Selasa, 10 Mei 2011

Saat Jilbabku Memanjang

Saat ini, banyak wanita yang mengenakan jilbab. Baik ke luar rumah, menghadiri undangan maupun wisata. Fenomena pemakaian jilbab yang membuat diri serasa ditetesi embun yang bergelayutan di ujung daun-daun. Lautan jilbab yang memukau, itu kata orang. Tapi kataku; kondisi ini memang sangat mengembirakan hati dan membuat semarak lingkungan kita yang memang mayoritas beragama Islam.
 
Kesemarakan berjilbab ini, tentu saja tidak terlepas dari banyaknya tumbuh majlis ilmu, maupun kesadaran setiap personal untuk bergerak kearah perbaikan diri dan keluarga. Bisa diandaikan seperti sebuah pepatah : “Bagai cendawan yang tumbuh di musim hujan.” Subhanallah!

Bicara jilbab, ternyata sangat menarik. Kebetulan ibu-ibu di lingkunganku tinggal, mayoritas berjilbab. Memang sih walaupun menggunakan jilbab hanya untuk keluar rumah. Ada juga yang berjilbab bila hanya menghadiri majlis ta’lim. Bahkan ada juga yang berjilbab dengan alasan, sekarang lagi jamannya. Nah, untuk yang terakhir ini, terasa menggelitik juga khan?! Tapi, aku tetap bersyukur karena jilbab sepertinya sebuah kebutuhan di masyarakat saat ini, apapun alasan yang mendasarinya. Iya nggak?!

Dasar untuk menggunakan jilbab memang bermacam-macam. Untuk model jilbab pun beragam pula. Ada isitilah jilbab gaul. Maksudnya mungkin bisa di pakai di segala cuaca pertemanan. Jilbab kafe, mungkin yang seperti dililit di leher. Jilbab PKS ( info ini saya dapat, ketika ingin membeli sebuah jilbab di sebuah toko di kota Samarinda ) dan mungkin ada nama lainnya lagi, yang mungkin belum saya tahu.

Urusan ukuran jilbab juga ada. Ukuran pendek, maksudnya Cuma sebahu. Yang biasa saya lihat di pakai oleh ibu penjual sayur di pasar tradisional. Ukuran tanggung, yang juntaian jilbabnya hanya sampai di dada. Ukuran panjang sepinggang dan panjang selutut. Yang panjang selutut ini, orang awam biasa mengkonotasikannya dengan sebuah khalakah, yang biasanya disertai dengan sebuah cadar. Yang mana saja ukurannya, bagiku itu sebuah usaha yang dilakukan oleh seseorang, yaitu seorang muslimah yang ingin lebih baik dalam menutup aurat.

Ketika aku mencoba ( karena kadang masih pakai ukuran lama ) jilbab panjang, yang ukuran sampai selutut, aku merasakan sebuah sikap berbeda di lingkunganku. Baik di lingkungan rumah maupun tempat majlis ilmu yang telah bertahun aku ikuti.

Ketika ada sebuah acara aqiqah di sebuah masjid, aku pun menghadirinya. Saat tamu undangan banyak yang datang, aku pun berbaur. Saat itu adalah saat yang sangat menyenangkan bagiku, karena saat itu kami dapat bersilaturahim pada kawan-kawan yang lama tak bersua. Jadilah suasananya sangat rame dengan kicauan kami.

Suasana yang bagiku nyaman, ternyata sedikit ternodai. Saat itu ada seorang ibu yang telah lama aku kenal, yang merupakan seorang tokoh di sebuah halakah Islam. Ketika dia melihatku, ternyata dia memandangku seperti seseorang yang meneliti “keanehan” diriku yang berjilbab panjang. Mengapa diri ini di pandangi begitu? Apakah sebuah kesalahan bila aku mencoba memanjangkan jilbabku? Seharusnya dia gembira, aku tidak memendekkan jilbab, tapi malah memanjangkannya!

Lain lagi di sebuah acara sekolah anakku. Aku bertemu dengan seorang kawan, dan aku pun langsung mencium pipinya ( tentu saja seorang ibu ). Dia kemudian mundur sedikit memandangku, kemudian berkata : “Panjang sekali jilbabnya?!” Ah, sebuah pertanyaan yang menggelitik hati ini. Kenapa komentar itu yang aku dengar? Kenapa bukan sebuah support, yang membuat jiwa ini merasakan penerimaan yang total dari kawan, yang tidak memandang apapun yang aku pakai? Irama denyut jantungku serasa menjadi lemah.

Bila belanja ke warung dekat rumah, aku biasanya menyempatkan diri untuk sedikit ngobrol pada ibu-ibu yang lagi nongkrong. Pandangan mereka memang sedikit berubah. Kelihatannya aku menjadi aneh di hadapan mereka. Tapi aku berusaha menepiskan pikiran mereka dengan mengatakan : “Pakai yang panjang ini enak lho. Kalau tiba-tiba ada tamu di rumah atau ingin belanja di warung, khan tidak usah ganti baju. Model baju juga tidak kelihatan. Bila baju kita udah lama, maka tak akan terlihat orang.” Mata mereka kelihatannya mulai tertarik dengan info terbaruku ini. Mereka mulai memposisikan diri untuk mendengarkan ucapakanku. Maka aku pun nambahin info. “Coba aja deh, pakai jilbab sepertiku. Terasa nyaman lho?!” kok sepertinya aku promosi jilbab nih. Padahal aku hanya punya beberapa jilbab panjang. Tapi nggak apa-apa khan, supaya mereka tidak berubah pandangan padaku, hanya karena jilbabku memanjang.

Tapi ada juga lho yang mensupport jilbabku ini. Seorang tetangga di depan rumahku, dia juga ingin seperti aku. Tapi masih malu-malu kucing untuk memulai, padahal stock jiilbab panjangnya udah lumayan. Memang sih, untuk memulai sesuatu yang baru, diperlukan keberanian. Karena bila kita berubah, maka tentu saja perasaan asing akan hingga pada diri kita, karena telah nyaman dengan penampilan yang lama. Begitu pula di lingkungan kita berada, pastilah juga merasakan kehadiran kita tak sama dengan yang dulu! “Padahal, aku masih seperti yang dulu.” Seperti nyanyian tempo dulu, yang syairnya dinyanyikan siapa ya? Lupa nih.

Kebetulan aku memang berdua teman yang satu lingkungan denganku, telah memulai belajar memakai jilbab panjang ini. Dia udah istiqomah, tapi aku masih kadang dengan gaya lamaku. Karena kami berdua memakai model baru kami, maka tersiar kabar yang mempertanyakan dimana kami sekarang menimba ilmu? He…he…Mungkin mereka pikir, kami ikut khalakah yang mereka sering pertanyakan, atau jangan-jangan kami dikira mengikuti aliran sesat? Naudzubillahi min dzalik.

Jadi saat jilbabku memanjang, ada berbagai macam komentar dan berbagai macam prilaku, yang ditunjukkan baik oleh orang-orang yang belum rajin ikut tarbiyah maupun yang udah lama. Mereka ternyata sama-sama merasakan keanehan pada diriku ini. Padahal seharusnya mereka bersyukur, saat ini aku tidak memakai pakaian “you can see”, tapi malah memanjangkan jilbabku.

0 komentar:

Posting Komentar