Jumat, 01 April 2011

Ya’juj & Ma’juj, Sudah Munculkah…..?

Dalam Shahih Muslim, dalam hadits An-Nawwas bin Sam’an yang sangat panjang: “Bahwa Ya’juj dan Ma’juj, ketika Isa bin Maryam membunuh Dajjal, maka Allah berfirman kepadanya : “Aku telah mengeluarkan hamba-hamba-Ku, di mana tidak ada kekuatan kedua tangan seorang pun yang mampu memerangi mereka (Ya’juj dan Ma’juj), maka lindungilah hamba-hamba-Ku di bukit Thur, mereka akan keluar melewati danau Thabariyyah, “Kelompok pertama dari mereka (Ya’juj dan Ma’juj) melewati danau Thabariyyah, lantas meminum air yang ada di dalamnya. Kemudian orang-orang terakhir dari mereka melalui danau tersebut, lantas mengatakan: “Dulu tempat ini pernah merupakan mata air”. Kemudian mereka menembakkan anak-anak panah nya ke langit, lantas Allah mengembalikan anak panah kepada mereka ke bumi dalam keadaan berlumuran darah”. Mereka pun berkata: “Kita telah mengalahkan semua yang ada di muka bumi dan mengalahkan penduduk langit.”

Diriwayatkan dengan shahih pula dalam Shahihain (yakni Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi Sholallahu alaihi wa salam bahwa pada suatu hari, beliau pernah bersabda:

“Celakalah orang-orang Arab karena keburukan yang telah dekat. Hari ini, dinding Ya’juj dan Ma’juj telah dibuka seperti ini”, seraya beliau melingkarkan ibu jari dengan jari setelahnya.

Hadits ini adalah dalil yang sangat jelas lagi shahih, bahwa sejak hari itu, yakni di mana Nabi Sholallahu alaihi wa salam mengucapkan sabdanya tersebut, telah ada beberapa sebab yang menjadikan Ya’juj dan Ma’juj bisa keluar. Sebab-sebab tersebut seiring berjalannya waktu menjadi semakin kuat. Sama saja, apakah maknanya seperti yang dimisalkan oleh Nabi Sholallahu alaihi wa salam dengan tujuan untuk mendekatkan hakikat sebenarnya kepada nalar pikiran, dan bahwa mereka telah mulai berusaha untuk keluar dan bergerak cepat di bumi, atau bahwa dinding Ya’juj dan Ma’juj telah terbuka pada waktu itu sebesar ukuran tersebut. Kemudian senantiasa akan semakin bertambah lebar, hingga roboh dan hancur luluh.
Jika ada seseorang yang bertanya, “Kenapa manusia tidak melihat dinding tersebut rata dengan tanah? Jawaban tentang permasalahan ini telah dijelaskan sebelumnya. Dan hendaknya dijawab pula : Jika sejak zaman Nabi sholallahu alaihi wa salam, dinding tersebut telah terbuka sebesar ukuran tertentu, dan kalau bukan karena sabda Nabi sholallahu alaihi wa salam tentu kaum muslimin tidak akan mengetahui tentang terbukanya, yakni dengan sabda beliau : 

“Celakalah orang-orang Arab karena keburukan yang telah dekat.”

Kemudian beliau mengkabarkan ukuran terbukanya dinding tersebut. Dalam hal ini terkandung dalil yang amat gamblang bahwa dinding tersebut telah terbuka sebagiannya, dan dalam waktu yang dekat akan terbuka semuanya, lalu mereka akan keluar di tengah-tengah manusia. Juga dalam hadits itu diterangkan ciri yang sangat gamblang sekali, yang tidak diragukan lagi oleh siapa saja yang mengetahui realita. Sesungguhnya Nabi sholallahu alaihi wa salam telah mengingatkan orang-orang Arab tentang keburukan yang telah dekat, yang dilakukan oleh Ya’juj dan Ma’juj. Maka barangsiapa mengetahui kondisi bangsa Arab dan agama Islam, bagaimana kemenangan-kemenangan Islam meluas baik di timur dan barat, dan bagaimana bangsa Arab dapat memperoleh Izzah (kemuliaan) dengan Islam dan tersebar luas, di mana hal ini belum pernah diketahui oleh selain mereka. Kemudian bagaimana umat-umat lain akan mengerumuni mereka (kaum muslimin) sebagaimana orang-orang yang lapar mengerumuni makanan di atas sebuah piring besar, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasul yang selalu benar dan dibenarkan (yakni Rasululullah sholallahu alaihi wa salam).Selanjutnya, bagaimana setelah itu Islam menjadi surut dan kemuliaan bangsa Arab terhadap kerajaan-kerajaan Islam tersebut menjadi lenyap. Dan bagaimana mereka mengalami kehancuran dan kerusakan yang sangat besar, sedikit demi sedikit, sampai terjadilah penghancuran yang amat dahsyat oleh bangsa Tartar, yang mana mereka adalah dari jenis Ya’juj dan Ma’juj dan dari satu tempat tinggal dengan mereka, sebagaimana dijelaskan oleh ahli sejarah. Diantara mereka adalah Ibnu Katsir Rohimahullah. 

Hukum Senda Gurau

Setiap orang tidak terlepas dari masa lalunya masing-masing. Masa lalu seseorang hendaknya tidak menjadi rantai pengikat kaki-kaki mereka menuju jalan yang terang di karena cahaya Islam yang telah ia nyalakan dalam hatinya. Masa lalu seseorang bukan sebuah beban, masa lalu seseorang layaknya pelajaran yang harus ditempuh seseorang seperti anak-anak sekolah. Masa lalu bisa menjadi palajaran yang sangat berharga, diambil hikmahnya, dan jangan sampai mengulanginya kembali di masa akan datang bagi hamba dengan niat taubat.

Apa hubungan masa lalu dengan sendau gurau? Senda gurau mungkin ibarat makanan sehari-hari bagi sebagian orang, terutama mereka yang suka humor/ humoris. Tidak jarang senda gurau yang mereka lontarkan menyentuh hal-hal yang tidak baik, tetapi sekali lagi mereka tetap mendapatkan tawa dari semua itu, entah apapun bahan senda gurau. Mungkin saja tidak perlu masa lalu, kemarin, tadi, barusan atau bahkan sekarang sendau gurau itu menghiasi hidup kita, mengenyangkan pikiran kita, artinya kita tidak lepas dari senda gurau dalam keseharian kita.

Senda gurau bisa berakibat fatal. Hubungan persaudaraan dapat renggang gara-gara senda gurau, pikiran seseorang tercampur hal-hal kotor karena sendau gurau, bukankah hal ini tidak diinginkan? Sementara itu sebagian kita masih senang senda gurau, apakah mereka menginginkan kefatalan di atas? atau apa sebenarnya yang tujuan lain senda gurau? tawa?

