Jumat, 08 Juli 2011

♥ KUNJUNGAN SAHABAT ISTERIKU ♥

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Bismillahirrahmanirrahim……
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

"WAH, susah juga mencari-cari rumahmu. Di sini toh?" ungkap Rauqah(Kecantikan yang menawan) . Gadis jawa kelahiran Jakarta itu, saat akhirnya tiba di rumahku. Mereka berpelukan. Saat itu Shafiqah (Yang berlembut) sedang di rumah. Aku, baru datang dari Jakarta, dan saat itu sedang beristirahat di kamarku.

Perjumpaan dengan Rauqah itu ntuk pertama kalinya, semenjak pernikahan Shafiqah denganku, dua bulan yang lalu. Rauqah datang untuk menagih janji Shafiqah, yang katanya akan melanjutkan studinya, setelah menikah. Rauqah sendiri mengikuti kuliah di LIPIA, Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab di Matraman raya. Ia mengikuti program sore, khusus buat muslimah. Karena masih minim perbendaharaan bahasa Arabnya, ia mengikuti pendidikan dari tingkat paling dasar, I'dad Lughawi. Sejenis kelas persiapan pematangan bahasa Arab, sebelum masuk ke jenjang kuliah yang sebenarnya.

"Alhamdulillah, akhirnya kita berjumpa lagi. Bagaimana kabar ayahmu? Sehatkah? Tanya Shafiqah, kepada teman dekatnya dari masa kecil itu."

"Alhamdulillah, Iqah, baik-baik saja. Mas Abdillah juga sehat kok." Canda Rauqah.

"Huss. Di dalam ada mas Ahhwas. Hati-hati kamu Rauqah," Sergah Shafiqah. Rauqah tertawa empuk.

"Bagaimana kehidupan rumah tanggamu Iqah?"

"Alhamdulillah, baik—baik saja. Semuanya terkendali kok." Ujar Iqah santai.

Itulah taqdirmu, Iqah. Aku gak nyangka, kamu bisa menikah secepat ini. Kukira papamu itu tipikal ambisius, yang mau semua anaknya berpendidikan tinggi." Ungkap Rauqah tak habis pikir.

"Ya, semula aku berfikir seperti kamu juga. Aku sempat heran ketika papaku menyuruh ku menikah. Tapi tampaknya papaku memiliki rencana tersendiri. Ia berobsesi, bahwa dengan menikahi Ahhwas, aku akan berubah. Tak lagi bersikap ekstrim dan fanatic terhadap keyakinan islamku. Tapi kayaknya, Ahhwas tak seutuhnya seperti yang di duga papaku …"

"Maksudmu" potong Rauqah.

"Ahhwas memang dibesarkan di lingkungan sekuler. Cara berfikirnya melonjak-lonjak, berusaha menerobos segala etika dan kenormalan lingkungannya. Baginya, itu cara berfikir yang progresif. Ia juga tidak pernah dididik dengan norma-norma keislaman secara detail ia shalat, tapi tak mengerti bahwa Islam itu adalah the only way of life. Namun sejauh ini, karakter dan kepribadiannya baik sekali. Bahkan, bagiku sangat memikat, dilihat dari keberadaan dirinya sebagai seorang yang tidak murni religious. Bukan dari kalangan santri, dan tidak terbiasa hidup secara islami. Mungkin ia bisa diibaratkan MUTIARA HITAM yang bila dipoles dengan tangan dingin secara akurat dan hati-hati, pasti MENYEMBURAKAN CAHAYA ALAMINYA yang MERAH MERONA…" Iqah bertutur panjang.

"Aih, baru kali ini aku mendengarmu memuji-muji pria selain selain Abdillah-mu itu …." Seloroh Rauqoh.

"Huss, ngawur, jelas dong, Ahhwas itu kan suamiku.. Kamu ini bagaimana sih?" Mata Iqah membulat, mencoba menggertak temannya itu. Tapi Rauqah tidak takut sedikit pun. Ia ,malah tertawa lebih lepas. Sampai lupa kalau ia berada di rumah 'orang lain'.

"Ok, aku sekarang serius Iqah. Apa menurutmu, Ahhwas itu sudah tipikal ideal sebagai suami?"

