Kamis, 21 April 2011

Antara Bubur dan Bibir

Baru pertama kali inilah saya berkesempatan mengunjungi kota Manado. Saya berkunjung ke sana dalam rangka memenuhi permintaan lembaga yang konsen dengan konservasi alam dan pelestarian lingkungan. Bertolak pukul 05.00 WIB pagi dari Bandara Soekarno Hatta, tiba di Manado pukul 09.10 WITA.

Saya tidak memiliki referensi mendalam tentang kota Manado. Pengetahuan saya hanya sekilas saja berdasar pengalaman ketika dulu pernah tinggal di kota Ambon dan beberapa kali singgah ke pulau Ternate. Orang banyak mengatakan bahwa di Manado itu banyak godaan karena gadis-gadisnya terkenal cantik dan memikat hati.

Orang sering berkelakar bahwa yang khas dari manado adalah dua hal (selain Bunaken tentunya), yakni bubur Manado dan Bibir Manado. Tentu saja kekhasan yang kedua tersebut, seringkali di konotasikan dengan hal-hal yang berbau nyerempet.

Ketika saya bertemu dengan relasi yang penduduk Manado (sebut saja Roy). Kelakar yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang pernah singgah atau diam di Manado, keluar pula dari mulutnya. Namun nampaknya dia tidak sepenuhnya setuju dengan anekdot tersebut. Dia mengatakan,
“Sebagai orang Manado, saya sebenarnya tersinggung lho dengan anekdot tersebut. Kenapa? Kalau orang mencari “bibir” kan tidak hanya di Manado saja, hampir di semua kota Besar di Indonesia ini pasti ada...”
Roy berbicara cukup serius. Padahal di awalnya boleh jadi sekedar ingin menghibur tamunya dari Jakarta. Belum sempat kami berespon atas ucapannya itu, buru-buru Roy yang tinggal Tomohon itu menambahkan,
“Ini kan seakan-akan kota Manado itu kota yang negatif gitu lho...padahal di tempat lain seperti Kota Jakarta dan Surabaya atau kota lain, lebih parah dari Manado.”

Roy tidak memungkiri bahwa ada sisi kehidupan negatif di Kota Manado. Apalagi kota Manado adalah kota terbuka dan telah dicanangkan sebagai kota pariwisata dunia pada tahun 2010. Menurut literatur, meski heterogin, masyarakat Manado sangat menghargai sikap hidup toleran, rukun, terbuka dan dinamis. 
Karenanya kota Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu kota yang relatif aman di Indonesia. Sewaktu Indonesia sedang rawan-rawannya dikarenakan goncangan politik sekitar tahun 1999 dan berbagai kerusuhan melanda kota-kota di Indonesia. Kota Manado dapat dikatakan relatif aman. Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Manado yaituTorang samua basudarayang artinya "Kita semua bersaudara".

Tipikal masyarakat Manado nampak pula pada diri Roy yang cukup hangat menyambut tamunya dari Jakarta. Ketika mengajak kami makan siang sehabis kunjungan, dia berkata,
“Pak, kita coba makan di tempat lain ya. Masih ikan-ikan juga sih. (Catatan: Bubur Manado sudah dua kali kami coba karena tersaji sebagai menu breakfast di hotel). Tapi yang halal kok!.”

Hari-hari pertama dalam hal mencari santapan, kami sering ditemani Dedy yang muslim. Kami percaya pada Dedy soal pilihan di mana seharusnya makan dan menunya. Melihat karakter lembaga tempat dia bekerja dan interaksinya dengan Dedy, kami cukup yakin bahwa Roy (non muslim) cukup tahu tentang kriteria makanan halal. Mereka berpantang dengan ikan-ikan tertentu karena terancam punah. Mereka pun cukup peduli dengan misi kelestarian dan konservasi. Kami punya asumsi dalam hal makanan dia cukup memahami “saudara”nya dari Jakarta.

Sebuah pelajaran yang bisa kami petik adalah bahwa tidak semua orang bisa bangga dengan sesuatu yang dibanggakan orang lain. Cukuplah orang memahami tetapi tidak bisa dipaksakan untuk menikmati. Bubur Manado adalah makanan yang sehat dan bergizi, tetapi tidak semua orang bisa menikmati bubur Manado. Boleh jadi lebih menyukai bubur ayam Jakarta.

Roy pun yang asli Manado cukup tersinggung dengan anekdot bibir yang dipopulerkan orang, meski off the record (tidak tercantum dalam teks-teks resmi). Ketersinggungan tersebut adalah bukti dari kefitrian manusia yang tidak menyukai hal-hal berbau negatif dan tabu.

Penyimpangan biasanya terjadi karena godaan (provokasi), atau secara ruhaniah tidak terlindungi dengan kesadaran dan komitmennya terhadap nilai-nilai kebaikan. Sementara Roy sudah dibiasakan komitmen dengan misi kelestarian yang dicanangkan lembaganya dan itu cukup berpengaruh dalam kehidupan keseharian.

Wallahua’lam

0 komentar:

Posting Komentar