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ” Sesungguhnya di antara orang-orang yang paling aku cintai serta paling dekat denganku pada hari kiamat nanti adalah orang yang paling bagus akhlaknya. Sesungguhnya orang yang paling aku benci di antara kalian serta paling jauh dariku pada hari kiamat adalah orang yang cerewet, bermulut besar dan mutafaiqihun. ” Para sahabat bertanya, ” Wahai Rasulullah, kami sudah tahu apa itu cerewet dan bermulut besar, tapi apakah itu mutafaiqihun?” Beliau menjawab, ” Orang-orang yang sombong.” (HR. At-Tirmidzi, dalam Kitabbul birr wash shilah dari hadis Jabbir bin Abdillah, no. 2018)

Jika seorang muslim menyatukan keseriusan yang ia jalani dengan ruh senda gurau, ucapan manis dan mengundang senyum serta pilihan hikmah, dia mampu meraih hati semua orang dengan daya tarik perkataannya dan memikat jiwa setiap orang dengan cara bergaulnya yang lembut dan candanya yang tidak mengurangi wibawanya.

Senda gurau yang lepas dari perkataan dan perbuatan terlarang yang memperkeruh kejernihan hati adalah dianjurkan. Ini adalah akhlak mulia yang dianjurkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. 

Lalu bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memberi contoh dalam senda gurau yang mampu memikat jiwa tanpa mengurangi wibawanya? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melakukan senda gurau untuk sebuah maslahat, yaitu menyenangkan hati lawan bicara dan beramah tamah dengannya. Sesungguhnya aku juga bercanda namun aku tidak berkata kecuali yang benar.” (HR. Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, hadist no. 779)

Jadilah Wanita Paling Mulia

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan isyarat bahwa yang paling mulia diantara hamba-hamba-Nya adalah yang paling bertakwa kepada-Nya. Maka tiadalah suatu kemuliaan akan terwujud kecuali beriringan dengan ketakwaan.

Harus ada pembeda untuk membedakan antara muslimah yang benar-benar bertakwa dan muslimah yang hanya mengaku bertakwa padahal dia tidak meniti jalan takwa, atau bahkan dia berada di jalan yang salah. Oleh karena itu -sebagai pembeda- penjelasan tentang sifat-sifat muslimah yang benar-benar bertakwa sangat diperlukan. Semoga sifat-sifat di bawah ini dapat mewakilinya:

1. Mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, akan mendorong seorang muslimah untuk senantiasa taat kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan Rasul-Nya.

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Cinta laksana sebuah pohon yang tumbuh di dalam hati. Akar akarnya adalah rasa rendah di hadapan Dzat yang dicintainya. Batangnya adalah mengenal-Nya. Rantingnya adalah rasa takut kepada-Nya. Daun daunnya adalah rasa malu kepada-Nya. Buahnya adalah taat kepada-Nya. Dan bahan yang digunakan untuk menyirammya adalah mengingat-Nya (dzikir). Jika salah satu hal tersebut tidak ada dalam cinta maka cinta tersebut tidak sempurna.”

2. Muraqabah; senantiasa merasa dalam pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Kelika seorang muslimah lupa bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi dan memperhatikannya, akan ada dorongan untuk melanggar larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bermaksiat kepada-Nya, tanpa ada rasa bersalah. Berbeda dengan muslimah yang bertakwa, ia senantiasa merasa berada dalam pengawasan Allah Azza wa Jalla, sehingga ia malu untuk menyelisihi perintah-perintah-Nya. Lahir dan bathinnya bersih dari perkara yang dapat menimbulkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3. Menundukkan dan mengalahkan hawa nafsunya
Seorang muslimah yang bertakwa senantiasa berusaha untuk menundukkan hawa nafsunya. Memerangi dan mengalahkan keduanya dengan menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendekatkan diri kepada-Nya dan senang kepada-Nya. la selalu mengintrospeksi dirinya. Jika ia mendapati kekurangan pada dirinya, ia akan mencelanya, berusaha untuk mencegahnya dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kekurangan tersebut masih tersisa, maka jiwanya akan berusaha untuk mengikis dan membersihkan. Hawa nafsunya senantiasa dikendalikan oleh syari’at. Sedangkan muslimah yang tidak menjaga dan mengendalikan hawa nafsunya, ia akan binasa, jiwanya menjadi rusak dan ia akan menderita kerugian yang nyata.

4. Tidak mengikuti langkah-langkah setan
Hal ini dapat terwujud dengan sempurna bila seorang muslimah benar-benar mengetahui tipu daya dan perangkap setan. Senantiasa waspada terhadap bisikan dan makarnya. Hal pertama yang wajib diketahui oleh seorang muslimah adalah; setan adalah musuh yang nyata bagi bani Adam. Maka tidak mungkm setan menyuruhnya untuk berbuat kebaikan dan mencegahnya dari perbuatan mungkar.

5. Mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”(QS. Al-Hajj:32)

Sya’aair adalah bentuk plural dan sya’irah; yaitu segala sesuatu yang diperuntukkan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengandung sesuatu yang maklum diketahui, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Al-Qurthubi Rahimahullah.

Muslimah yang senantiasa menjaga shalat, hijab, lisan dan auratnya pada hakikatnya adalah muslimah yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kepada Saudaraku Yang Sedang Sakit

Wahai saudaraku sesama muslim yang sedang sakit…
Wahai saudaraku yang terbaring lemas di atas ranjang putih karena terpaksa…
Wahai saudaraku yang sedang kehilangan kesehatan serta diharamkan menikmati rasanya afi’at…

Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuhu
Waba’du….

Salah satu bentuk nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah nikmat keselamatan, afiat dan kesehatan. Nikmat tersebut laksana mahkota raja di atas kepalanya, yang tidak dapat dirasakan kecuali oleh mereka yang sedang sakit yang terbaring lemas, merana dan merintih di atas ranjang-ranjang putih. Mereka merasakan kepedihan hati (karena sakit) siang dan malam. Mereka semua berada di bawah naungan kasih sayang Allah. Kemudian juga dalam pengawasan para perawat serta dokter. Mereka tidak memiliki kekuatan ataupun siasat cerdik untuk keluar dari kondisi tersebut, kecuali dengan kemurahan dan rahmat Allah.

Dari itulah, saya merasa berkewajiban menulis surat ini, kepada saudara-saudaraku yang sedang sakit, semoga itu menjadi semacam penghibur serta bukti ikut merasakan penderitaan mereka. Dan semoga kata-kata yang ada di dalamnya mampu berfungsi sebagai peringan rasa sakit yang mereka derita. Lebih dari itu, semoga menjadi peringatan bagi kita semua dengan anugerah Allah dan rahmat-Nya. Dengan memohon pertolongan hanya kepada-Nya saya katakan:

Wahai saudaraku, yang engkau mengetahui, bahwa tiada sesuatupun yang menimpamu kecuali merupakan takdir Allah…

Berbaik sangkalah kepada-Nya sehingga rasa sakit yang menimpamu terasa ringan adanya. Sesungguhnya Allah Mahasayang terhadap hamba-hamba-Nya. Ingatlah selalu firman Allah yang terdapat dalam Hadist Qudsi, “Aku tergantung persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Jika baik, maka baiklah adanya. Dan jika buruk, maka buruklah adanya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani dan Ibnu Hibban).

