Selasa, 12 April 2011

Shalat Yuk, Nak.....!!!

"Adik, shalat yuk !" ajak seorang ibu kepada putrinya yang baru berumur empat tahun.
Kontan si anak menganggukkan kepala dengan mimik gembira. Putrinya memang lagi senang-senangnya belajar shalat.

Seorang bayi atau anak kecil bagaikan suatu bahan mentah yang siap dicetak oleh kedua orang tuanya, sebagai mana sabda Rasulullah Nabi Muhammad :

"Setiap anak dilahirkan atas dasar fitrah, dan kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi dan Kafir (menympang dari fitrah tersebut)".

Oleh karenanya, peran orang tua sangatlah besar untuk mendidik anak atas akhlak islam, pengajaran ibadah maupun hal lain. Sebagai contoh, tak sedikit para orang tua mengalami kesulitan dalam mengajarkan shalat pada anak. Padahal, shalat merupakan hal yang wajib diajarkan pada anak.

Sejak Dari Dalam Kandungan

Sebenarnya mengajarkan anak akan pentingnya shalat sudah harus dimulai sejak dari janin. Ibu yang senantiasa menjaga wudhu dan shalatnya pada saat hamil berarti telah mengenalkan shalat pada janinnya. Makna bacaan shalat akan terekam dan akan memberikan pengaruh positif bagi si janin. Mau seperti apa anak kita, penanaman hal hal yang kita inginkan dimulai dari kandungan. Tentu kita masih ingat seorang anak berusia 7 tahun penghafal Al-Qur'an. Kenapa bisa ? Ya, karena ibunya sejak si anak dalam kandungan selalu membaca Al-Qur'an setiap saat. Ada juga seorang anak yang sudah mahir memainkan tuts piano pada saat umur lima tahun. Setelah ditanyakan kepada ibunya, ternyata dia pada saat hamil hampir setiap hari menggunakan waktu luangnya dengan memainkan piano. Apa jadinya kalau ibu yang lagi hamil, sering bergosip, menonton sineron atau sering bertengkar dengan suaminya ??

Dari Sejak Dini

Semua bermula dari keteladanan orang tua. Menyaksikan kedua orang tuanya melakukan shalat lima waktu setiap hari sejak dini, membuat anak terpicu untuk meniru. Apalagi dikisahkan sebuah hadist ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah mengenai kapan waktu untuk mulai mengajak anak beribadah shalat. Nabi menjawab, " Jika ia sudah dapat membedakan tangan kanan dan tangan kirinya". Pada anak kemampuan membedakan tangan kanan dan tangan kiri diperolehnya pada masa balita, atau masa lima tahun pertama usianya, ketika ia sedang senang-senangnya meniru apapun yang dilakukan ayah dan ibunya.

Ketika anak memasuki usia sekolah, yaitu sekitar usa 7 tahun, maka mulailah anak siap untuk memasuki masa untuk mempelajari tata cara shalat yang benar. Seperti yang dijelaskan Rasulullah, "Ajarilah anakmu shalat pada usia tujuh tahun".
Beberapa cara yang dapat dilakukan pada fase ini, yaitu mengajarkan rukun-rukun shalat melalui pendekatan praktek langsung. Misalnya pada waktu-waktu shalat orang tua mengajak anak untuk langsung melakukan shalat dengan bimbingan. Mulai dari tata cara thaharah dan berwudhu pada anak, bagaimana membentuk barisan, shaf-shaf pada shalat diikuti dengan praktek shalat yang benar serta menghafalkan doa-doa secara bertahap.

Ketika berusia sepuluh tahun anak belum juga mau mengikuti perinah shalat, maka diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud disebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda :

"Suruhlah anak-anak kalian untuk shalat ketika nerumur tujuh tahun dan ketika telah berumur sepuluh tahun, namun tidak mau mengerjakan shalat, maka 'pukullah'".

Disini  tentu bukan melakukan hukuman dengan kekerasan fisik yang menyakitkan dan melukai anak, tetapi bahwa orang tua harus menunjukkan ketidak senangan dan konsenkuensi yang sangat tegas saat anak menolak shalat.

Penghargaan

Setiap pencapaian anak dalam belajar shalat merupakan prestasi baginya, selayaknyalah kita orang tuanya memberikan penghargaan.
Penghargaan tidak hanya diberikan aas prestasi akademik formal, tetapi hendaknya penghargaan diberikan ketika anak mengerjakan shalat lima waktu atau mampu membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Penghargaan sebagai bentuk ekspresi agar anak mengetahui bahwa hal tersebut memang benar-benar prestasi membanggakan sekaligus membahagiakan orang tuanya.
Penghargaan dari orang tua pun akan menumbuhkan sikap menghargai. Jika orang tua menghargai presasi anak dalam ibadah, maka anak pun menghargai ibadah itu. Penghargaan tidak selalu diekspresikan dalam bentuk barang, tetapi dengan ucapan terima kasih, pelukan cium, belaian yang diberikan sesudah anak mengerjakan shalat juga merupakan penghargaan yang tidak dapat diukur dengan materi.

