Selasa, 10 Mei 2011

Tak Cukup Hanya Sekolah

Bulan Juni-Juli mungkin menjadi bulan-bulan yang paling menyibukkan bagi para orangtua. Betapa tidak, di bulan inilah biasanya sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan mulai dari sekolah menengah atas sampai ke level paling buncit alias play group atau taman bermain, membuka pendaftaran murid-murid baru. Sebagai orangtua tentu berharap untuk mempunyai anak yang sholeh/sholehah, dan untuk itu para orangtua pun seakan berlomba mencari sekolah terbaik yang diharapkan mampu melahirkan murid-murid unggulan yang ber-imtaq (iman dan taqwa) sekaligus ber-iptek. Tak ayal, sekolah-sekolah yang bercirikan Islam pun seakan menjadi ajang perburuan para orang tua. Dari mulai TPQ, TK-IT, SD-IT, SMP-IT, SMA-IT, sampai sekolah-sekolah yang mengusung konsep Islamic Full Day School dan Islamic Boarding School.

Sebenarnya, adalah hal yang sangat menggembirakan melihat tingginya animo masyarakat terhadap sekolah-sekolah Islami. Suatu indikasi bahwa pendidikan agama tidak lagi menjadi pendidikan sampingan. Pemahaman agama kini diangap sebagai suatu hal yang fundamental bagi perkembangan seorang anak. Kualitas individu tak lagi dinilai dengan kriteria duniawi semata. Akibatnya, madrasah-madrasah —terutama yang memakai atribut “terpadu”— tak lagi dianggap sekolah pinggiran, pondok pesantren —apalagi yang berbasis pondok pesantren modern— tak lagi dianggap sebagai tempat pembuangan sekaligus penampungan anak-anak nakal dan atau bodoh.

Permasalahan yang lantas muncul adalah adanya fenomena yang memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat terlalu menggantungkan harapan kepada lembaga-lembaga tersebut. Dengan kata lain, sekolah seolah menjadi satu-satunya sarana pendidikan bagi sang anak. Sepulang dari sekolah, sang anak kembali dibiarkan tanpa ada kesinambungan pendidikan yang tercermin dari perilaku dan kebiasaan orang tua. Jika ingin punya anak yang mencintai Qur’an, maka kirimlah ke TPQ atau TKIT, jika ingin punya anak yang faham fiqih, maka carilah SDIT, dan biarlah sang guru yang akan mencetak dan kita tinggal menunggu hasilnya, begitulah kira-kira.

Adalah suatu kekeliruan jika beranggapan bahwa sekolah-sekolah Islam tersebut dapat memberikan pendidikan secara menyeluruh. Konsep long-life education dalam Islam sebagaimana yang banyak tertuang dalam Al-Qur’an dan sabda-sabda Rasulullah SAW tidaklah mengisyaratkan pendidikan sepihak. Lihatlah pesan Rasulullah SAW berikut ini:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah seorang anak lahir melainkan dalam keadaan fithrah, maka kedua orang tualah yang menjadikannya, menasranikannya, dan yang memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anak yang selamat dari cacat, apakah kamu menganggap hidung, telinga, dan anggota binatang terpotong." (HR. Muslim No. 4803)

Di sini tersirat betapa orang tua (keluarga) juga diharapkan untuk berperan dalam membentuk pribadi anak. Proses tarbiyah (pendidikan) tidaklah terhenti sampai di sekolah, melainkan ia berlanjut sampai ke rumah dan lingkungan tempat sang anak berada. Hal ini sejalan dengan ungkapan masyarakat Barat yang mengatakan “The First School is Home and The First Teacher is Mother” (Rumah adalah Sekolah Pertama dan Ibu adalah Guru Pertama). Mirip sekali dengan pepatah Arab yang berbunyi "Al-Ummu Madrasah" (Ibu adalah Sekolah). Di situ terlihat betapa rumah dan keluarga yang dalam konteks ini diwakili oleh sang Ibu, juga menjadi salah satu pilar bahkan batu pertama dalam pendidikan. Hal ini pula yang mendasari beberapa keluarga untuk menjatuhkan pilihan pada home-based school di mana mereka mendidik putra-putri mereka di dalam rumah.

