Senin, 21 Februari 2011

Melangit Sekaligus Membumi

Mengejar akhirat tanpa melupakan dunia. 

Handzalah adalah salah seorang sahabat yang dekat dengan Nabi, sebab sehari-harinya ia adalah sekretaris beliau. Meskipun seakan tiada jarak dengan Nabi ternyata ia menyimpan kegelisahan yang luar biasa. Sebagaimana yang diceritakan dalam Shahih Muslim, suatu ketika kegelisahannya itu disampaikan kepada Abu Bakar.

Setelah ditanya Abu Bakar tentang kondisinya, ia bercerita, "Hanzalah telah munafiq!" Kontan Abu Bakar terperangah, kemudian berkata, "Subhanallah, apa yang baru saja kau katakan?" Hanzalah menjelaskan, "Saya (Hanzalah) berada di sisi Rasulullah SAW yang sedang mengingatkan kami tentang surga dan neraka, seolah-olah keduanya terlintas di mata. Akan tetapi setelah kami keluar dari sisi beliau dan kembali kepada isteri, anak serta berbagai persoalan, maka kami melupakannya."
Mendengar penuturan Hanzalah ini, Abu Bakar menyahut, "Demi Allah, sesungguhnya keadaan kita sama, kita menghadapi kasus serupa." Kemudian keduanya pergi menjumpai Rasulullah SAW. Abu Bakar mengawali pembicaraan. "hanzalah telah munafiq ya Rasulullah!" Rasulullah bersada, "Apa maksudmu?"

"Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu yang sedang menceritakan tentang surga dan neraka, seolah-olah keduanya terlintas di mata. Akan tetapi setelah berpaling dari sisimu dan kembali kepada anak, isteri dan berbagai persoalan hidup, kami banyak melupakannya"
Rasulullah kemudian bersabda, "Demi Dzat yang menguasai diriku, jika kalian terus-menerus berada dalam kondisi seperti ketika kamu di sisiku dan dalam keadaan dzikir, tentu malaikat akan mengucapkan salam buat kamu sekalian pada tempat tidur dan perjalananmu. Akan tetapi wahai Hanzalah, itu sewaktu-waktu. Wahai Hanzalah, itu sewaktu-waktu. Wahai Hanzalah, itu sewaktu-waktu."

Rasulullah adalah sosok pemimpin yang sangat bijaksana. Pada saat salah seorang sahabatnya dirundung kegelisahan yang amat dalam, beliau sanggup menghiburnya. Bagai terhadap orang yang sedang kehausan, Rasulullah datang menawarkan air dingin. Dalam tempo sekejap rasa haus lenyap.

Adalah wajar jika sahabat Hanzalah gelisah karena sangat khawatir termasuk golongan munafiq, sebab unsur-unsur kemunafikan itu sedikit banyak telah ada dalam perasaannya. Setidak-tidaknya ia mudah melupakan pesan-pesan Rasul ketika jauh darinya. Surga dan neraka terasa sangat dekat, bahkan tampak di pelupuk mata jika sedang berdekatan dengan Rasulullah. Sebaliknya, jika sudah jauh, pemandangan keduanya menyingkir dari pikiran dan perasaannya.

Barangkali apa yang dialami oleh Hanzalah juga kita rasakan. Ketika dalam majlis pengajian, surga dan neraka itu membayang, seakan-akan kita akan mati besok. Kadang-kadang dalam hati kita berjanji untuk meninggalkan kesia-siaan hidup. Kita ingin berdzikirdan mengingat Allah saja. Akan tetapi setelah keluar dari masjid atau majlis pengajian, mungkin belum sampai di rumah, masih dalam perjalanan, pikiran kita sudah dipenuhi dengan berbagai rencana yang tidak simultan dengan apa yang sempat terbayangkan sebelumnya. Bahkan mungkin saja mata kita sudah mulai melirik sana lirik sini.

Perilaku seperti ini sebenarnya sangat wajar dan normal. Hanzalah, seorang sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah saja merasakan hal ini. Termasuk Abu Bakar, seorang sahabat senior yang tercatat sebagai orang pertama beriman dan menjadi pengganti Rasulullah setelah wafatnya. Jika hal yang sama melanda kita, maka ketahuilah bahwa yang demikian itu sangat manusiawi.

Ummat terdahulu banyak yang terjebak pada persoalan ini. Mereka tidak menemukan sosok pemimpin yang bisa memberikan penjelasan yang bijak sebagaimana pada diri Rasulullah. Karenanya mereka menjadi tersesat karena keinginannya yang melampaui batas untuk keluar dari kemanusiaannya, semata-mata ingin berurusan hanya dengan Tuhannya.

Manusia tetaplah manusia. Ia tidak boleh keluar dari kemanusiaannya. Ia tidak boleh, dan tidak mungkin bisa menjadi malaikat, makhluk yang tidak pernah menyelisihi perintah. Manusia, selain terdiri dari unsur ruh (yang ditiupkan Allah), juga dari unsur tanah. Ia memiliki hati, juga nafsu.
karena ada unsur tanahnya, maka manusia mempunyai kecenderungan kepada materi, selain potensi-potensi fitrawi. Karenanya pula, kecenderungan itu wajar bila sekali-kali muncul menjadi suatu tuntutan kebutuhan. Selama masih dalam batas-batas syari'at agama, hal itu tak perlu dihalangi, apalagi sampai diharamkan.

