Sombong! Egois!
Soleh bukan tidak tahu kalau kata-kata tak mengenakan itu ditujukan  kepadanya. Sungguh, sebenarnya Soleh pun merasa tidak nyaman dengan  tuduhan semacam itu. Tapi ini soal prinsip. Ia yakin betul dengan  kebenaran prinsip yang dipegangnya. Yang salah adalah mengapa mereka tak  (mau) mengerti penjelasan yang ia berikan.
Adalah Soleh, pemuda berumur dua puluh lima tahun yang termasuk  beruntung. Setahun bergabung, langsung diangkat sebagai karyawan tetap.  Tapi bukan itu yang membuat beberapa rekan kerjanya sering menjadikan  Soleh sebagai bahan perbincangan. Tak tahu tata cara pergaulan, begitu  terkadang mereka menambahkan.
Bukan satu dua kali Soleh menjelaskan, mengapa ia (selalu) berjalan  mendahului rekan-rekan perempuannya. Terlebih bila secara kebetulan  bertemu di ujung tangga menuju kantor mereka yang terletak di lantai  dua. Ia bukanlah manusia suci seperti sindiran rekan perempuannya. Ia  laki-laki dewasa normal yang memiliki ketertarikan dengan lawan jenis,  tak terkecuali kepada teman kerjanya. Ia khawatir tak dapat menundukan  pandangan (nafsu) bila berjalan di belakang perempuan. Bukankah setiap  gerak perempuan selalu terlihat indah di mata laki-laki? Seandainya ia  memiliki kekuasaan, pasti ia akan membuat aturan berpakaian bagi  karyawan perempuan. Benar-benar menutup aurat, bukan sekedar mengikuti  trend semata. Tapi ia hanyalah karyawan rendahan, jalan keluarnya adalah  ia selalu berusaha untuk tidak berjalan di belakang perempuan.
Telah ia jelaskan, tapi sayang hanya dianggap sebagai alasan untuk  menutupi kesombongannya, keangkuhannya. Dalam beberapa hal, Soleh tidak  mempermasalahkan tata cara pergaulan yang mendahulukan perempuan, ladies first istilahnya. Tapi untuk urusan yang satu ini, Soleh berprinsip sebaliknya.
Bukan tidak sopan, bukan pula sombong. Selain menjaga pandangan  (nafsunya), justru karena Soleh menghormati mereka. Perempuan dengan  segala daya pikatnya bukanlah objek yang bisa dinikmati (dilihat) oleh  laki-laki selain yang berhak (suaminya). Sayang, belum semua perempuan  menyadari tingginya agama ini menempatkan mereka. Karena nafsu, tak  jarang perempuan sengaja tampil mencolok di depan laki-laki yang tidak  berhak melihat auratnya. Astaghfirullloh!
Juga bukan satu dua kali Soleh mengatakan kenapa ia berusaha untuk  sholat dengan jamaah pertama dan mendapatkan tempat yang utama. Shaft  pertama, tepat di belakang sebelah kanan sang imam, menjadi tempat  favoritnya. Soleh sadar betul bahwa pahala terbesar adalah sholat yang  dikerjakan secara berjamaah di awal waktu. Dan soal tempat yang selalu  ia incar –shaf pertama di belakang imam sebelah kanan– bukanlah milik  atasannya, bukan pula milik pengurus mushola, tapi hak siapapun yang  datang lebih awal.
Sudah Soleh katakan, tapi sayang beberapa orang justru menganggapnya  tak punya tata krama. Bukan tak tahu tata krama bila Soleh berdiri di  shaf pertama sementara atasannya justru di shaf kedua. Dalam sholat  jelas tidak melihat jabatan seseorang dalam pekerjaan. Soleh tahu di  belakangnya ada sang atasan, tapi ia merasa tak perlu menawarkan diri  untuk bertukar posisi. Siapapun punya hak dan kesempatan yang sama,  syaratnya hanya satu, datang lebih awal dibanding lainnya.
Soleh justru heran dengan beberapa rekan kerjanya yang datang lebih  dulu tapi sengaja memilih tempat di belakang, bahkan ada yang harus  diingatkan berkali-kali agar tidak membentuk shaf baru sebelum shaf di  depannya terpenuhi. Soleh telah mengingatkan, tapi sayang mereka dengan  penuh kesadaran dan dan kesengajaan melewatkan kesempatan untuk berdiri  lebih dekat dengan pintu syurga.
Dalam hal lain, Soleh tentu tak berkeberatan bila ia harus mengalah,  memberi kesempatan lebih dulu kepada sang atasan. Tapi untuk ibadah,  Soleh tak mau menyia-nyiakan. Sudah dikatakan, urusan lain tidak  masalah, tapi urusan ibadah, diri sendiri harus didahulukan.
Soleh memaklumi jika pada awalnya beberapa prinsip yang ia pegang  terlihat aneh di mata rekan-rekannya. Semua karena mereka belum  memahami. Baginya, tak harus ia merubah prinsip hanya karena orang lain  belum atau tak (mau) mengerti penjelasannya.
Perlahan, seiring berjalannya waktu, rekan-rekan kerja Soleh mulai  mengerti prinsipnya. Bererapa rekan perempuan mulai merubah cara  berpakaian. Kalau kebetulan mereka bertemu di ujung tangga, tanpa  diminta rekan-rekan perempuannya memberi kesempatan untuk Soleh berjalan  di depan. Mereka menyadari bahwa menaiki tangga sementara laki-laki di  belakang, sama saja menciptakan kesempatan untuk mereka melihat apa yang  tidak menjadi haknya, terlebih dengan model pakaian yang dulu mereka  kenakan.
Begitupun dengan rekan kerja laki-laki, banyak yang mengikuti  jejaknya. Mereka menyadari bahwa pahala sholat terbesar adalah ketika  dilakukan berjamaah, di awal waktu. Dan tempat yang tak boleh  disia-siakan adalah shaf pertama.
“ Jadi, jangan terburu mengatakan egois, sombong atau tidak  sopan, bila dalam hal-hal tertentu aku (selalu) mendahuluimu. Maafkan!” Soleh mengingatkan.

0 komentar:
Posting Komentar