Ada baiknya jika kita bercermin pada kehidupan para Nabi dan orang-orang Shaleh yang banyak memberikan pelajaran yang bisa kita petik. Sayyidatina Maryam —ibunda Nabi Isa AS— bisa menjadi wanita pilihan langit karena adanya tarbiyah Ilahi yang tercermin melalui kesholehan keluarga Imran (baca: Maryam ialah anak dari keluarga Imran). Begitu pula dengan Fatimah RA Beliau tidak lantas tiba-tiba muncul menjadi wanita utama jika ayahanda (Rasulullah SAW) dan ibunda (Khadijah RA) tercinta tidak turut memberikan keteladanan dan pembinaan langsung.

Mungkin kita semua pernah mendengar ungkapan, “Jika anak dibesarkan dengan berbagi, maka ia belajar kedermawanan, jika anak dibesarkan dengan kebenaran, ia akan belajar kejujuran,” dst…dst. Hal ini menyiratkan bahwa seorang anak belajar bukan hanya dari sekolah melainkan juga dari apa yang orang tua ajarkan dan perlihatkan kepada dirinya.

Karena itu adalah setengah bermimpi jika menginginkan anak yang rajin mengaji tetapi orang tua sendiri tidak pernah membaca Al-Qur’an. Bagaimana mungkin mengharapkan anak yang mencintai masjid jika ayah sendiri bahkan tidak pernah mengajak ke masjid.

Kini, jika sekolah-sekolah Islam menjadi 'alternatif' utama bagi para orang tua adalah hal yang patut disyukuri. Akan tetapi upaya tidak lantas berakhir sampai di situ? Selayaknyalah kita bisa menjadikan anak-anak untuk berpikir bahwa rumahku juga sekolahku, orangtuaku juga guruku. Karena itu kita semua patut belajar bagaimana menjadikan rumah dan keluarga sebagai sarana pendidikan, pembinaan, dan pembelajaran bagi anak, terlebih di saat sekolah-sekolah Islami tersebut biasanya menetapkan biaya yang terlalu tinggi untuk dijangkau, maka rumah dan keluarga dapat menjadi pilihan utama dalam mewarnai pendidikan anak. Wallahu a’lam bi showab.

Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun, wajaalna lilmuttaqiina imaama. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqon [25] : 74)

Apa Kabar Akhirat?

Setiap media, terutama televisi, di setiap harinya tentu menyajikan head line news yang selalu saja berubah. Baik berita dari dalam negeri maupun dari mancanegara, terlepas dari kepentingan mereka meningkatkan rating yang ujung-ujungnya untuk kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik yang ujung-ujungnya “pencitraan” dan sebagainya.

Kemajuan yang kita rasakan bersama adalah bagaimana kini masyarakat begitu gemar dan aktif mengikuti berita-berita terkini di media. Tidak seperti di “era kemarin”, sajian berita menjadi acara yang “mengganggu”. Apalagi ada siaran langsung pidato menteri atau pejabat yang terkesan hanya formalitas menjalankan tugas. Kini benar-benar luar biasa, bahkan di bagian layar paling bawah terdapat berita baris berjalan menyajikan berita terkini.

Fenomena ini patut kita syukuri, walaupun di lain sisi, tontonan-tontonan murahan masih saja disajikan dengan dalih pelepas stress, baik itu adegan lucu atau adegan lucu plus “penjualan” aurat kaum hawa.

Sebagai penonton setia, betapa lepasnya kita tertawa terbahak-bahak menyaksikan setiap adegan menggelikan. Sebagai pemirsa yang baik, betapa kritisnya kita melihat dan mendengar setiap berita yang disajikan oleh media. Belum lama, berita tewasnya Usamah bin Ladin begitu penuh mewarnai di setiap sudut media. Ada yang bertepuk tangan, ada yang simpati, ada pula yang secara dalam menganalisa dan memberikan komentar-komentar yang terkesan bijak.

