnya, Burhan suaminya merasakan kegelisahan istrinya, ingin  rasanya dia mencairkan suasana agar tak lagi kikuk didepan istrinya, apa  lagi jika dia mendapati istrinya sedang menangis, paling dia hanya  bertanya, “Kenapa menangis dek, kamu sakit? Santi hanya menggeleng dan  bilang kalau dia kangen ibunya.” Lalu Burhan hanya bisa terdiam, dia tak  tahu harus berbuat apa, karena sedari dulu dia memang kaku terhadap  perempuan.
Waktupun terus bergulir , hari-hari dilalui Burhan dan Santi dengan  rasa hampa tak menentu. Sangat monoton dan membosankan. Semakin hambar  malah.
Suatu sore, Burhan mendapati Santi tengah menangis di sudut ruangan  sambil menghubungi seseorang, ternyata Ibunya, Santi tak menyadari  kedatangan Suaminya, sehingga Burhan bisa dengan leluasa mendengar  percakapan mereka.
“Buk...Santi bosan disini, Santi pengen pulang saja, Santi gak tahan  lagi, sepertinya mas Burhan tak bisa menerima kehadiran Santi,” ucap  Santi seraya terisak.
“Loh...kok bisa sih nak, bukankah kalian menikah sudah tiga tahun  lamanya, bagaimana mungkin kamu bisa bilang kalau suamimu belum bisa  menerima kehadiran kamu, buktinya apa? Coba cerita sama ibu...”
“Mas Burhan sangat dingin Buk, dia bicara kalau ada perlunya saja,  dia sangat tertutup pada Santi, bahkan kalau pulang larut malampun dia  nggak pernah kasih tau ke Santi kalau dia lembur atau gimana, nyampe di  rumahpun dia juga lebih banyak diam...”
“Santi seperti tak dihargai buk...santi seperti dianggap nggak ada,  kalau dia lagi ada suatu masalah, dia nggak pernah mau bicara sama  Santi, kalau Santi tanya dia cuma diam dan bilang nggak ada apa-apa,  jadi Santi ini siapanya dia buk?”
“Apa santi nggak coba tanya ke suamimu?”
“Enggak Buk...Santi takut mas Burhan tersinggung, kan dia capek pulang kerja...”
Ibunya terdiam...sedih, terkadang ada muncul perasaan menyesal menjodohkan mereka, tapi cepat-cepat dia tepis.
Burhan terhenyak mendengar kata-kata istrinya, sedih bercampur marah  kepada dirinya. Marah karena sikapnya yang dingin pada istrinya, orang  yang selalu ada dikala dia susah dan senang, orang yang selalu setia  merawat dirinya tatkala dia  sakit, orang yang selalu setia meyiapkan  sarapan dan menunggu kedatangannya setiap dia pualng, meski itu larut  malam. Berbeda dengan teman sekantornya, dia bisa bercerita dengan  leluasa.
Dia lupa bahwa seorang istri juga mahkluk yang bernyawa, dia bukanlah  sebuah patung yang tak punya perasaan. Seorang istri juga bisa sedih,  dan juga ingin mendapat sedikit perhatian dari suaminya.
Dan dia juga lupa bahwa tak cukup hanya dengan kehadiran  saja  pernikahan itu akan bahagia. Pernikahan itu tak cukup hanya komunikasi  ranjang dan dapur, akan tetapi juga komunikasi hati.
Pernikahan akan berjalan lancar jika  komunikasi berjalan dengan baik  dan lancar. Percuma jika punya harta yang berlimpah dan suami/istri  yang tampan/cantik, jika komunikasi  sangat buruk, semua akan menjadi  percuma, malah akan seperti di Neraka karena kerja sama juga takkan  berjalan dengan baik, yang ada hanya prasangka dan curiga tak menentu.
Jadi, jika ingin sebuah hubungan berjalan dengan baik dan sehat, maka  sangat diperlukan komunikasi yang baik pula sebagaimana Rasulullah SAW  selalu mengajak bercanda istri-istrinya. Bukankah  Rasulullah SAW juga  sangat romantis terhadap istri-istri beliau?
Dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah berada di tempatku  bersama Saudah, lalu aku membuat jenang. Aku bawa (jenang itu) kepada  beliau, kemudian aku berkata pada Saudah, ‘Makanlah!’ Akan tetapi, ia  menjawab, ‘Saya tidak menyukainya.’ Aku pun berkata, ‘Demi Allah, kamu  makan atau aku oleskan ke wajahmu?’ Ia berkata, ‘Saya tidak berselera  memakannya,’ Lalu aku ambil sedikit, kemudian aku oleskan ke wajahnya,  sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ketika itu duduk di  tengah-tengah antara aku dan dia. Kemudian beliau merintangi dengan  lututnya supaya dia dapat membalasku, lalu ia mengambil jenang dari  piring tersebut, kemudian dia (saudah) membalas mengoleskannya kepadaku  dan Rasulullah tertawa.”  (HR. Ibnu Najjar)

0 komentar:
Posting Komentar