Ketahuilah, jika engkau berbaik sangka kepada Allah, engkau akan merasa ridha dan rasa sakitmu menjadi ringan, sebab engkau yakin sepenuhnya bahwa Allah tidak menakdirkan kecuali kebaikan. Engkau juga sepenuhnya meyakini bahwa Dzat yang menimpakan sakit kepadamu tiada lain kecuali sang Maha Pengasih di antara mereka yang mengasihi, yang mana Dia lebih bersifat kasih sayang kepada makhluk-Nya ketimbang seorang ibu terhadap sang anak.

Wahai engkau yang sedang diuji kesehatan dan ‘afiatmu…

Panjatkanlah pujian kepada Allah Ta’ala, bahwa penyakit serta bala yang menimpamu tidak ditimpakan dalam agamamu. Sebab musibah dalam agama merupakan kerugian besar lagi nyata. Dan hindarilah -semoga Allah memaafkanmu- sikap selalu mengeluh, tidak terima, serta perasaan dongkol atas takdir Allah. Sebab hal itu merupakan perilaku yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang muslim. Salah seorang ulama salaf pernah berkata, “Tidak satupun musibah yang menimpaku, kecuali aku memuji Allah atasnya, karena empat hal: 

Pertama, Allah tidak menjadikan musibah tersebut dalam agamaku;  
Kedua, Dia menganugerahiku sikap sabar terhadapnya;  
Ketiga, Dia tidak menjadikanya lebih besar;  
Keempat, Dia menganugerahiku sikap kembali kepada-Nya saat musibah itu ada.”

Wahai, saudaraku… yang engkau mengharap rahmat dan anugerah-Nya…
Janganlah engkau lupa, bahwa sakit menjadi penghapus dosa-dosa dan kesalahan -dengan izin Allah-. Rasulullah pernah bersabda, “Tiadalah kepayahan, penyakit, kesusahan, kepedihan dan kesedihan yang menimpa seorang muslim hingga duri di jalan yang mengenainya, kecuali Allah menghapus dengannya kesalahan-kesalahannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Maka bergembiralah, wahai saudaraku yang sedang sakit… karena kasih sayang serta rahmat Allah yang masih dikaruniakan kepadamu. Dan ketahuilah -semoga engkau lekas sembuh- bahwa musibah yang menimpamu lebih ringan jika dibanding dengan musibah yang menimpa selainmu. Di luar sana banyak orang yang ditimpa penyakit lebih parah dan lebih serius dari yang menimpamu. Salah seorang penyair pernah berkata, Dalam setiap rumah pasti ada ujian dan cobaan. Bisa jadi yang menimpa rumahmu adalah jenis cobaan paling ringan (jika engkau mampu mensyukurinya).

Wahai orang yang sedang dilingkupi dan diliputi pelbagai rasa sakit…
Ikhlaskanlah seluruh bentuk penyakit yang menimpamu karena Allah. Sebab kemungkinan besar hal itu telah ditakdirkan Allah sebagai sarana pengangkat derajatmu di akhirat kelak. Tentu jika engkau mampu bersabar dan benar-benar mengharap balasan Allah karenanya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan atasnya, maka Dia akan menguji dan menimpakan musibah kepadanya.” (HR. Al-Bukhari). Pun hal itu bisa jadi merupakan ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang mukmin pasti akan diuji oleh Allah. Sebagaimana firman-Nya,  

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang orang yang sabar”. (QS. Al Baqarah: 155 ). Juga karena Rasul Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala (balasan) sangat ditentukan oleh besarnya cobaan. Dan sekiranya Allah mencintai suatau kaum, Dia menguji dan memberikan cobaan kepada mereka.” (HR. Imam At-Tirmidzi, Ath-Thayalisi dan Al-Baihaqi).

Keharusanmu –wahai saudaraku yang ditimpa sakit– adalah bersabar dan mengharap pahala atas apa yang menimpamu. Engkau hendaknya ridha sebagai bentuk aplikasi dari sabda Rasul Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, “Barangsiapa ridha atas cobaanya, maka dia berhak mendapat ridla Allah. Barangsiapa marah (atas cobaan yang menimpanya) maka murka Allah akan selalu menyertainya.” (HR. Imam At-Tirmidzi, dihasankan olehnya).

Salah seorang penyair pernah berkata:
Jika takdir diberlakukan padamu sebagai suatu perkara
Terimalah dengan jiwa lapang, apa yang dilakukan takdir
Setiap suatu yang berat pasti ada jalan keluarnya
Dan setiap cobaan pasti ada batas akhirnya
Berlindunglah kepada Allah, Dia akan menghindarkanmu dari segala keburukan
Sesungguhnya Allah melakukan segala apa yang dikehendaki-Nya
Wahai engkau yang berupaya mencari kesembuhan dan mengejar afiat…
Tidak syak, bahwa engkau mencari segala jenis obat yang mungkin bisa mengobati dan menyembuhkan seluruh penyakit yang menjangkitimu. Hal tersebut memang disyari’atkan dan diperintahkan oleh agama, dengan catatan obat tersebut bukan sesuatu yang haram atau yang dilarang menurut syari’at. Sebab Rasul Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan penyakit berikut obatnya, maka berobatlah. Dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Ath-Thabrani)

Jika cara penyembuhan serta obat yang dipakai adalah sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at, maka hal itu boleh menurut kaca mata syari’at. Akan tetapi bila yang terjadi sebaliknya, misalnya dengan jalan sihir, perantara dukun, mantra-mantra dan sejenisnya yang diharamkan Allah, maka hal itu sama sekali tidak boleh. Sebab di dalamnya terkandung unsur penipuan, kedustaan, tipu daya, keburukan, kerusakan dan memakan harta manusia dengan cara batil, di samping hal itu juga merusak akidah seorang muslim. Kita berlindung kepada Allah, agar terbebas darinya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang ramal, kemudian ia membenarkan ucapanya, maka ia telah kafir kepada apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.” (HR. Imam Ahmad dan Al Hakim dari shahabat Abu Hurairah)

Wahai saudaraku yang sedang kehilangan rasa sehat…
Janganlah memperbanyak ratapan, rintihan dan keluh kesah. Sebab para salafus salih memakruhkan dan tidak menyukai sikap seperti itu. Sebab hal itu menunjukkan sifat lemah dan tidak sabar. Hendaknya engkau memperbanyak dzikir, tasbih, takbir dan tahlil. Berupayalah selalu -semoga Allah menyembuhkanmu- melakukan istighfar dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab itu merupakan jalan keluar bagi hamba dari penyakit serta kesedihan yang sedang menimpanya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Barangsiapa membiasakan Istighfar, Allah akan memberikan baginya jalan keluar dari setiap kesempitanya, menganugerahinya jalan penyelesaian atas kesedihanya dan akan memberinya rezeki dari arah yang ia tidak sangka-sangka.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma).