Ya begitulah berita, setiap hari berputar dan setiap kita seperti “diwajibkan” mengupdatenya, hingga media memberikan “ruang” komentar ataupun tanggapan-tanggapan melalui dunia online di dalam web maupun jejaring sosial atau melalui pesawat telepon yang bisa langsung dimunculkan di televisi, sehingga kita memang benar-benar diberikan apresiasi telah mengikuti “jalan” berita yang setiap saat mereka sajikan. Betapapun, tanggapan maupun kritik yang kita sampaikan kepada pejabat atau pihak yang bersangkutan kemungkinan besar hanya terkesan terapresiasi di layar kaca namun biasanya entah seperti apa di alam nyata.

Saudaraku, menanggapi fenomena di atas, ada rangkaian pertanyaan yang perlu kita jawab. Mengapa begitu kencangnya langkah hati kita untuk selalu menyaksikan berita-berita itu? Sedangkan, mengapa begitu lemahnya langkah hati kita untuk selalu menambah berita tentang “kepastian” yang telah menanti kita?

Begitu rakusnya kita saat ingin mengetahui keadaan terkini selebriti, keadaan politik, sosial, ekonomi, olah raga dan sebagainya dengan berbagai kemajuan yang telah Allah karuniakan melalui kemajuan teknologi saat ini. Akan tetapi seberapa rakusnya keinginan kita akan ilmu pengetahuan, kabar banyak tentang suatu masa yang sudah pasti Allah sebagai warning kepada kita?

Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-An’aam [6] : 32)

Dengan ayat di atas Allah menyatakan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sendau gurau dan permainan. Jika demikian, tentu menjadi sebuah kesalahan apabila kita selalu mengkonsentrasikan diri dalam dunia ini, menguras fikiran dan gagasan hanya untuk pengetahuan yang bersifat sementara ini. Sungguh menyedihkan, jika kita mengaku sebagai muslim hanya memahami akhirat sebatas kehidupan lanjutan setelah kematian, lalu di sana terdapat surga untuk orang-orang yang baik dan orang-orang durhaka akan dimasukkan ke dalam neraka.

Padahal kematian adalah pasti, akhirat selalu menanti. Bukankah sebuah kebodohan jika kita tidak mengerti dengan detail akan ilmu tentang sebuah kampung setiap saat menanti itu? Di sana ada kegelapan barzakh, di sana ma’syar, di sana sirath, di sana ada tak terhitung nikmat, di sana ada tak terbayangkan kengerian dahsyatnya siksa yang menanti. Bahkan Rasulullah SAW pun pernah menatapnya.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Abd Allah ibn ‘Abbas,"Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat berkata, 'Ya Rasulullah, kami melihat engkau memetik sesuatu, kemudian kami melihat engkau berbalik.' Rasulullah berkata 'Aku melihat surga dan mencoba memetik setangkai buahnya. Seandainya aku berhasil memetiknya, engkau pasti akan memakannya sampai akhir zaman. Dan aku melihat api neraka. Aku tidak pernah melihat sesuatu yang begitu mengerikan dan menakutkan'."

Mengetahui berita tentang akhirat, tentu bukan untuk berlomba-lomba menumpuk ilmu di dalam kepala semata. Melainkan agar benar-benar menghadirkan nuansa kenikmatan syurga kemudian memotivasi diri bahwa Allah benar-benar telah menyiapkan tempat mulia itu bagi hamba-hambaNya yang setia. Dan juga untuk menghadirkan rasa kengerian akan api neraka, sehingga kita bersama-sama berusaha menjauhkan diri darinya.

Jadi sangat berbeda dengan berita-berita duniawi yang setiap hari kita nikmati, yang kini cenderung mendidik menjadi masyarakat yang kritis, namun satu sisi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat hidup di dunia hanya menjadi janji manis, apalagi untuk kesejahteraan kehidupan di kampung keabadian kelak, mungkin hampir tak terpikirkan.

