Senin, 18 Juli 2011

Ketika Komunikasi di Ambang Sekarat

Kebahagiaan Bu Narti semakin lengkap karena tak berapa lama lagi anak bungsunya akan menjadi pengantin. Do’anya terkabul, gadis kesayangannya akan dipinang oleh seorang lelaki yang insya Allah sholeh dan bertanggung jawab menurut pandangannya.

Dan hari yang dinantipun tiba, semua berjalan dengan lancar. Meski tak semewah 
walimatul 'ursy anak teman-temannya, tapi baginya cukup meriah. Bu Narti adalah seorang janda yang telah ditinggal suaminya beberapa tahun yang lalu. Jadilah ia seorang single parent dengan tiga anak yang lucu-lucu. Air matanya tak dapat ia bendung tatkala ijab qobul putrinya berlangsung, dia teringat mendiang suaminya. Dia berbisik dalam hati “Pak, lihat... anak kita sudah besar, dan sekarang telah menjadi pengantin yang sangat cantik...”

Pestapun telah usai, dan sekarang saatnya sang buah hati meninggalkan dirinya karena akan diboyong suaminya ke negri seberang, kebetulan menantunya itu bertugas disana.

Santi sangat berat hati meninggalkan ibunya, mengingat usianya yang akan mencapai 50 tahun. Tapi apa dikata, dia harus mengikuti kemana suaminya pergi. Dia ingin sekali membawa sang ibu untuk tinggal bersama mereka, akan tetapi ibunya menolak dengan halus. “Nggak usah nak... ibu lebih nyaman tinggal di kampung...lagian kalau disana, ibu akan susah menengok makam bapakmu jika tiba-tiba ibu rindu, kamu baik-baik disana ya...jadilah istri yang baik dan menyenangkan bagi suamimu, dampingi dia dalam keadaan apapun.”

Santipun berangkat dengan hati yang berat.

Krek...! Santi tersentak dari lamunannya, dia melihat sosok lelaki melangkah masuk. Cepat-cepat ia menyusul lelaki itu kepintu seraya menyalami dan mencium tangannya, lelaki yang selama tiga tahun ini telah menjadi suaminya.
Setelah membereskan sepatu dan tas suaminya, dia cepat-cepat ke dapur untuk menyiapkan secangkir teh hangat kesukaan seuaminya tak lupa dengan sepiring singkong rebus tuk cemilan di sore hari.

“Mas mau mandi dulu atau mau langsung makan...?” Tanya Santi pada suaminya. “Nanti saja, mas mau rebahan dulu, makannya habis magrib aja,” jawabnya singkat, dan diapun langsung masuk kekamar dan tidur. Suasanapun kembali sepi. Tak ada suara anak kecil di rumah itu karena sampai saat inipun mereka belum memperoleh satu orangpun keturunan.

Santi kembali sibuk menyiapkan makan malam buat mereka berdua.

Sebenarnya Santi bukanlah sosok yang pendiam, tetapi semenjak menikah, dia agak tertutup dan pendiam karena suaminya adalah laki-laki yang dingin dan sangat terutup, bahkan terhadap Santi istrinya. Terkadang Santi jenuh dan bosan dengan keadaan itu, dia merasa sedikit tertekan dengan sifat suaminya yang dingin, akan tetapi dia selalu ingat akan pesan ibunya bahwa suami adalah Surga dan Neraka bagi seorang istri.

Tak jarang dia menangis sendiri tatkala suaminya tak ada dirumah. Dia bertanya-tanya dalam hati kenapa suaminya masih menganggap dia seperti orang asing. Dia sedih tatkala menyaksikan sepasang suami istri yang begitu asik bercengkrama atau berjalan bergandengan, pergi jalan-jalan berdua, sedangkan dia, sangat jarang, bahkan tuk sekedar duduk bercengkrama diteras rumah di sore haripun sangat jarang.

Ingin sekali dia bertanya langsung pada suaminya, tapi dia takut jika suaminya tersinggung, jadi dia lebih memilih diam.

Sebenarnya, Burhan suaminya merasakan kegelisahan istrinya, ingin rasanya dia mencairkan suasana agar tak lagi kikuk didepan istrinya, apa lagi jika dia mendapati istrinya sedang menangis, paling dia hanya bertanya, “Kenapa menangis dek, kamu sakit? Santi hanya menggeleng dan bilang kalau dia kangen ibunya.” Lalu Burhan hanya bisa terdiam, dia tak tahu harus berbuat apa, karena sedari dulu dia memang kaku terhadap perempuan.