Saudaraku sesama muslim yang sedang sakit…
Perbanyaklah doa yang tulus serta permintaan kesembuhan yang tiada henti. Sebab Allah menyukai permintaan-permintaan hamba-Nya. Dan manakala Dia melihat adanya kesungguhan, keikhlasan serta kejujuran hamba-Nya, niscaya Dia mengabulkan permintaanya dan mewujudkan harapan harapannya juga akan menghilangkan segala yang ia derita dengan sifat qudrah-Nya, Ke-Maha Keperkasaan-Nya, dan Ke Mahasucian-Nya.

Wahai engkau yang sedang sedih dan rasa sakitmu selalu bertambah…
Jauhilah olehmu terjebak dalam perangkap dan tipu daya setan, sebagaimana yang ia lakukan kepada sebagian orang yang sedang sakit. Yang mana mereka mengira bahwa jalan menuju ringanya rasa sakit, melupakan penyakit yang sedang diderita serta menghibur diri darinya adalah dengan jalan mendengar musik, menikmati lagu-lagu yang diharamkan, menyibukkan diri dengan acara-acara TV yang tidak bermoral atau dengan menyaksikan film-film yang tidak mendidik, yang pada hakikatnya hal itu merupakan jenis penyakit yang serius lagi membahayakan. Hendaknya engkau -semoga Allah memberkahimu- memperbanyak tilawah dan telaah Al-Qur`an, memperbanyak dan menyibukkan diri dengan membaca dan menelaah buku-buku yang bermanfaat. Jika hal itu tidak mampu Anda lakukan, maka di sana tersedia berbagai kaset Islami yang Anda bisa dengarkan dan simak. Terdapat bacaan-bacaan Al-Qur`an, ceramah-ceramah bermanfaat, khutbah-khutbah bermutu serta pelajaran pelajaran berharga yang bisa menghabiskan dan mengisi waktu longgarmu sehingga dapat memperingan dan melupakan rasa sakit yang menimpamu. Di samping hal itu sangat bermanfaat juga mendatangkan banyak pahala bagimu -Insya Allah-.

Wahai saudaraku yang bersabar atas sakit yang menimpamu serta mengikhlaskanya karena mengharap pahala dari Allah…
Ketahuilah, bahwa penyakit yang menimpamu adalah lebih baik bagimu -Insya Allah-. Sebab hal itu mengandung pahala besar serta balasan yang agung. Diriwayatkan dari Shuhaib Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik. Hal itu tidak dimiliki oleh siapapun kecuali orang beriman. Jika dianugerahi perkara yang membahagiakan ia bersyukur, dan itu lebih baik baginya. Jika ditimpa perkara yang merugikannya (kesulitan ataupun lainya) ia bersabar, dan itu lebih baik baginya”. (HR. Muslim)

Tidak hanya itu. Bahkan termasuk kemurahan Allah terhadapmu, Dia memberikan pahala dan balasan atas amal-amal shalih (yang selama sakit engkau tidak dapat melakukanya) akan tetapi engkau selalu melakukanya sebelum sakit. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Jika salah seorang kalian sakit atau bepergian, Allah menulis baginya pahala sebagaimana ketika ia melakukan amal tersebut di saat sebelum sakit atau ketika mukim.” (HR. Imam Al-Bukhari dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu)

Wahai orang yang sedang diuji Allah dengan penderitaan yang tiada seorangpun mampu menghilangkanya kecuali Dia yang Maha Suci….
Jauhilah olehmu sikap putus asa dan pesimisme terhadap rahmat Allah. Sebab hal itu berlawanan dengan petunjuk Islam. Janganlah sekali-kali berharap ajal segera tiba,  tatkala penyakitmu bertambah berat dan bertambah keras atau engkau tidak segera sembuh. Sungguh hal itu tidak boleh, sebab Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang dari kalian berharap mati karena kesempitan atau kemalangan yang menimpanya. Jika dengan terpaksa ia berharap, maka hendaklah ia mengucap, ‘Ya Allah, hidupkanlah aku sekiranya hal itu lebih baik bagiku, dan matikanlah aku, sekiranya hal itu lebih baik bagiku’.” (HR. Imam Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu)

Jangan engkau mengira -semoga Allah memberimu kesembuhan- bahwa dalam kematian, engkau menemukan ketenangan dan bebas dari rasa sakit. Sebab penyakit, bisa jadi menjadi sebab bertambahnya kebaikan dan berlipatgandanya pahala sementara engkau tidak mengetahuinya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengharap kematian, jika ia orang baik bisa jadi kebaikanya akan bertambah (karena sakit), atau jika ia orang jahat, bisa jadi ia akan diampuni.” (HR. Imam Ahmad, Al-Bukhari dan Imam An-Nasa’i dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu’ Anhu)

Wahai orang yang terhalangi dari bepergian menuju rumah-rumah Allah di muka bumi karena sakit…
Janganlah sekali-kali engkau meninggalkan ataupun meremehkan shalat di saat engkau sakit sehingga melaksanakannya tidak tepat pada waktunya. Sebab hal itu adalah dosa besar serta perkara serius dan membahayakan. Sengaja meninggalkan shalat adalah prilaku kekafiran -Kita berlindung kepada Allah darinya- sebagaimana hal itu difatwakan oleh para ulama. Di samping bahwa sikap menyepelekan dan meremehkan penunaian shalat merupakan dosa besar, pelakunya berada di jurang bahaya besar. Maka hendaknya -semoga Allah menguatkan kita bersama- menjaga pelaksanaan shalat tepat pada waktunya, baik shalat dengan cara duduk, berdiri, berbaring miring, berbaring terlentang dengan wajah ke atas atau sesuai kemampuanmu.

Tidak cukup ini saja, bahkan hendaknya engkau juga memperingatkan orang-orang sakit di sekitarmu tentang keagungan dan pentingnya shalat juga urgensitas penunaianya tepat pada waktunya. Terlebih mereka yang sakit adalah lebih menghajatkan kepada jenis ibadah ini (shalat) dalam kondisi yang seperti itu.

Sebagai penutup…
Saya memohon kepada Allah agar melimpahkan kesehatan dan ‘afiat kepada saya juga kalian semua umumnya. Dan semoga Dia menganugerahi kita semua kesehatan dan keselamatan dari berbagai jenis penyakit baik jenis lahir ataupun batin. Di samping itu saya juga memohon kepada Allah agar kita semua digolongkan menjadi orang yang jika diberi nikmat mampu mensyukuri, jika diuji dapat bersabar, dan jika berbuat dosa dan kesalahan segera meminta ampunan. Sebagaimana saya juga memohon kepada-Nya bagi mereka yang sedang diuji semoga diberikan kesembuhan dan yang sakit semoga segera sehat dan semoga Dia merahmati si mayit dari kalangan kaum muslimin. Sesungguhnya Dialah yang Mahakuasa atas itu semua, dan shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasul Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam keluarga beserta para shahabatnya…

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu

Ada Apa Dengan Sedekah ???

Segalah puji hanyalah milik Allah yang telah mendorong hamba-hamba-Nya agar berderma dan berinfak. Yang telah menjamin bagi mereka segala kebutuhan mereka berupa harta dan rezeki.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba yang kedermawanan dan kebaikannya terpancar ke segala penjuru alam, demikian pula atas keluarga, shahabat dan orang yang mengikuti beliau dengan baik sampai hari pertemuan kelak.