Melalui catatan kecil ini, sebenarnya penulis hanya ingin memotivasi dan menasihati diri sendiri, agar tak tenggelam dalam rutinitas dan berhenti pada titik puas menikmati suguhan berita-berita duniawi yang dilihat semakin menarik dari hari ke hari. Padahal ada ilmu dan berita yang harus kita perdalam, harus kita ketahui, yaitu berita tentang kampung akhirat. Yang siapapun dia, mau tidak mau, rela ataupun terpaksa akan menuju kepadanya. Tak terkecuali juga bagi mereka yang biasa mengumpulkan dan menyuguhkan berita-berita dunia tanpa pertimbangan ukhrawi sedikit pun.

Semoga kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang hanya tahu akan ilmu duniawi semata. Dan selalu bertanya, apa kabar akhirat? Wallahu ‘alam.

Senin, 09 Mei 2011

Suamiku Poligami

Poligami .. ooh .. poligami, kata itu terdengar tidak asing lagi. Namun, bagi yang belum siap di poligami jadi membuat merah telinganya. Mengapa demikian? Karena kebanyakan para suami yang sudah kebelet ingin poligami, tidak memperhatikan rambu-rambu yang baik dalam rumah tangga. Kadang sering berperilaku aneh, dan curang, bahkan berani berbohong.
Hari itu ada cerita yang membuat sedih hati, miris mendengarnya, malah kadang seperti mimpi di siang bolong. Teman saya yang sudah belasan tahun menikah dan punya anak yang sudah besar-besar, hendak menuntut cerei suaminya, karena dia merasa tidak di hargai keberadaannya, ketika dia mengetahui suaminya sudah menikah lagi, bahkan kebohongan suaminya itu sudah satu tahun lamanya.

Apa gerangan yang terjadi dengan poligami? Mengapa orang-orang sholeh yang menjadi panutan, justru malah mencoreng dirinya dengan perbuatan yang kurang ahsan (baik)? Mereka mengorbankan rumah tangga mereka demi mengejar ambisi yang belum tentu sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Poligami itu sunnah-kan bukan wajib?

Wajib mana antara poligami dengan menjaga ketentraman rumah tangga?

Bila poligami dikerjakan, rumah tangga yang dibina belasan tahun bahkan puluhan tahun, jadi hancur berantakan.

Namun bila tidak berpoligami alias menahan nafsu dari keinginan itu, rumah tangga di jaga dengan baik, dakwah lancar dan pikiran tenang.

Sudah banyak contohnya, apa lagi yang belum lama terjadi, da´i kondang yang menjadi panutan masyarakat, dengan keluarganya yang sakinah, karena terbawa ambisi dengan poligami. Namun beliau 'belum mampu' untuk melaksanakannya dengan baik, maka rumah tangganya jadi 'berantakan', dan beliau harus berpisah dengan istri pertamanya.

Sekarang mana yang lebih baik. Poligami atau menjaga keutuhan rumah tangga?

Jangan salahkan poligami-nya, tapi salahkan pelakunya yang belum siap, tapi memaksakan diri.

Saya rasa bukan begini yang diinginkan oleh Rasulullah SAW, beliau SAW pun akan sedih bila mengetahui hal ini, gara-gara ingin mengikuti sunnah, hancur semua yang sudah dibina belasan tahun, hancur sudah sang penerus dakwah ini, dan perceraian yang dibenci oleh Allah SWT, menjadi halal, walaupun dalam hadist Rasulullah SAW bersabda :

Dari Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian.” (HR. Abu Daud dan Hakim)

Halal bukan berarti dibolehkan begitu saja dikerjakan, halal dengan kata lain, bila rumah tangga yang dibina selalu dalam pertengkaran dan sudah banyak mudhorot-nya, maka jalan cerai itu menjadi halal dan dibenarkan. Allah pun tidak suka melihat seorang hamba-Nya teraniaya.

Misalkan teraniaya hatinya, sedih yang berkepanjangan, stres dan bahkan sampai sakit yang berlebihan menimpa si istri yang memang belum siap di-poligami, maka hal itu di bolehkan, untuk menyelamatkan seorang ibu, yang harus terus mendidik anak-anaknya.