Waktupun terus bergulir , hari-hari dilalui Burhan dan Santi dengan rasa hampa tak menentu. Sangat monoton dan membosankan. Semakin hambar malah.

Suatu sore, Burhan mendapati Santi tengah menangis di sudut ruangan sambil menghubungi seseorang, ternyata Ibunya, Santi tak menyadari kedatangan Suaminya, sehingga Burhan bisa dengan leluasa mendengar percakapan mereka.

“Buk...Santi bosan disini, Santi pengen pulang saja, Santi gak tahan lagi, sepertinya mas Burhan tak bisa menerima kehadiran Santi,” ucap Santi seraya terisak.

“Loh...kok bisa sih nak, bukankah kalian menikah sudah tiga tahun lamanya, bagaimana mungkin kamu bisa bilang kalau suamimu belum bisa menerima kehadiran kamu, buktinya apa? Coba cerita sama ibu...”

“Mas Burhan sangat dingin Buk, dia bicara kalau ada perlunya saja, dia sangat tertutup pada Santi, bahkan kalau pulang larut malampun dia nggak pernah kasih tau ke Santi kalau dia lembur atau gimana, nyampe di rumahpun dia juga lebih banyak diam...”

“Santi seperti tak dihargai buk...santi seperti dianggap nggak ada, kalau dia lagi ada suatu masalah, dia nggak pernah mau bicara sama Santi, kalau Santi tanya dia cuma diam dan bilang nggak ada apa-apa, jadi Santi ini siapanya dia buk?”

“Apa santi nggak coba tanya ke suamimu?”

“Enggak Buk...Santi takut mas Burhan tersinggung, kan dia capek pulang kerja...”

Ibunya terdiam...sedih, terkadang ada muncul perasaan menyesal menjodohkan mereka, tapi cepat-cepat dia tepis.

Burhan terhenyak mendengar kata-kata istrinya, sedih bercampur marah kepada dirinya. Marah karena sikapnya yang dingin pada istrinya, orang yang selalu ada dikala dia susah dan senang, orang yang selalu setia merawat dirinya tatkala dia sakit, orang yang selalu setia meyiapkan sarapan dan menunggu kedatangannya setiap dia pualng, meski itu larut malam. Berbeda dengan teman sekantornya, dia bisa bercerita dengan leluasa.

Dia lupa bahwa seorang istri juga mahkluk yang bernyawa, dia bukanlah sebuah patung yang tak punya perasaan. Seorang istri juga bisa sedih, dan juga ingin mendapat sedikit perhatian dari suaminya.

Dan dia juga lupa bahwa tak cukup hanya dengan kehadiran saja pernikahan itu akan bahagia. Pernikahan itu tak cukup hanya komunikasi ranjang dan dapur, akan tetapi juga komunikasi hati.

Pernikahan akan berjalan lancar jika komunikasi berjalan dengan baik dan lancar. Percuma jika punya harta yang berlimpah dan suami/istri yang tampan/cantik, jika komunikasi sangat buruk, semua akan menjadi percuma, malah akan seperti di Neraka karena kerja sama juga takkan berjalan dengan baik, yang ada hanya prasangka dan curiga tak menentu.

Jadi, jika ingin sebuah hubungan berjalan dengan baik dan sehat, maka sangat diperlukan komunikasi yang baik pula sebagaimana Rasulullah SAW selalu mengajak bercanda istri-istrinya. Bukankah Rasulullah SAW juga sangat romantis terhadap istri-istri beliau?

Dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah berada di tempatku bersama Saudah, lalu aku membuat jenang. Aku bawa (jenang itu) kepada beliau, kemudian aku berkata pada Saudah, ‘Makanlah!’ Akan tetapi, ia menjawab, ‘Saya tidak menyukainya.’ Aku pun berkata, ‘Demi Allah, kamu makan atau aku oleskan ke wajahmu?’ Ia berkata, ‘Saya tidak berselera memakannya,’ Lalu aku ambil sedikit, kemudian aku oleskan ke wajahnya, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ketika itu duduk di tengah-tengah antara aku dan dia. Kemudian beliau merintangi dengan lututnya supaya dia dapat membalasku, lalu ia mengambil jenang dari piring tersebut, kemudian dia (saudah) membalas mengoleskannya kepadaku dan Rasulullah tertawa.” (HR. Ibnu Najjar)

0 komentar:

Posting Komentar