Bagi anak-anak, guru yang paling baik adalah contoh yang benar dari kita orang tuanya.
Wallahu'alam bishawab.

Haji Berkah Tanpa ke Makkah

Makkah saat musim haji. Waktu siang yang terik, tersebutlah seorang ulama sufi, Abdullah bin Al-Mubarak sedang melepas penat di salah satu sudut Masjidil Haram. Saat diantara tidur dan terjaganya, sayup-sayup ia mendengar perbincangan dua malaikat.

Malaikat yang pertama bertanya pada temannya.
"Berapa banyak orang yang berhaji tahun ini ?"
"Enam ratus ribu !" jawab temannya
"Lantas, berapa banyak yang hajinya diterima oleh Allah ?"
"Hanya dua, Ibnu Mubarak dan seorang tukang sepatu di Damsyiq yang bernama Muwaffaq. Sayangnya Muwaffaq tidak dapat datang ke tanah suci ini, ia hanya sampai di depan pintu rumahnya saja. Tapi justru berkat haji Muwaffaq inilah semua umat muslim yang melaksanakan ibadah haji tahun ini diterima ibadahnya".

Abdullah bin Al-Mubarak kaget dan terbangun mendengar pembicaraan itu. Rasa penasaran meliputi benaknya. Bukan karena namanya yang disebut. Namun perhatiannya pada sosok yang disebut-sebut bernama Muwaffaq. Siapa gerangan dia ? Padahal ia sendiri berhalangan hadir ke tanah suci.

Setelah menyelesaikan ibadah hajinya, bergegas Ibnu Mubarak menuju Damsyiq. Ia bertekad menyelidiki sekaligus menmba ilmu dari Muwaffaq. Sesampainya di depan pintu rumah Muwaffaq, Ibnu Mubarak sempat terpana. Muwaffaq yang dicarinya ternyata jauh dari gambaran yang ia kira sebagai seorang ulama ataupun ahli ibadah. Muwaffaq hanya seorang laki-laki biasa. Sederhana bahkan terkesan polos. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Ibnu Mubarak langsung menceritakan apa yang dialaminya di Masjidil Haram, sekaligus bertanya apa yang telah diperbuat oleh Muwaffaq hingga derajatnya mulia di sisi Allah.

Selanjutnya mengalirlah sebuah rangkaian kisah yang menakjubkan dari mulut lelaki sederhana penambal sepatu ini :
Muwaffaq, sebenarnya sudah lama ingin menunaikan ibadah haji. Dua belas tahun lebih ia menabung untuk bekal hajinya. Tapi karena kemiskinannya, bekal itu tidak pernah bisa terkumpul. Hingga di tahun itu, Allah memberinya rizqi dengan uang tiga ratus dirham hasil dari pekerjannya membuat dan menambal sepatu. Dengan bekal uang itulah ia sudah berniat dan bersiap menunaikan haji.
Menjelang hari keberangkatan, ia berpamitan pada tetangga dan sanak saudaranya, sekaligus memohon doa. Saat perjalanan pulang dari rumah kerabatnya, istrinya mencium bau makanan di rumah seorang tetangganya. Istri Muwaffaq ingin sekali mencicipi makanan itu. Muwaffaq tidak ingin mengecewakan istrinya. Maka ia mengetuk pintu rumah tetangganya, yang ternyata seorang perempuan setengah baya. Saat ia meminta sedikit makanan untuk istrinya, secara mngejutkan perempuan itu berkata : "Maaf tuan, makanan ini halal untuk kami, tapi haram untuk Anda...!". Muwaffaq perlahan menanyakan mengapa wanita itu berkata demikian.

Akhirnya, wanita itu membuka rahasianya pada Muwafaaq. Sebenarnya ia adalah ibu dari anak-anaknya yang sudah yatim. Dan sudah tiga hari di rumah itu tidak ada makanan. Dan tak ada seorang pun yang berkenan mengulurkan tangan untuk membantu kesulitan mereka. Di hari keempat, sang ibu keluar mencari makan buat anak-anaknya. Sampai ia menemukan bangkai khimar ( sejenis daging kuda ) di tempat sampah, diantara sisa-sisa makanan. Dengan sangat terpaksa ia potong sebagian dagingnya untuk dimasak sekedar untuk makan anak-anaknya. "Oleh karena itu aku katakan pada Anda bahwa makanan itu halal untuk kami, tetapi haram bagi Anda," jawab perempuan itu.

Mendegar jawababn wanita itu, Muwaffaq kembali ke rumah. Diceritakannya pada sang istri perihal kesulitan yang dialami tetangga mereka. Istri Muwaffaq menangis dan mengangguk setuju saat Muwaffaq memutuskan menyerahkan seluruh uang bekal hajinya pada ibu dari anak-anak yatim tetangganya itu.. Diserahkannya uang itu. Semuanya. "Belanjakan uang ini untuk anak-anakmu yang yatim itu !", katanya.

Mendengar penjelasan Muwaffaq, pahamlah Ibnu Mubarak mengapa Muwaffaq sampai mendapat derajat yang mulia meski ia batal datang ke Makkah.