Mungkin dengan bercerei maka si istri bisa berkonsentrasi dengan satu hal saja, yaitu mendidik anak-anak lebih baik lagi, sebagai penerus dakwah, dan tidak lagi memikirkan sakit hatinya yang telah diduakan dan 'merasa tidak dihargai' oleh suaminya.

Mengapa kini poligami menjadi terdengar mengerikan, bahkan para ibu rumah tangga sekarang banyak yang menjadi 'parno' alias 'para noit', atau jadi takut mendengar kata poligami, jangan disamakan para ummahat sekarang dengan ummahatul mu´minin. Jangan!!!
Kenapa? Zaman sudah berbeda kawan. Apakah para suami juga mau disamakan seperti Nabi Shallahu alaihi wa sallam? Beliau Shallahu alaihi wa sallam ber-poligami, tapi kelakuannya baik sekali. Tidak mengecewakan dan sangat menghargai istri-istrinya.

Wahai para suami yang sholeh kenalilah istri-istrimu dengan baik, pahami dan cintai dengan sepenuh jiwa, jangan disakiti, jangan dihinakan, jangan dikhianati cintanya dan jangan dibiarkan sampai keluar jalur.

Wahai para suami yang sholeh, bimbinglah istri-istrimu dengan cara yang ahsan, agar kau dapat menjalani keinginanmu dengan cara baik dan bijak, ingat poligami bukan sekedar penyaluran syahwat, yang berlebih. 

Karena kebanyakkan para lelaki mengibaratkan, bahwa lelaki itu memiliki nafsu yang berlebih, jadi perlu penyaluran tempat yang banyak atau lebih dari satu, naudzubillahi minzalik.

Saya membaca dalam al-Qur´anul karim, tidak ada Allah menuliskan hal itu. Karena kewajiban poligami itu dikatakan bagi yang mampu dan dapat berbuat adil. Syaratnya pun tidak sembarang saja, siapa saja yang baik dinikahi, tidak seenaknya saja, misalkan memilih yang lebih cantik dan lebih seksi dari istri pertama, atau kembali ke mantan pacar.

Wah, kalau begitu tujuan utamanya saja sudah salah, bagaimana mendapat ridho Allah, istri pun pasti merasa dilecehkan, waktu susah sama-sama, istri masih muda disanjung-sanjung, tapi sudah senang cari yang baru, istri makin tua, dilupakan.

Apakah anda senang wahai para suami, melihat orang yang selama ini bersama anda, menolong kesuksesana anda, menjaga aib anda, dan bahkan makan-tidur anda selama bertahun-tahun lamanya, sejak awal susah hingga anda sukses dan melahirkan anak-anak anda, dengan ikhlas bangun malam menjaga amanah dari Allah SWT, kini orang dekat anda itu menangis.

Memohon agar anda tidak dulu menduakannya, karena dia belum siap. Namun anda tidak memperdulikannya, apakah tidak sebaiknya anda menunda dahulu agar sang istri siap dunia akhirat untuk di poligami, yang dengan tujuan karena Allah SWT, apakah anda tidak sebaiknya membimbingnya dulu agar istri anda dapat menjadi panutan para ummahat yang lain?

Apakah anda tidak sadar, bila anda berani menyakiti istri anda, berarti anda juga sudah menyakiti orang tuanya yang sudah melahirkannya, saudara-saudaranya, bahkan Allah SWT yang menciptakannya.

Melihat situasi seperti ini, mengapa poligami harus dipaksakan, poligami toh, bukan karena nafsu kan, tujuannya karena hendak menolong kan, lantas apakah anda lebih mendahulukan menolong orang lain, dari pada menolong istri anda yang saat anda utarakan niat anda tiba-tiba istri anda menjadi ling-lung dan stres dikarenakan ketidaksiapannya, mengapa anda tidak menolong rumah tangga anda dulu saja, yang sudah anda bina belasan tahun.

Poligami itu-kan menyatukan dua wanita atau lebih, menjadi saudara, dan saling membimbing serta menasehati, hidup rukun dan tidak ada percekcokan, bukankah begitu yang diajarkan Baginda Rosullullah saw, tapi mengapa ketika poligami terjadi, istri pertama dilepas atau malah istri pertama menggugat cerei, apakah ini yang dinamakan poligami, kalau kayak begini namanya bukan poligami dong, melainkan menukar istri yang lama dengan yang baru, kayak beli sepatu saja ya.