"kalau engkau bertanya saat ini, aku rasa ya. Aku yakin demikian. Aku tidak mengatakan ia adalah tipikal 'Suami Sempurna' seperti yang aku idam-idamkan. Karena kesempurnaan itu amat relative. Ideal tidak harus berarti sempurna. Mendapat pasangan hidup yang ideal sudah merupakan anugerah." Terutama di Zaman seperti ini. Sedikit orang yang punya kesempatan demikian. Kenapa aku katakan ia suami ideal bagiku? Karena meski kami memiliki cukup banyak perbedaan dalam hal-hal prinsipil, namun kami memiliki kesamaan yang ajaib: agar segala perbedaan itu bisa terkikis, hingga akhirnya menyatu dalam keserasian. Kamu jangan salah paham dulu, aku tak sedikit pun mau mengorbanan prinsip-prinsip agama apalagi aqidah yang aku yakini. Tapi, saat aku menuntut Ahhwas untuk bisa menyempurnakan sisi-sisi pemahaman agamanya, sisi komitmennya terhadap ajaran agama, ia juga menuntutku menjadi istri yang patuh, yang mau senatiasa membantu suami, dan itu tidak mudah. Aku perlu banyak belajar, kami sering berbenturan pada sisi interprestasi pada kepatuhan itu. Aku membatasinya pada hal-hal yang kuanggap tak melanggar aturan Allah. Dan ia sering tidak bisa menerimanya. Tapi aku sadar, ia tidak menerima bukan berarti ia kejam. Namun hanya karena ia belum bisa memahaminya. Makanya aku selalu menghibur diri dengan hadist Nabi

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

"Janganlah seorang suami beriman membenci istrinya yang beriman. Karena kalau ia tidak menyukai salah satu tabi'atnya, pasti ada tabi'at lain yang membuatnya merasa senang." (diriwayakan oleh imam Muslim 2672 dan ahmad 8013 menurut موسوعة الحديث الشريف).

"Sebagaimana suamiku belajar memahamiku, aku pun belajar memahaminya. Bagiku, usaha untuk saling memahami adalah kunci utama menuju perbaikan diri. Tanpa itu, keserasian pun nyaris tak berarti apa-apa ….."

"Wah, kamu memberiku wawasan baru Iqah, betul kata orang, pengalaman itu guru yang terbaik. Tapi aku memang melihatmu berbeda Iqah."

"Berbeda bagaimana?" Tanya Shafiqah.

"Aku lihat, banyak di antara Akhwat, yang meskipun sudah memiliki suami yang ta'at beribadah, sudah lama mengaji, tapi masih selalu mengeluhkan perbedaan-perbedaan sepele di antara mereka. Saat aku melihatmu menikah dengan Ahwass, aku pikir engkau akan sangat menderita. Dan engkau tak akan mampu keluar dari jebakan konflik yang akan memenjarakan kepribadianmu. Tapi ternyata engkau mampu bersikap sedemikian dewasa. Optimisme dalam dirimu membuatku terkagum-kagum, Iqah."

"Aku menyimpan satu hal yang menjadi prinsipku."

"Apa itu?"

"Aku merasa kepatuhanku kepada papa sudah pada tempatnya. Silakan semua orang menyanggahnya, tapi aku berkeyakinan begitu."

"Aku belum mengerti.."

"Begini, papaku menyuruhku menikah denga Ahhwas dengan pria yang dia anggap baik. Ia mengukur dengan sudut pandangnya sendiri. Terlepas dari 'ambisi' yang menganggap ia telah menganggap ia telah menyuruh berbuat baik. Mungkin standar kebaikan dan keshalihan menurutnya amat rapuh. Tapi aku memakluminya. Bila papaku menyuruhku menikah dengan pria yang aku tahu secara pribadi adalah bejat, buruk akhlaknya dan tidak jelas perikehidupannya, aku pasti menolaknya mentah-mentah."

"Lalu, kenapa engkau akhirnya menerima lamaran Ahhwas?"

"Entahlah. Tapi yang jelas, aku melihatnya sebagai pria baik. Ia memiliki sifat dan karakter yang baik. Lalu ia menyukai wanita berjilbab lebar. Tidak bersikap apatis seperti papaku. Dalam hati kecilku tersimpan sebuah keyakinan bahwa Ahhwas bisa berubah lebih baik. Bagiku, UNTUK APA MENYIMPAN TIMAH BERSEPUH EMAS? Lebih baik aku memiliki EMAS YANG TERSELUBUNG LUMPUR HITAM YANG PEKAT SEKALIPUN. Karena aku masih berharap LUMPUR itu akan terbuang, dan KEMUNING EMASNYA AKAN BERKILAU suatu hari…"

"Masya Allah! Aku tak menyangka, kepribadianmu seindah itu Shafiqah…."