Saudaraku seislam, telah shahih dari Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:

لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتىَّ يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَ أَبْلاَهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ؟ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَ عَلِمَ
“Tidak akan bergeser tapak kaki seorang bani Adam pada hari kiamat nanti hingga ditanya tentang lima perkara: Tentang umurnya untuk apa ia habiskan. Tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan. Tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan. Dan tentang apa yang telah ia amalkan dari ilmunya.” (HR. At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Sudahkah kita menghisab diri kita -wahai saudaraku seislam- tentang harta kita? Darimanakah kita memperolehnya? Kemanakah telah kita belanjakan? Apakah kita memperolehnya dengan cara yang halal dan kita belanjakan pada perkara yang halal pula? Ataukah kita memperolehnya dengan cara yang haram dan kita belanjakan kepada perkara yang haram?

Ketahuilah wahai saudaraku seislam, sesungguhnya harta bisa menjadi sebab yang mengantarkan kita ke surga dan bisa juga menjadi sebab yang mengantarkan diri kita ke neraka. Barangsiapa menggunakan hartanya untuk mentaati Allah dan membelanjakannya kepada jalan-jalan kebaikan maka harta itu menjadi sebab yang mengantarkan kita kepada ridha Allah dan kemenangan berupa surga. Dan barangsiapa menggunakan hartanya untuk mendurhakai Allah, membelanjakannya untuk mengejar syahwat yang diharamkan dan melalaikannya dari ketaatan kepada Allah, maka harta itu menjadi sebab turunnya kemarahan Allah atasnya dan ia berhak mendapat siksa yang pedih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,” (QS. At-Taubah: 34).
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwa siapa saja yang menginfakkan hartanya untuk menghalangi manusia dari jalan Allah niscaya ia akan mendapat kehinaan dan penyesalan pada hari Kiamat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan.” (QS. Al-Anfal: 36)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah menjelaskan tentang golongan pertama, yaitu orang-orang yang menggunakan hartanya untuk mentaati Allah dan membelanjakannya untuk perkara-perkara yang diridhai-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30)
Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku datang menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang sedang berlindung di bawah naungan Ka’bah. Beliau bersabda, ‘Merekalah orang-orang yang paling merugi, demi Rabb Pemilik Ka’bah’. Beliau mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Akupun menjadi sedih, aku menarik nafas lalu berkata, ‘Ini merupakan peristiwa yang buruk pada diriku. Aku bertanya, Siapakah mereka? Ayah dan ibuku menjadi tebusannya?’” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab:

الأَكْثَرُوْنَ أَمْوَالاً، إِلاَّ مَنْ قَالَ فِي عِبَادِ اللهِ هَكَذَا وَهَكَذَا وَقَلِيْلٌ مَا هُمْ مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُوْتُ فَيَتْرُكُ غَنَمًا اَوْ إِبِلاً أَوْ بَقَرًا لاَ يُؤَدِّي زَكَاتَهَا إِلاَّ جَاءَتْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ أَعْظَمُ مَا تَكُوْنُ وَأَسْمَنُ حَتَّى تَطَأَهُ بِأَظْلاَفِهَا، وَتَنْطِحُهُ بِقُرُوْنِهَا، حَتَّى يَقْضِيَ اللهُ بَيْنَ النَّاسِ ثُمَّ تَعُوْدُ أُوْلاَهَا عَلىَ أُخْرَاهَا
“Orang-orang yang banyak hartanya! Kecuali yang menyedekahkannya kepada hamba-hamba Allah begini dan begini. Namun sangat sedikit mereka itu. Tidaklah seorang lelaki mati lalu ia meninggalkan kambing atau unta atau sapi yang tidak ia keluarkan zakatnya melainkan hewan-hewan itu akan datang kepadanya pada hari kiamat dalam bentuk yang sangat besar dan sangat gemuk lalu menginjaknya dengan kukunya dan menanduknya dengan tanduknya. Hingga Allah memutuskan perkara di antara manusia. Kemudian hewan yang paling depan menginjaknya kembali begitu hewan yang paling belakang berlalu, begitulah seterusnya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمَ القِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرُدَتْ أُعِيْدَتْ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَان مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikankan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ، مُثِّلَ لَهُ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ، يَطُوْقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، يَأْخُذُ بِلَهْزَمَتَيْهِ – يَعْنِي شَدْقَيْهِ – يَقُوْلُ: أَنَا مَالُكَ.. أَنَا كَنْزُكَ
“Siapa saja yang Allah beri harta kepadanya tapi ia tidak mengeluarkan zakatnya maka akan dijelmakan kepadanya ular berkepala botak yang memiliki dua taring, lalu ular itu melilitnya pada hari kiamat, lalu ular itu menggigitnya dengan kedua rahangnya lalu berkata: Akulah hartamu! Akulah harta simpananmu!” (HR. Al-Bukhari).
Kita sekarang dalam kehidupan yang enak dan kenikmatan yang besar yang tiada terhitung dan terhingga. Jika kita tidak menginfakkannya sekarang dan melapangkan hati untuk berinfak mumpung kita masih dalam keadaan yang baik ini -walhamdulillah- maka kapankah lagi kita akan berinfak?

Apakah baru mau berinfak sesudah kita jatuh fakir?! Atau sesudah kematian datang menjemput kita?! Marilah kita berinfak fi sabilillah wahai saudaraku yang mulia! Janganlah ragu dan jauhilah waswas setan!
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268)
Berinfaklah, sekali-kali janganlah menyesal karena telah berinfak, dengan izin Allah bisa jadi satu Rupiah akan memanggil pada hari Kiamat, “Akulah sedekahmu hai Fulan!” Seorang mukmin berada di bawah naungan sedekahnya pada hari yang agung itu! Hari yang tiada naungan kecuali naungan ‘Arsy dan naungan sedekah.
Jika hawa nafsu berusaha menggoda supaya tidak berinfak maka coba lihat ketika kita membeli makanan dan minuman, pakaian dan mainan anak-anak, bahkan ketika membeli koran dan majalah? Berapa banyak uang yang telah kita keluarkan untuk nafsu kita? Bahkan berapa banyak uang yang telah kita belanjakan untuk membeli keperluan tertier? Dan berapa banyak sudah uang yang kita infakkan fi sabilillah untuk menolong agama dan untuk membantu saudara-saudara kita kaum muslimin yang membutuhkan bantuan??!!

Tawassul yang Disyariatkan

Setiap kali ada musibah dan ujian yang menghantui kehidupan manusia seorang Muslim, ia harus kembalikan semuanya  kepada  Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena ia meyakini bahwa Allah-lah, Rabb yang mampu menyingkap hijab-hijab kesulitan, kefakiran dan kepayahan para hambaNya. Dan ia juga meyakini bahwa Dialah yang mampu memberikan pertolongan, kemudahan dan petunjuk. Tidak ada kekuatan lain yang mampu melakukan hal ini selain Dia, Allah Ta’alaa. Terkadang dalam memohon dan berdo’a, manusia sering menggunakan perantara (atau yang disebut dengan tawassul dalam terminology aqidah) antara dirinya dan Allah Ta’alaa. Karena mereka merasa tidak mampu, lemah dan tidak memiliki apa-apa dihadapan Rabbnya. Hal ini mereka lakukan agar do’a dan permohonannya terkabulkan dengan segera.

