Kamis, 21 April 2011

Budaya Selametan

Suatu siang, khadimat di rumahku masuk ke rumah dengan membawa bungkusan.

“Apa itu, mba?” tanyaku.

“Nasi selametan bu.” Jawabnya.

“Oo, siapa yang selametan?”

“Mama B.”

“Selametan apa?”

“Selametan motor. Mama B, baru beli motor baru.”

“Selametan motor?” tanyaku heran. Kebetulan aku memang baru sekali ini dengar ada selametan motor.

“Iya bu, selametan motor. Harus itu. Kalau beli motor baru, memang harus selametan. Di kampung saya juga begitu.”

“Harus? Kalau enggak dosa dong.” Jawabku iseng.

“Ya, enggaklah bu, tapi, kalau nggak diselametin, nanti gampang celaka.”

Hmm…

***

Kalau ada yang selametan menempati rumah baru, saya pernah dengar. Bahwa sang penghuni baru mengadakan acara makan-makan dalam rangka mengenal tetangga kiri kanan. Tapi, selametan motor baru? Saya baru dengar. Jangan-jangan nanti kalau kita beli kompor baru harus selametan juga, supaya kompor nggak meledak. Atau, kalau kita beli hp baru, harus selametan juga supaya nggak salah sambung?

Acara makan-makan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah, tidaklah mengapa. Karena acara makan-makan tidak termasuk dalam kategori ibadah murni. Ketika ada hal-hal yang membahagiakan terjadi dalam kehidupan kita, kita melaksanakan “selametan” atau syukuran dengan niat berbagi rezeki, berbagi kebahagian, yang dengan kegiatan tersebut kita dapat memupuk ukhuwah dengan tetangga maupun dengan kerabat, maka hukum asalnya boleh.

Tapi, harus stop sampai di situ saja, tidak boleh ada embel-embel lainnya. Misalnya, mengadakan selametan motor baru supaya tidak celaka, itu tidak ada dalam tuntunan syariat. Karena yang namanya musibah telah ditetapkan olehNya. Jadi, kita mengadakan selametan atau syukuran “karena apa”, bukan mengadakan selametan “supaya apa”. Acara yang sama jika dilaksanakan dengan niat yang berbeda, jelas memberi dampak yang berbeda dalam syariat.

Ini penting, karena berkaitan erat dengan aqidah tauhid kita. Dan budaya selametan sering menjadi polemik. Di Indonesia, entah ada berapa ratus acara selametan. Salahkah? Ya, itu tadi, kembali kepada niat awal mengadakan selametan. Kemudian acaranya bercampur dengan ritual batil atau tidak. Contoh kasusnya, seperti yang di atas. Jika kita membeli sebuah barang, maka mengadakan selametan dengan tujuan mensyukuri nikmat Allah atas rejeki yang kita dapatkan, kemudian ingin berbagi kebahagiaan dengan orang lain tidak mengapa. Tapi, jika selametan diniatkan untuk menolak bala dsb, itu yang tidak ada dalam tuntunan syariat.

Melakukan acara makan-makan ketika menempati rumah baru, memiliki kendaraan baru, mendapat jabatan baru dsb dengan mengundang tetangga dan kerabat dalam rangka berbagi kebahagiaan tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika acara selamatan tersebut diadakan agar terhindar dari musibah dsb. Ini yang tidak dibolehkan. Ini adalah keyakinan yang syirik dan pemahaman yang rusak. Jika acara makan-makan ini hanya adat kebiasaan, maka hukum asalnya tidak mengapa, namun jika dicampuri niat-niat lain semisal penolak bala, ini yang harus dihindari.

***

Selain ritual selamatan yang saya sebutkan di atas, masih banyak lagi acara-acara selametan yang diadakan sebagian masyarakat kita. Mulai dari empat bulanan dan nujuh bulanan bagi wanita yang sedang hamil. Kemudian selametan 3 harian, 7 harian,100 harian atas wafatnya seseorang dan seterusnya.

Terkadang saya bingung, ada begitu banyak orang yang seolah-olah “mewajibkan” acara-acara selamaten semata-mata karena “adat”. Begitu takutnya mereka mendapat sanksi social dari masyarakat hingga tidak lagi berpikir apakah acara tersebut penting atau tidak? Dana untuk acara tersebut ada atau tidak?

Saya bisa memahami mereka yang bersikukuh mengadakan selametan dengan mengusung beberapa dalil sebagai landasan tindakan, tapi mereka punya uang. Yang jadi masalah, banyak orang yang melakukan ritual-ritual tersebut, tetapi kondisi ekonomi tidak mencukupi. Akhirnya, untuk mengadakan selametan tersebut, mereka harus menjual tanah, menjual rumah, bahkan sampai ada yang memiliki hutang belasan juta.

Saya menulis hal ini, sebagian karena tidak memahami cara berfikir orang-orang tersebut sebagian lagi karena rasa miris. Saya memiliki seorang teman, dia mengadakan acara 7 bulanan, padahal jangankan untuk acara selametan, untuk biaya melahirkan saja belum terpikirkan darimana uangnya. Tetapi, ia tetap kekeh melaksanakan acara tersebut karena ‘malu’ kalau tidak mengadakan, takut dianggap aneh, soalnya semua tetangganya biasa melaksanakan hal tersebut. Akhirnya, dicarinya pinjaman sana-sini. Kalau menurut saya, ini jauh lebih aneh. Terkadang kita menganggap yang nggak penting menjadi penting dan yang penting menjadi nggak penting. Kita tidak malu tidak melaksanakan shalat dan tidak berpuasa, tapi kita merasa malu nggak ngikutin adat?

Kemarin saya baru mendengar dari seorang teman, bahwa saudaranya sejak kematian ibunya, jadi memiliki hutang hingga belasan juta. Saya pikir hutang tersebut warisan dari mendiang ibunya. Artinya semasa hidup sang ibu memiliki hutang dan ia yang akhirnya harus melunasinya. Ternyata bukan. Hutang itu ada, karena dia harus membayar biaya kuburan, membayar biaya orang yang memandikan mayit, membayar ustadz yang mengimani shalat jenazah, memberi amplop kepada orang-orang yang ikut menshalatkan, membayar orang-orang yang membaca yasin 7 hari 7 malam, memasak makanan selametan 3 harian, 7 harian dsb. Masya Allah…

Betapa sulitnya hidup ini? Untuk membiaya kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah sulit, kenapa harus mempersulit diri untuk hal-hal seperti itu? Tidak wajib bukan? Kenapa harus memaksakan diri seperti itu?

Saya mohon maaf, yang saya tulis adalah apa-apa yang melintas dalam pikiran saya. Tidak bermaksud menyinggung siapapun. Saya hanya mengajak untuk berfikir realistis dan sesuai syariat.

Yang utama adalah melaksanakan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah untuk dilaksanakan. Kemudian mencontoh dan menjadikan Rasulullah SAW sebagai panutan. Apa yang beliau kerjakan kita lakukan sesuai kemampuan. Apa-apa yang beliau tinggalkan, jangan kita lakukan. Ibadah Haji yang wajib saja, masih ada embel-embelnya, yaitu dikerjakan jika mampu. Nah, kenapa hal-hal yang tidak wajib, dan kita tidak mampu, kita kerjakan?
Wallahu’alam.

0 komentar:

Posting Komentar