“Dek, beliin pulsa dong, Rp 20 ribu aja. Lagi cekak nih, gak ada  duit.” Begitu bunyi sms dari Yuk Leni, mbakku yang tinggal di kota lain  tapi masih satu provinsi. Membaca isi sms-nya, aku langsung merasa  kesal. Bagaimana tidak, kakakku itu sudah berkeluarga dan memiliki satu  anak. Dia dan suaminya sama-sama bekerja. Meskipun memang pendapatannya  jauh lebih rendah dibandingkan aku. Tetapi, yuk Leni memang mbak yang  seringkali menjadikanku tempat yang handal untuk “meminta”.
Baik itu secara terang-terangan meminta atau dengan menyindir. Entah  itu berupa uang tunai, maupun berupa baju, jilbab atau benda lain.  Selama ini, meskipun terkadang dengan rasa jengkel, permintaannya selalu  kupenuhi. Bahkan, setiap kali mau pulang ke Palembang, saat lebaran  atau liburan, dia memberikan syarat. “Kami mau pulang ke Palembang,  asalkan ongkos balik ke Lahat, kau yang tanggung, termasuk untuk jajan  Zaki keponakanmu selama di Palembang,” ujarnya ketika aku memintanya  pulang saat liburan.
Karena memang sudah kangen dengannya dan Zaki, keponakanku yang lucu,  biasanya aku langsung mengiyakan permintaan itu. Apalagi, aku juga  tidak terlalu keberatan dengan membagikan rezekiku kepada kakak-kakak  yang hidupnya masih sangat pas-pasan. Mumpung masih single,  kebutuhan belum terlalu banyak. Begitu pikirku setiap kali akan  memberikan bantuan uang atau pinjaman. Lagipula, sekarang ibuku sudah  tidak ada lagi. Inilah caraku untuk membalas lautan kebaikan beliau,  meskipun itu tidak akan pernah bisa menyamai dengan kasih Ibu yang tidak  pernah putus kepadaku sepanjang hidupnya. 
Tetapi, entahlah, kali ini aku merasa sebal dengan permintaan. Masak,  untuk urusan pulsa pun, mesti kutanggung. Rasanya, belum dua bulan, dia  merengek minta dibelikan bedak seperti punyaku agar bisa sedikit keren  saat mengajar. Sudah terlalu banyak dia meminta kepadaku. Bukankan aku  juga butuh uang untuk memenuhi kebutuhanku.
Tiga hari sms minta pulsa itu masuk, tetap ku acuhkan. Karena tidak  mendapat tanggapan dariku, dia mengirim sms lagi dengan menggunakan hp  anak kakakku yang satunya, kembali meminta agar dibelikan pulsa. “Kamu  kan baru pulang dari luar kota, pasti ada dong uangSPJ dari kantor,” isi  sms-nya. Membaca sms itu aku tambah kesal, nih orang kok maksa sih. Sms  tersebut masih juga belum kubalas. Malamnya, aku telpon dia dari  kantor. “Kok pelit amat sih, minta dibeliin pulsa Rp 20 ribu aja  susah,.” Protesnya. Dengan berkelit aku mengatakan kalau terlalu sibuk  untuk membelikannya. “Aku gak tahu nih mesti beli di mana, kartu ATM-ku  hilang, jadi, gak bisa beli pulsa dari ATM,” elakku. “Kan bisa yang  pakai elektrik, gampang dan praktis kok,” jawabnya. “Ya lah, kalau  sempat ke pasar, “janjiku. 
Belum juga janjiku dipenuhi, teman-teman sekantor yang bisa  mentraktirku minta ditraktir makan di Pizza HuT. Alasannya, karena aku  tidak membawa oleh-oleh dari liputan di Bangka. “Jadi, sebagai gantinya  traktir di Pizza Hut aja,” usul Mbak Upit, salah satu seniorku yang  langsung diiyakan mbak Wiwik and mbak Pipit. Karena gengsi, aku langsung  mengiyakan. “Tapi yang paket aja ya,” pintaku. Toh paling banyak hanya  Rp 50 ribu, pikirku. 
Esok harinya berlima kami pergi ke tempat jajanan yang cukup elit di  kotaku. Sambil ber-ha ha hi hi, kami menikmati hidangan pizza yang  lezat. Selesai makan, bill diserahkan oleh pelayan di meja kami.  Di luar dugaan, ternyata yang kami makan agak mahal, yakni Rp 80 ribuan.  Sekejap saja uang sebanyak itu pindah ke kasir. 
Malamnya, aku termenung di kamar. Aku sungguh tidak adil. Yuk Leni  yang sudah dua mingguan minta dibeliin pulsa Rp 20 ribu, hingga sekarang  belum kupenuhi. Sedangkan, hanya dalam hitungan 1 X 24 jam, Rp 80 ribu  uangku melayang untuk mentraktir teman-teman. Padahal, mbakku itu sedang  dalam kesulitan ekonomi. Sedangkan rekan sekerjaku uangnya lebih banyak  dari yang ku punya. “Maafkan aku, Yuk Leni, “gumamku sambil bergegas  mencari konter penjualan pulsa elektronik.

0 komentar:
Posting Komentar