Rasulullah SAW amat sangat menghargai istri-istrinya, bahkan Siti Khadijah yang sudah wafat pun amat sangat Beliau SAW hargai dan sayangi, sampai-sampai beliau berkata pada Aisyah yang cemburu ketika Rasullullah SAWsering menyebutkan nama Khodijah, bahwa Khadijah adalah istri yang sangat beliau sayangi dan tidak tergantikan, seperti dalam hadist yang berbunyi:

Dari Aisyah radhiyallahu anha pernah berkata,

Aku tidak pernah cemburu terhadap wanita seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, karena Nabi Shalallahu alaihi wassalam seringkali menyebut namanya. Suatu hari beliau juga menyebut namanya, lalu aku berkata, 'Apa yang engkau lakukan terhadap wanita tua yang merah kedua sudut mulutnya? Padahal Allah telah memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadamu'. Beliau bersabda, 'Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadaku'.” (HR. Bukhari)

Betapa amat sangat menghargai dan cintanya Rasulullah SAW pada Siti khadijah, karena beliau sadar, tanpa peran dan pengorbanan yang diberikah oleh Khadijah selama dalam dakwahnya itu, maka dakwah yang pertama kali beliau lancarkan tidak akan sempurna, dan Siti Khodijahlah yang pertama kali beriman kepada Rasulullah SAW, serta menjaga Rosulullah di setiap saat, dari Khodjah pulalah Rosulullah mendapatkan keturunan.

Nah, bagaimanakah dengan anda wahai para suami yang budiman, adakah anda sadar apa yang telah anda lakukan selama ini, sudahkah anda membimbing istri anda dengan baik, jangan ada kebohongan dalam melaksanakan yang hak, karena kebohongan akan membawa trauma dan mempersulit keadaan.

Kebanyakan para suami terlupa akan tugas utamanya dalam rumah tangga, bila sudah tak tahan ingin melakukan poligami. Apapun akan dia lakukan, agar misinya berhasil, nikah diam-diam itu senjata utama, dan untuk berbagi waktu maka di gunakan alasan tugas kantor, atau si wanita yang berpura-pura tidak tahulah bahwa calon suaminya itu sudah berumah tangga, maka dia terima lamarannya, dan menikah.

Satu alasan yang tidak masuk akal, memang poligami bagi para suami dibolehkan, dan tidak diwajibkan untuk izin pada istri, namun secara ahsan dan akhlaq yang baik, apakah tidak diutamakan kejujuran dan mendiskusikan, apakah selama ini istrinya yang senantiasa setia disampingnya hanya jadi seonggok daging tak bernyawa, ketika sang suami ada keinginan untuk menikah lagi.

Cobalah pikirkan dengan kepala dingin dan mata terbuka lebar, wahai suami yang sholeh. Jangan sampai anda yang tadinya jadi panutan, gara-gara poligami jadi runutan dan cemoohan, anda yang dulunya mengutamakan kejujuran, gara-gara poligami jadi menghalalkan kebohongan, anda yang sangat menjaga kata-kata dengan baik, gara-gara hendak berpoligami kata-kata anda jadi kasar dan menyakitkan.

Pikirkan dulu dengan matang jangan sampai menyesal di kemudian hari, anda-kan tidak mungkin menukar keluarga anda dengan keluarga yang baru, sayangkan keluarga yang telah anda bina puluhan tahun, dengan anak-anak yang jadi penerus dakwah anda, kini putus di tengah jalan, hanya karena nafsu dan kesombongan anda yang tidak terkendali.

Syurga yang anda cari justru neraka yang anda dapat, di dunia saja anda sudah sensara karena perbuatan anda sendiri, apalagi di akhirat nanti, mau kemana anda berlari, bila yang hak saja sudah anda langgar, karena menyakiti istri, membuat hidup tak tenang, poligami pun tak bermanfaat, dakwah anda jadi terbengkalai, anak-anak anda pun menjadi pemurung dan menjauh dari keramaian.