Allah sangat tegas memberikan statemen dalam masalah ini. Allah berfirman,
"Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik'. Katakanlah: 'Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.' Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (QS. Al-A'raaf: 32)

Memenuhi tuntutan-tuntutan duniawi sama sekali tidak mengurangi kadar keimanan seseorang. Iman tetap bisa utuh, bahkan menjadi sempurna pada saat sedang memenuhi kecenderungan duniawi. Allah bahkan mendorong orang-orang yang beriman untuk memanfaatkan fasilitas hidup yang disediakan-Nya di muka bumi. Allah juga memerintahkan orang beriman untuk menikmati kehidupan dunia ini.

Allah berfirman, "Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu." (QS.Al-Baqarah: 168)

Jika Allah memerintahkan manusia makan dan minum, tentu saja bermakna perintah untuk bekerja guna menghasilkan uang untuk membayar makanan dan minuman. Bekerja, mengurus dunia adalah perintah dan sunnatullah yang diberlakukan Allah di dunia. Bagaimana mungkin orang bisa menikmati makanan halal lagi baik, jika mereka tidak berkerja.

Kalau halal itu jelas ketentuannya, sebagaimana yang ada dalam syari'ah. tapi 'baik' di sisni bisa berarti macam-macam. Makanan yang diperoleh melalui minta-minta sekalipun halal tapi tidak baik. 'Baik' juga bermakna memenuhi standar kesehatan, baik dilihat dari kandungan gizi maupun kebersihannya. 'Baik' juga berarti enak. Enak dipandang mata dan enak pula di tenggorokan.

Untuk memenuhi standar halal dan baik, tentu tidak mudah. Seseorang dituntut untuk kerja keras, memeras keringat, membanting tulang. Sebenarnya itu motto untuk pekerja kasar, meskipun juga berlaku untuk semua. Seharusnya masih ditambah satu lagi, memeras otak. Pekerja otot memang bisa menghasilkan rezeki yang cukup. Akan tetapi tanpa dibarengi kerja otak, hasilnya tidak akan memuaskan.

Kerja tentu bukan asal bekerja. harus efektif dan efisien. banyak orang yang bekerja, tetapi hasilnya tidak terlalu banyak. Mereka sudah mengeluarkan segala tenaganya, tapi tetap melarat. Yang demikian ini tentu tidak banyak manfaatnya, sebab bisa jadi waktunya hanya habis untuk bekerja saja. Meskipun bekerja juga bernilai ibadah, tetapi akan lebih baik jika masih tersisa waktu cukup untuk melakukan pendekatan khusus kepada Allah melalui ibadah-ibadah mahdhah. Dengan demikian keseimbangan hidup menjadi lebih sempurna.

Orang yang mampu menjaga keseimbangan antara ibadah dan kerja inilah yang disebut-sebut Al-Qur'an sebagai orang yang tidak lalai. Meskipun bekerja, ia tetap ingat, dzikir kepada Allah SWT.
Muslim yang baik bukanlah mereka yang melarika diri dari kehidupan duniawi. Islam menolak segala upaya yang dilakukan manusia untuk keluar dari kemanusiaannya. Sikap lari dari kehidupan, menyengsarakan diri, melaparkan diri melalui pertapaan, tak acuh, serta membunuh keinginan-keinginan syahwat, sama sekali tidak dikehendaki Islam.

Di antara para sahabat, ada yang mengajukan permohonan kepada Nabi agar ia diijinkan untuk bertempat tinggal di tepi sumber air, kemudian ia menyepi untuk beribadah semata. Ada yang ingin membujang selama hidupnya. Ada pula yang ingin menghabiskan malamnya untuk shalat lail dan siangnya untuk puasa. Semua permintaan tadi ditolak oleh Rasulullah. Beliau tidak ingin ummatnya melampaui batas kemanusiaannya.

Sosok muslim ideal adalah mereka yang beribadah kepada Allah, berdzikir, memuji dan menghadap kepada-Nya. Akan tetapi mereka tetap menikah, beranak, dan berusaha meniti jalan kehidupan sesuai dengan kemampuannya.

Islam tidak menghendaki sikap ekstrimitas pada satu sisi. Pekerjaan baik jika dilakukan di luar batas, akan menjadi tidak baik juga. manis itu enak, tapi jika terlalu manis, menjadi kurang sedap. Suatu masakan menjadi nikmat jika unsur-unsur rasa di dalamnya diolah secara seimbang. Jika terlalu pedas menjadi tak nikmat. Teralalu asin, apalagi.

Prestasi malaikat dalam ketaatan tidak bisa disaingi oleh siapapun, sebab manusia memiliki nafsu, sedang malaikat tidak. Prestasi manusia justru terletak pada kemampuannya untuk mengendalikan potensi nafsunya. Jika berhasil, derajat manusia naik setingkat lebih mulia dari malaikat.

Akan tetapi jika manusia tidak berhasil mengendalikan hawa nafsunya, bahkan nafsu telah menjadi komandannya, maka ia telah keluar dari kemanusiaannya. Bukan naik peringkat menjadi malaikat, tapi turun derajat menjadi binatang. Bahkan lebih rendah dari binatang.

Seperti binatang pada umumnya, pikiran dan perasaannya tidak terlalu penting. Yang menjadi pemimpin dan komandan sehari-harinya adalah nafsu dengan segenap dorongan dan keinginannya. Halal haram, baik buruk, boleh tidak, menjadi tidak penting, asal keinginannya terpenuhi. Orang seperti ini benar-benar telah menyembah dunia, yang menjadikan dunia sebagai cita-cita tertingginya.

Allah berfirman, "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: 'Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?'. Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya." (QS. Ali 'Imran: 14-15)

0 komentar:

Posting Komentar