Namun sebagai manusia muslim, ia harus selalu memperhatikan rambu-rambu Islam dalam masalah tawassul, karena tidak semua bentuk tawassul atau perantaraan yang berkembang dalam masyarakat ini diperbolehkan dalam ajaran Islam. Boleh jadi seorang muslim dalam berdo’a, ia bertawassul dengan kuburan-kuburan, batu-batuan dan pepohonan yang dikramatkan. Bahkan ada yang meyakini adanya kekuatan lain atau penguasa lain selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah yang ada di bumi ini.

Tawassul menurut etimologi bahasa Arab artinya: “Sesuatu yang bisa mendekatkan kepada yang lain.” (Mukhtar Ash-Shihah)

Ibnu Atsir di dalam An-Nihayah mengatakan: “(Tawassul adalah) sesuatu yang akan menyampaikan kepada yang lain dan mendekatkan diri dengannya.”

Adapun menurut terminologi syariat, tawassul adalah: “Mendekatkan diri kepada Allah dengan segala bentuk ketaatan dan peribadatan, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan segala bentuk amalan yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diridhai-Nya.” (At-Tawassul Ila Haqiqati Tawassul).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah Kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya.” (QS. Al-Maa’idah: 35).

Qatadah berkata, “Bertaqarrublah kepadaNya dengan ketaatan kepadaNya dan mengamalkan segala yang diridhaiNya.”

Tawassul yang disyari’atkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Qur ’an, dituntunkan oleh Rasulullah dan dipraktekkan oleh para sahabat. Pada dasarnya setiap ketaatan dan sikap merendahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat dijadikan sebagai bentuk tawassul. Ada beberapa macam tawassul yang disyari’atkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Salam, yaitu:

1.   Tawassul dengan iman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, menceritakan tawassul para hambaNya dengan iman:

Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu),’Berimanlah kamu kepada Rabbmu’, maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali Imraan: 193).

2.   Tawassul dengan tauhid, seperti dosa Nabi Yunus Alaihis Salam ketika ditelan oleh ikan besar:

Maka ia menyeru dalam keadaan sangat gelap: ‘Bahwa tak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.’ Maka Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikanlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiyaa’: 87-88).

3.   Tawassul dengan nama-nama Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada­Nya dengan menyebut asma-ul husna itu.” (QS. Al-A’raaf: 180).

Di antara doa Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam dengan nama-namaNya ialah ucapan beliau:

Aku memohon kepadaMu dengan semua nama yang Engkau miliki.” (HR. At-Tirmidzi, dan ia menilai hasan shahih).

4.   Tawassul dengan sifat-sifat Allah, seperti ucapan Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam:

Wahai Yang Mahahidup lagi Yang Mengatur urusan makhlukNya, dengan rahmatMu aku memohon bantuan.” (Hasan, riwayat at-Tirmidzi).

Syaikh ar-Rifa’i mengatakan, “Mohonlah segala hajat kalian kepada Allah dengan kecintaanNya kepada auliya’Nya.”

5.   Tawassul dengan amal-amal shalih, seperti shalat, berbakti kepa­da kedua orang tua, memelihara hak-hak, amanah dan sedekah, dzikir, membaca al-Qur`an, shalawat atas Nabi Shalallahu’alaihi wa Salam, kecintaan kita kepadanya dan para sahabatnya, serta amal-amal shalih lainnya. Disebutkan dalam Shahih Muslim tentang tiga orang yang tertahan di dalam gua, lalu mereka bertawassul kepada Allah, yang pertama dengan amal shalih berupa memelihara hak buruh, yang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tuanya dan yang ketiga dengan rasa takutnya terhadap Allah, maka Allahpun membebaskan mereka dari gua tersebut.

6.   Tawassul kepada Allah dengan meninggalkan kemak­siatan, seperti khamar, zina dan yang diharamkan lainnya. Salah seorang yang terperangkap dalam gua tersebut bertawassul dengan perbuatan zina yang yang ditinggalkannya, lalu Allah membebaskannya dari gua tersebut.

Sebagian kaum muslimin tidak mengerjakan amal shalih dan bertawassul dengannya. Mereka justru bertawassul dengan amalan-amalan orang lain yang sudah mati, dengan menyelisihi petunjuk Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam dan para sahabatnya.

7.   Tawassul dengan meminta doa dari para Nabi dan orang-orang shalih semasa hidupnya. Diriwayatkan bahwa seorang yang buta matanya datang kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa Salam seraya mengatakan, “Berdoalah kepada Allah agar Dia memberi kesembuhan kepadaku.” Beliau bersabda: “Jika kamu suka, aku berdoa untukmu dan jika kamu suka, kamu bersabar saja; dan itu lebih baik bagimu.” Ia mengatakan, “Berdoalah!” Kemudian beliau memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna, lalu shalat dua rekaat, dan berdoa dengan doa ini:

Ya Allah, aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan nabiMu, nabi rahmat. Wahai Muhammad aku menghadap denganmu kepada Rabbku dalam hajatku ini agar hajatku ini diselesaikan. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku, dan berilah aku syafaat melalui (doa)nya.”
Orang itu pun melakukannya sehingga terbebas dari kebutaannya. (Shahih, riwayat Ahmad).

Hadits ini mengandung arti bahwa Rasul Shalallahu’alaihi wa Salam berdoa untuk orang buta semasa hidupnya, lalu Allah mengabulkan doanya. Beliau memerintahkan kepadanya agar berdoa untuk dirinya sendiri, dan menghadap kepada Allah dengan doa Nabinya, maka Allah menerima doanya. Doa ini khusus semasa hayat beliau Shalallahu’alaihi wa Salam dan tidak boleh berdoa dengannya sepeninggalnya. Karena para sahabat tidak melakukannya, dan orang-orang yang buta tidak bisa mengambil manfaat dari doa itu setelah peristiwa ini.

Untuk menjaga tauhid dan kesempuranannya, setiap mukmin harus berupaya dan berusaha menjauhkan dirinya dari bentuk tawassul yang mengandung bid’ah dan dilarang oleh Islam. Karena tawassul yang mengandung nilai kemungkaran ini akan berpengaruh pada terkabulnya do’a itu sendiri. Dan seharusnya setiap mukmin memperhatikan do’a-do’a yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tawassul yang Dilarang

Tawassul yang terlarang adalah menggunakan sarana untuk mendekat-kan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syari’at. Di antaranya tawassul dengan berdoa kepada orang-orang mati atau orang-orang yang tidak hadir, memohon keselamatan dengan perantaraan mereka, dan sejenisnya. Semua perbuatan itu adalah syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan bertentangan dengan tauhid.

Berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dalam bentuk doa permohonan seperti meminta sesuatu dan meminta diselamatkan dari bahaya: atau doa ibadah seperti rasa tunduk dan pasrah di hadapan Allah, kesemuanya itu tidak boleh dialamatkan kepada selain Allah. Memalingkannya dari Allah adalah syirik dalam berdoa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan Rabbmu berfirman:”Berdo’alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina…” (QS. Al-Mukmin : 60)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat di atas ganjaran bagi orang yang enggan berdoa kepada-Nya, bisa jadi dengan berdoa kepada selain-Nya atau dengan tidak mau berdoa kepada-Nya secara global dan rinci, karena takkbur atau sikap ujub, meski tak sampai berdoa kepada selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

“Berdoalah kepada Allah dengan rasa tunduk dan suara perlahan..”

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan berdoa kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya.
Segala bentuk penyamaan Allah dengan selain-Nya dalam ibadah dan ketaatan, maka itu adalah perbuatan syirik terhadap-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka. “ (QS. Al-Ahqaaf : 5)

“Barangsiapa yang menyeru bersama Allah Ta’ala sesembahan yang lain padahal tidak ada bukti baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun : 117).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menganggap orang yang berdoa kepada selain-Nya, berarti telah mengambil sesembahan selain-Nya pula. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.(QS. Faatir : 13-14)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini, bahwa Dia-lah yang Maha Berkuasa dan Mampu mengurus segala sesuatu, bukan selain-Nya. Bahwasanya para sesembahan itu tidak dapat mendengar doa, apalagi untuk mengabulkan doa tersebut. Kalaupun dimisalkan mereka dapat mendengar, merekapun tidak akan mampu mengabulkannya, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau memberi mudharrat, dan tidak memiliki kemampuan atas hal itu.

Sesungguhnya kaum musyrikin Arab di mana Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa Sallam diutus, mereka menjadi orang-orang kafir karena kemusyrikan mereka dalam berdoa. Karena mereka juga berdoa kepada Allah dengan tulus ketika mendapatkan kesulitan. Kemudian mereka menjadi kafir kepada Allah di kala senang dan mendapatkan kenikmatan dengan cara berdoa kepada selain-Nya. Allah berfirman:

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS. Al Isra’ : 67)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

“Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan keta’atannya”. (QS.Yunus : 22)

Tawassul yang terlarang dapat dikelompokkan menjadi:

1.   Tawassul kepada orang-orang yang sudah mati, meminta berbagai hajat dari mereka, dan meminta pertolongan kepada mereka sebagaimana realitas hari ini. Mereka menyebutnya sebagai tawassul, padahal bukan demikian. Karena tawassul ialah meminta kepada Allah dengan perantara yang disyariatkan, seperti iman, amal shalih dan Asma’ullah al-Husna. Sementara berdoa kepada orang-orang yang sudah mati adalah berpaling dari Allah, dan itu termasuk syirik besar; berdasarkan firmanNya:

Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Yunus: 106).

2.   Adapun tawassul dengan jaah (kedudukan) Rasul, seperti ucapan Anda: Wahai Rabb, dengan jaah Muhammad berilah pertolongan kepadaku.” Ini adalah bid’ah, karena para sahabat tidak pernah melakukannya, dan karena Khalifah Umar bertawassul dengan al-Abbas semasa hidupnya dengan doanya. Umar tidak bertawassul dengan Rasul setelah kematiannya, ketika meminta turun hujan. Sedangkan hadits: “Bertawassullah dengan jaah (kedudukan)ku” adalah hadits yang tidak punya asal (la ashla lahu), sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Tawassul bid’ah bisa membawa kepada syirik. Yaitu jika ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membutuhkan perantara, seperti halnya seorang amir dan hakim. Karena ini sama halnya menye­rupakan Khaliq dengan makhlukNya. Abu Hanifah berkata, “Aku tidak suka memohon kepada Allah dengan (perantara) selain Allah.”

3.   Adapun meminta doa kepada Rasul setelah kematiannya, seperti ucapan Anda: “Wahai Rasulullah, berdoalah untukku!” maka ini tidak boleh. Karena para sahabat tidak pernah melakukannya. Dan juga berdasarkan sabda beliau:

Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim).

Namun bila bertawassul dengan orang shalih yang masih hidup, dengan doa mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara meminta agar dia mendoakan dirimu kepadaNya, maka hal ini diperbolehkan di dalam syariat dan telah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah kepada beliau dan telah dilakukan pula oleh Umar bin Khaththab kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu.

Kemusyrikan sebagian orang pada masa sekarang ini bahkan sudah melampaui kemusyrikan orang-orang terdahulu di jaman jahiliyyah. Karena mereka memalingkan berbagai bentuk ibadah kepada selain Allah seperti doa, meminta keselamatan dan sejenisnya hingga pada saat terjepit sekalipun. Kita memohon keselamatan dan keberuntungan kepada Allah. Dengan demikian hendaklah orang yang berdo’a mengambil perantara agar dikabulkan do’anya dengan perkara-perkara yang dicintai dan disukai oleh Allah, yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah. Bukan dengan kebid’ahan yang membuat Allah benci, bukan pula dengan kesyirikan yang membuat Allah murka.

Wallahu A’lam.

Keindahan Dienul Islam

Dienul Islam seluruhnya indah. Aqidahnya adalah aqidah yang paling benar, paling lurus dan paling bermanfaat. Etikanya adalah etika yang paling terpuji dan paling elok. Amal dan hukumnya adalah yang paling baik dan paling adil.

Islam adalah agama kebahagiaan dan kemenangan, dan bahwasanya Islam tidak membiarkan manusia dalam kesendiriannya, atau bersama keluarganya, atau bersama tetangganya, atau bersama saudara-saudara seagamanya, bahkan bersama manusia lainnya melainkan diajarkan kepadanya etika-etika secara detail, cara-cara bergaul yang dapat menjadikan kehidupannya damai dan meraih kebahagiaan.

Dengan pandangan yang agung dan tinjauan yang indah terhadap keindahan agama inilah, Allah akan meresapkan keimanan ke dalam hati seorang hamba dan menjadikan iman itu indah dalam hatinya. Sebagaimana karunia yang telah dilimpahkan-Nya untuk hamba-Nya yang terpilih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu”. (QS. Al-Hujuraat:7)