Wallahu´alam bishawab.

Benarkah Bentuk Semesta Seperti Terompet Sangkakala ?

“Sebelum kiamat datang, apa yang sekarang di lakukan oleh malaikat Isrofil?” Mungkin yang ada di benak kita malaikat Isrofil itu seperti sesosok seniman yang asyik mengelap terompet kecilnya sebelum tampil diatas panggung. Sebenarnya seperti apa sih terompetnya atau yang biasa juga dikenal dengan sangkakala malaikat Isrofil itu?

Sekitar enam tahun silam sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh Prof. Frank Steiner dari Universitas Ulm, Jerman melakukan observasi terhadap alam semesta untuk menemukan bentuk sebenarnya dari alam semesta raya ini sebab prediksi yang umum selama ini mengatakan bahwa alam semesta berbentuk bulat bundar atau prediksi lain menyebutkan bentuknya datar saja.

Menggunakan sebuah peralatan canggih milik NASA yang bernama “Wilkinson Microwave Anisotropy Prob” (WMAP), mereka mendapatkan sebuah kesimpulan yang sangat mencengangkan karena menurut hasil penelitian tersebut alam semesta ini ternyata berbentuk seperti terompet.

Di mana pada bagian ujung belakang terompet (alam semesta) merupakan alam semesta yang tidak bisa diamati (unobservable), sedang bagian depan, di mana bumi dan seluruh sistem tata surya berada merupakan alam semesta yang masih mungkin untuk diamati (observable).

Lihat gambar bentuk alam semesta dibawah ini:




Bentuk Alam Semesta
Di dalam kitab Tanbihul Ghofilin Jilid 1 hal. 60 ada sebuah hadits panjang yang menceritakan tentang kejadian kiamat yang pada bagian awalnya sangat menarik untuk dicermati.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda :
“Ketika Allah telah selesai menjadikan langit dan bumi, Allah menjadikan sangkakala (terompet) dan diserahkan kepada malaikat Isrofil, kemudian ia letakkan dimulutnya sambil melihat ke Arsy menantikan bilakah ia diperintah.

Saya bertanya : “Ya Rasulullah apakah sangkakala itu?”

Jawab Rasulullah : “Bagaikan tanduk dari cahaya.”

Saya tanya : “Bagaimana besarnya?”

Jawab Rasulullah : “Sangat besar bulatannya, demi Allah yang mengutusku sebagai Nabi, besar bulatannya itu seluas langit dan bumi, dan akan ditiup hingga tiga kali. Pertama : Nafkhatul faza’ (untuk menakutkan). Kedua : Nafkhatus sa’aq (untuk mematikan). Ketiga: Nafkhatul ba’ats (untuk menghidupkan kembali atau membangkitkan).”

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa sangkakala atau terompet malaikat Isrofil itu bentuknya seperti tanduk dan terbuat dari cahaya. Ukuran bulatannya seluas langit dan bumi. Bentuk laksana tanduk mengingatkan kita pada terompet orang-orang jaman dahulu yang terbuat dari tanduk.

Kalimat seluas langit dan bumi dapat dipahami sebagai ukuran yang meliputi/mencakup seluruh wilayah langit (sebagai lambang alam tak nyata/ghoib) dan bumi (sebagai lambang alam nyata/syahadah). Atau dengan kata lain, bulatan terompet malaikat Isrofil itu melingkar membentang dari alam nyata hingga alam ghoib.

Jika keshohihan hadits di atas bisa dibuktikan dan data yang diperoleh lewat WMAP akurat dan bisa dipertanggungjawabkan maka bisa dipastikan bahwa kita ini bak rama-rama yang hidup di tengah-tengah kaldera gunung berapi paling aktif yang siap meletus kapan saja.

Dan Allah telah mengabarkan kedahsyatan terompet malaikat Isrofil itu dalam surah An Naml ayat 87 :
“Dan pada hari ketika terompet di tiup, maka terkejutlah semua yang di langit dan semua yang di bumi kecuali mereka yang di kehendaki Allah. Dan mereka semua datang menghadapNya dengan merendahkan diri.”

