Proses perbaikan diri, menggapai ridha dan ampunan ilahi, kadang-kadang dipengaruhi banyak hal. Tidak saja faktor internal orangnya, tapi juga lingkungan yang mengitarinya. Walaupun variabel diluar diri manusia sebenarnya lebih bersifat pendukung semata. Selebihnya banyak unsur dikembalikan kepada diri orang tersebut.

Namun begitu, menganggap remeh faktor lingkungan juga kurang tepat. Bila proses perbaikan diri selalu terkalahkan oleh lingkungan, itu memang ironis. Tapi kalau lingkungan bisa direkayasa untuk menyukseskan proses perbaikan diri apa salahnya. Lingkungan –baik waktu, tempat, maupun peristiwa— sebenarnya bisa menjadi momentum perbaikan diri yang luar biasa. Karenanya, tidak harus seorang muslim membuang muka dengan lingkungan. Lebih baik menjadikannya sebagai momentum perbaikan diri. Berikut ini beberapa contoh momentum penting yang sangat strategis bagi upaya perbaikan diri. Setiap muslim bisa memanfaatkannya sesuai kapasitas masing-masing: 
  1. Tertimpa musibah atau ujian
  2. Bertafakkur alam
  3. Pergantian waktu dan peristiwa
  4. Melakukan muhasabah dan kontemplasi
1. Tertimpa musibah atau ujian 

Hidup tak selamanya menyenangkan. Tidak jarang musibah datang mengganti warna-warni keceriaan. Ditinggal mati ayah, ibu, suami, istri dan anak sebagai contoh. Tidak lulus ujian, terputus dari pekerjaan juga musibah. Demikian pula kehilangan harta kekayaan, tertimpa bencana alam, atau mengalami hal-hal lain yang tidak menyenangkan.

Bagi seorang muslim, segala peristiwa pahit itu harus bisa menjadi momentum perbaikandiri. Tetapi menjadi baik dengan bertumpu pada musibah tentu kurang bijak. Apalagi secara syari’at dan etika, tidak diperkenankan mengharap-harap musibah. sekaligus alat mengevaluasi

Dengan musibah akan ada rasa ketergantungan kepada yang lebih perkasa, yang lebih kuat, yang lebih menjanjikan. Allah lah tempat menggantungkan segala rasa itu. Kepada-Nya segala keluh kesah bisa leluasa ditumpahkan. Kesadaran ini sangat manusiawi, bagian dari fitrah yang masih murni. Fir’aun saja, begitu pasrah pada detik-detik terakhir menjelang kematiannya. Hingga ia membenarkan bahwa Tuhan yang benar adalah Tuhannya Musa, Allah Swt. Tetapi segalanya telah terlambat. Begitulah manusia, seringkali kesadaran baru hadir dalam dirinya setelah segalanya harus berakhir.

Hanya saja, yang perlu diperhatikan, bagaimana menjaga stamina perbaikan diri itu agar tetap sesegar saat musibah dan ujian itu menimpa. Sebab, seakan menjadi tabiat manusia, sering kali ia menjadi baik tatkala musibah masih menerpa. Begitu segalanya normal, secepat itu pula ia kembali kepada tabiat buruknya. Allah Swt mengingatkan, ”Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia kembali melalui jalan yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya.” (QS. Yunus: 12).

2. Bertafakkur alam

Cara lain untuk membuat momentum perbaikan diri adalah dengan bertafakkur alam. Maksudnya, dengan cara menghayati isi alam ini. Entah itu sawah, ladang, sungai atau ngarainya, gunung atau lembahnya, lautan atau daratannya, bumi atau langitnya, dengan segala tabiat-tabiat khas yang berbeda-beda. 

Termasuk obyek yang layak ditafakkuri adalah beragam suku yang mendiami berhampar-hampar belahan bumi. Seperti yang ada di Jepang misalnya. Disini ilmu sosiologi dan antropologi menjadi alat bantu yang sangat penting. Sungguh sangat menarik mempelajari rute pencarian seseorang atau sekelompok orang untuk mendefinisikan siapa Tuhannya dan setelah itu mengikat diri mereka dengan aturan-aturan dan tata nilai sosial yang berporos pada penghayatan akan keberadaan sesuatu yang mereka posisikan sebagai Tuhan. Terbukti bahwa nalar dan imajinasi manusia yang masih fitrah selalu menuju pada kutub kebaikan yang sama yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang fitrah. Akan tetapi didalam Islam sendiri, cara mendapatkannya berbeda. Melalui ayat-ayat suci Al-Qur’an, Allah Swt memperkenalkan diri-Nya, menjelaskan sifat-sifat-Nya dan menegaskan aturan-aturan hidup yang menghidupkan kemanusiaan manusia selaku hamba-Nya. Sejumlah Nabi dan Rasul diutus oleh Allah untuk mencontohkan kepada manusia tentang bagaimana cara yang benar untuk menghamba kepada Allah. Oleh karenanya, sebagai muslim, kita harus bersyukur telah memperoleh hidayah dari Allah, sehingga kita tetap meyakini dan ridho Islam sebagai agama yang kita cintai.