Sehingga iman dalam hati menjadi sesuatu yang paling disukai dan yang paling indah. Dengan inilah seorang hamba akan merasakan kelezatan iman, ia akan benar-benar merasakannya dalam hatinya. Batin menjadi indah dengan dasar keimanan dan hakikatnya. Dan lahiriyah juga menjadi indah dengan amal-amal keimanan.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata: “Jika engkau perhatikan hikmah yang sangat agung pada agama yang lurus, millah yang hanif dan syariat yang dibawa Muhammad dengan segala kesempurnaannya, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, dan keindahannya tidak kuasa untuk disifatkan serta tidak dapat dibayangkan oleh orang-orang yang cemerlang akalnya, meskipun mereka berkumpul memikirkannya dan mereka semua memiliki akal lelaki yang paling sempurna menurut ukuran akal yang paling cemerlang untuk mengenali keindahannya dan menyaksikan keutamaannya. Tidak pernah ada di alam semesta syariat yang lebih sempurna, lebih mulia dan lebih agung daripadanya. Syariat itu sendiri menjadi saksi dan yang disaksikan, menjadi hujjah dan yang didukung oleh hujjah, menjadi dakwa dan keterangan, seandainya rasul tidak datang membawa bukti keterangan niscaya sudah cukup syariat ini menjadi bukti, ayat dan saksi bahwa ia diturunkan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Oleh karena itu, memperhatikan keindahan agama ini, meneliti isinya berupa perintah dan larangan, syariat dan hukum, akhlak dan adab, merupakan motivator dan pendukung yang paling kuat untuk masuk ke dalamnya bagi yang belum beriman, dan untuk menambah keimanan bagi yang sudah beriman. Bahkan, semakin kuat perhatiannya terhadap keindahan agama ini, semakin kokoh tapak kakinya dalam mengenal agama ini dan mengenal keindahan dan kesempurnaannya serta keburukan apa saja yang menyelisihinya, niscaya ia akan menjadi orang yang paling kuat keimanannya, yang paling bagus keistiqamahannya dan komitmennya terhadap agama ini.

Oleh karena itu Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Maksudnya, kalangan khusus umat ini dan orang-orang pilihannya, setelah akal mereka menyaksikan keindahan agama ini, keagungan dan kesempurnaannya, serta menyaksikan keburukan, kekurangan dan kejelekan apa saja yang menyelisihinya maka keimanan dan kecintaannya terhadap agama ini akan merasuk ke dalam hati. Kalaulah diberi pilihan antara dilemparkan ke dalam api atau memilih agama selain Islam niscaya ia akan memilih dilemparkan ke dalam api dan dipotong-potong anggota tubuhnya daripada harus memilih agama selainnya. Manusia seperti ini merupakan manusia yang telah kokoh tapak kakinya di atas keimanan. Mereka adalah manusia yang paling jauh dari kemurtadan dan manusia yang paling berhak mendapat keteguhan di atasnya sampai hari mereka bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Aku katakan: “Dalil yang mendukung perkataan Ibnul Qayyim di atas adalah hadits Anas Radhiyallah ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Ada tiga perkara, siapa saja memiliki ketiga perkara tersebut niscaya ia akan merasakan manisnya iman. Yakni apabila Allah dan rasul-Nya menjadi yang paling ia cintai daripada selain keduanya, tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah semata, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan ke dalam api.”

Inilah hamba yang merasakan kelezatan iman dan telah merasuk keimanan dalam hati sanubarinya yang paling dalam, lalu hatinya memancarkan cahaya iman dan ia memperoleh ketenangan yang luar biasa. Sehingga tidak mungkin lagi ia kembali pada kekufuran, kesesatan, mengikuti hawa nafsu dan persangkaan dusta. Bahkan ia akan menjadi manusia yang paling dalam keimanannya, paling kuat komitmen dan keteguhannya, paling kuat ikatannya dengan Rabb dan pencipta-Nya. Karena ia masuk ke dalam Islam atas dasar ilmu, qana’ah dan ma’rifah. Sehingga ia mengenal keindahan Islam dan keagungannya, keelokan dan kebersihannya serta keistimewaannya di atas agama-agama yang lain. Maka iapun meridhai Islam menjadi agamanya, ia merasa damai tiada tara dengan Islam. Lalu bagaimana mungkin ia mencari pengganti selainnya? Atau mencari alternatif lain atau mencari tempat pindah atau tempat lainnya?

Hati yang Paling Jauh dari Allah

Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya di dalam hati terdapat ruang kosong dan kekurangan yang tak dapat diisi oleh suatupun kecuali Allah, terdapat sesuatu yang kusut yang tidak dapat diurai kecuali dengan pendekatan diri kepada Allah, terdapat penyakit yang tak dapat disembuhkan selain dengan sikap ikhlas dan beribadah hanya kepada-Nya. Tidaklah seorang hamba dihukum dengan sesuatu yang lebih berat dari kekerasan hati dan keterjauhan dari Allah. Sungguh api itu diciptakan untuk melunakkan hati yang kasar. Sesungguhnya hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras, dan sebagaimana  diketahui, bilamana hati telah mengeras, maka air mata sulit mengalir dan mata menjadi kering (Tidak mudah menangis). Ia terasa berat mengalirkan air mata baik di saat berdzikir, takut kepada Allah ataupun ketika tunduk bersimpuh di hadapan Allah.
 
Barangsiapa menghendaki hatinya bersih hendaklah ia lebih mementingkan Allah Ta’ala daripada memenuhi tuntutan syahwatnya, sebab hati yang senantiasa berlumuran maksiat terhalang dari cahaya Allah sesuai kadar keterkaitanya dengan syahwat tersebut. Hati adalah bejana-bejana Allah di atas bumi-Nya, dan yang paling disukai-Nya adalah  hati yang paling jernih dan lembut.” (Lihat kitab ‘Al-Fawaid’ hal. 128).

Betapa banyak telinga hati telah mendengar nasehat dan petuah, juga santapan ruhani dari para penasehat pagi dan petang, akan tetapi tidak juga ia mampu meresponnya bahkan kukuh dalam kekerasannya… ayat-ayat al-Qur’an yang sampai kepadanya hanya menambah kekerasan, keangkuhan dan kegersangannya… seakan pada pintunya dibentangkan pintu besi sehingga menghalangi kebenaran dan sejuknya dzikir  yang sampai pada pemilik.

Benarlah apa yang diucapkan seorang penyair:

Dzikir menghidupkan hati
Laksana hujan yang menghidupkan bumi  kering
Dzikir, selamanya tiada berguna bagi hati-hati yang keras
Apakah batu bisa melunak kala mendengar ucapan penasehat

Sebagian manusia mampu merinding ketika mendengarkan nasehat dan dapat terpengaruhi jiwanya saat menyimak peringatan, akan tetapi, hal itu hanya sesaat. Perasaan itu sudah hilang ketika ia beranjak dari majlis nasehat dan waktu ia bangun dari mendengar peringatan itu. Akhirnya, ia seakan sama sekali tidak pernah mendengar nasehat apapun, dan peringatan yang baru saja ia dengar sama sekali tidak meninggalkan atau membekaskan pengaruh dan kesan… bagi orang demikian tepatlah ucapan Malik Bin Dinar: “Apabila fisik sakit, maka makanan, minuman dan bahkan sesungguhnya , istirahatnyapun tidak berguna.” Begitu pula, jika hati yang telah mabuk dunia, nasehat apapun tiada berguna baginya. Ia tertipu dan terpedaya dengan kesehatan fisik dan limpahan harta benda yang dimiliki. Ia mengira dirinya dalam kondisi baik baik saja, tak ada masalah, baik baik dan bahkan tak ada sanksi yang menghadangnya. Ia tidak mengetahui ketertipuan dan keterlenaannya, juga perubahan hatinya yang menjadi keras adalah sebesar besar bencana yang menimpanya, sedang ia tidak menyadari itu.