Makhluk langit saja bisa terkejut apalagi makhluk bumi yang notabene jauh lebih lemah dan lebih kecil. Pada sambungan hadits di atas ada sedikit preview tentang seperti apa keterkejutan dan ketakutan makhluk bumi kelak.

“Pada saat tergoncangnya bumi, manusia bagaikan orang mabuk sehingga ibu yang mengandung gugur kandungannya, yang menyusui lupa pada bayinya, anak-anak jadi beruban dan setan-setan berlarian.”

Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik, jika terompetnya saja sebesar itu, lalu sebesar apa si peniupnya dan lebih dashsyat lagi, bagaimana dengan Sang Penciptanya? Allahu Akbar!

Wallahua'lam Bisshowa.

Jangan berfikir setelah mati tdk ada pertanggung jawaban

Seorang lelaki baru pulang dari menguburkan jenazah tetangganya. Dia nampak letih dan berkeringat lalu memilih duduk di bangku panjang di depan rumahnya. Seorang anak kecil berumur sekitar 10 tahun datang menghampiri lalu memijat kedua bahu ayahnya. Terjadilah percakapan santai antara dua bapak dan anak ini.

Anak: Pak Babon sudah dikuburkan, Yah?

Ayah: Sudah. Ayah ikut menguburkan.

Anak: Kenapa harus dikuburkan?

Ayah: Karena manusia berasal dari tanah maka kembalinya ke tanah.

Anak: Setelah itu kemana dia?

Ayah: Jasadnya dimakan ulat dan belatung lalu jadi tanah, rohnya dimintai pertanggungan jawab.

Anak: Darimana ayah tahu?

Ayah: Belum ada yang ngasih tahu karena tidak ada yang mati lalu hidup lagi ke dunia, Ayah cuma baca dari kitab.

Anak: Kenapa harus diminta pertanggungan jawab?

Ayah: Karena sudah diberi hidup.

Anak: Kalau ada yang tidak percaya tentang pertanggungjawaban setelah mati, bagaimana ayah?

Ayah: Anakku, kalau ada yang tidak percaya, sah-sah saja. Biarkan dia menjadi apa yang ia pikirkan. Asal bukan kamu.

Anak: Kenapa?

Ayah: Karena kamu tanggung jawab ayah.

Anak: Kalau saya tidak percaya bagaimana?

Ayah: Ayah cuma mau ngasih gambaran. Pikirkanlah, anakku.

Anak: Apa itu, ayah?

Ayah: Kalau kamu tidak percaya tentang pertanggung jawaban setelah mati, kamu boleh berbuat sesukamu. Jika jadi pejabat, korupsilah. Makan harta rakyat sebanyak engkau mau. Jadilah pencuri, pemerkosa, perampok, pembunuh, perusak, penghancur atau apa saja sesuka hatimu. Namun, ketika datang waktu mati ternyata ada pertanggung jawaban, celakalah kamu. Kamu akan merasakan pedihnya siksaan akibat perbuatanmu di dunia.

Anak: Jika ternyata tidak ada?

Ayah: Beruntunglah kamu. Hanya saja namamu akan rusak di dunia. Tidak enak makan tidak enak tidur. Dikucilkan. Mencari perlindungan dari hujatan, bahkan kamu mungkin akan terus sembunyi, takut wajah kotor kamu terlihat oleh orang lain. Enak apa tidak?

Anak: Tidak enak, ayah.

Ayah: Nah, selagi masih di dunia mari berbuat kebajikan. Menebar kasih sayang. Kalau bisa hiduplah untuk memberi manfaat bagi orang lain. Biar hidup tentram dan tenang. Juga persiapan kalau nanti setelah mati diminta pertanggungjawaban. Eh, kamu percaya kalau kamu juga akan mati?

Anak: Percaya, Ayah.

Ayah: Darimana?

Anak: Kakek sudah mati, Pak De juga mati, ayam punya Ayah kemarin juga mati. Nah, saya pasti juga mati.

Ayah: Pinter nih anak Ayah

Anak: Hehehehe