Disisi lain, Allah Swt memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berjalan dimuka bumi, melihat bagaimana akibat orang-orang yang dzalim. Dalam konteks semua itulah penghayatan alam semesta beserta segala isinya bisa berfungsi menjadi momentum perbaikan diri. Dalam Al-Qur’an, Allah juga banyak memberikan pertanyaan kepada hamba-Nya. ”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20). 

Maka terangkanlah kepada ku tentang apa yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya?” (QS. Al-Waqi’ah: 63-64). ”Maka terangkanlah kepada ku tentang air yang engaku minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkannya?” (QS. Al-Waqi’ah: 68-69).

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak untuk dijawab: ya atau tidak. Tetapi pertanyaan untuk menafikan jawaban selain ya. Allah lah yang menurunkan hujan, mengasinkan air laut dan menawarkan air tanah. Itu memang pertanyaan penafikan yang dalam bahasa arab dikenal dengan istifham inkari

3. Pergantian waktu dan peristiwa

Bergesernya waktu seringkali melahirkan peristiwa baru. Berpindahnya masa tak jarang berdampak kepada munculnya kondisi yang berbeda. Pergantian waktu dan peristiwa adalah momentum. Mahalnya momentum dari pergantian waktu dan peristiwa bisa diresapi dari banyaknya sumpah-sumpah Allah atas waktu yang berbeda-beda. ”Demi fajar.” (QS. Al-Fajr:1) ”Demi waktu matahri sepenggalahan naik.” (QS. Adh-Dhuha:1) ”Demi malam apabila menutupi (cahaya siang). Dan siang apabila terang-benderang.” (QS. Al-Lail:1-2). 
Rasulullah mengajarkan do’a-do’a tertentu untuk peristiwa-peristiwa tertentu. Saat mendengar petir, saat hujan turun dengan deras, saat mendengar kokok ayam, saat mendengar lolongan anjing, dan lain sebagainya. Do’a-do’a itu tak lain merupakan simpul pengikat antara seorang muslim dengan Rabb-nya. Dengan simpul itu ada sebuah alur perbaikan diri yang diawali dari kesadaran. Kesadaran bahwa dirinya terikat dengan Rabb-nya. Dan, itu artinya dia harus terikat dengan kebaikan agar tidak mendapat murka Allah. Karenanya, setiap muslim hendaknya pandai-pandai memanfaatkan perubahan waktu dan peristiwa yang mengiringi hidupnya, untuk dijadikan momentum perbaikan diri.

4. Melakukan muhasabah dan kontemplasi

Kontemplasi dengan melakukan muhasabah diri merupakan momentum perbaikan yang sangat berarti bagi setiap muslim. Muhasabah adalah menghitung kembali tindak-tanduk, dengan kalkulasi kejujuran yang tak menyisakan setitik pun arogansi. Betapa tidak mudahnya manusia untuk jujur kepada dirinya sendiri. Upaya perbaikan diri juga berkaitan erat dengan kebutuhan seorang muslim akan bekal dihari akhirnya kelak. Karenanya, fungsi muhasabah dan kontemplasi sangat penting. Begitulah Al-Qur’an mengajarkan kepada kita, ”Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang hendak diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr:18). 

Para sahabat dan ulama terdahulu (salafussholeh) mengajarkan kepada kita, betapa mereka sering membiasakan diri melakukan kontemplasi. Menghitung baik buruk perilakunya. Beberapa diantara mereka bahkan memberikan sanksi bagi dirinya sendiri atas kesalahan yang mereka temukan, menghukum diri mereka atas kekurangan yang mereka lakukan. Proses kontemplasi yang jujur memang melahirkan kematangan jiwa dan kejujuran ynag utuh. Saat itulah, orang tidak lagi takut kecuali kepada Tuhannya. Tidak merasa kuat kecuali bersama Rabb-nya.