"Ayahmu yang mendidikku menjadi seperti ini,…. "

"Tapi aku ini putrinya. Aku sendiri tak pernah berfikir seperti caramu. Tak pernah memiliki kebeningan hati, seperti hatimu…."

"Tidak, Aku tak sebaik kamu. Kalau ada nasihat dan petuah dari ayahmu yang engkau sendiri tak mampu menelannya, itu biasa. Kadang anak seorang dokter malas menelan obat yang diresep oleh bapaknya sendiri. Makanya, banyak anak dokter hanya mau berobat sama orang lain…"

"Maksudmu, aku harus belajar dari selain ayahku??"

"Apa kamu memang mau belajar dari ayahmu saja?? Untuk apa kamu kuliah segala??"

"Wah, ngomong sama kau kadang nyenengin, kadang bikin sewot!"

"Enggak. Aku serius kok. Banyak petuah Ustadz Abdurrahiim yang mungkin bagimu biasa saja, karena kamu sering mendengarnya. Tapi justru terpatri dalam diriku. Aku semakin dewasa karena itu….."

"Jadi kamu nyaman sama Ahhwas?" Tanya Rauqah.

"Kok, kamu nanya gitu sih? Jelas dong. Ahhwas itu khan suamiku. Aku mencintainya. Dan di lubuk hatiku yang dalam terselip sejuta harapan sekaligus keyakinan, bahwa Ahhwas akan selalu menjadi lebih baik…… aku yakin."

"Alhamdulillah. Aku turut senang Iqah."

Di balik ruang tamu, dibelakang tirai, tepat di sisi kamar tidur, sepasang mata meneteskan cairan bening. Ia terharu bukan main. Pemilik sepasang mata ini adalah aku. Suami Shafiqah, yang ternyata terbangun dari tidur, dan sempat mendengar sebagian ucapan-ucapan arif dan bijak yang keluar dari isteriku. Isteri yang sangat kucintai. Kini cinta itu bahkan membuncah. Menjelma menjadi permuliaan.

Aku kepayahan menahan gemuruh rasa haru di dada ini, aku merasa menjadi pria paling beruntung di dunia. Memang, selama ini aku juga heran, kenapa dari semenjak awal aku melihat wanita ini, hatiku sudah terpikat. Kenapa selama aku kuliah di Universitas di Jakarta, dan saat melanjutkan pendidikan meraih gelar sarjana yang ke-2 di Jakarta, aku tak pernah tertarik pada wanita manapun. Padahal secara fisik, banyak wanita yang lebih cantik dari Shafiqah. Terutama sekali wanita-wanita yang menjadi Bunga Kampus yang pernah kukenal. Kenapa aku justru terpikat pada Shafiqah at the fist sight?? Wanita berjilbab lebar yang begitu sederhana penampilannya. Dan padahal selama ini aku tak pernah membayangkan akan memiliki isteri yang mengenakan GAUN MUSLIMAH SEMPURNA seperti itu?. Ternyata Allah membimbingku untuk menuju relung-relung kesadaran, melalui keluhuran budi wanita ini. Subhanallahu!!

Aku tak menyangka hati isteriku sebening itu. Cinta Isteriku sebersih itu. Pandangan Isteriku tehadapku sejernih dan sebaik itu. Kepatuhannya selama ini kepada aku suaminya semulia itu. Jutru aku, pria yang sungguh dak tahu malu ini, yang nyaris menjerumuskan wanita suci itu ke lembah kenistaan. Nyaris aku menjerumuskan Isteriku terjebak dalam maksiat demi maksiat. Nyaris aku menjejali isteriku dengan makanan-makanan haram. Ohhh…. Betapa sikap isteriku terhadapku selama ini berasal dari luapan cinta kasih yang bersih. Bukan dari nafsu syahwat yang kotor dan keji.

"Ya Allah, betapa lalimnya aku sebagai suami," Aku mengeluh dalam hati dan batinku. Aku tak bisa membendung air mata ini tumpah ruah tak terbendung ketika kutuliskan catatan ini. Astaghfirullah hal adzhiim. Astaghfirullahu wa atuubu ilaika.

Wassalam..

0 komentar:

Posting Komentar