Kamis, 28 April 2011

Kuserahkan Diriku Kepada-Mu Ya Allah

Manusia adalah makhluk yang serba lemah. Sungguh sangat tidak pantas bila ada orang yang menyombongkan diri tidak butuh dengan pertolongan Allah. Berserah diri kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun sempit merupakan jalan menuju keselamatan.

Menyerahkan diri dan semua urusan hanya kepada Allah I kita kenal dengan istilah tawakkal. Jadi, tawakkal adalah menyerahkan diri dan semua urusan hanya kepada Allah dalam mengambil segala macam manfaat dan menolak segala macam mudharat. Tawakkal adalah salah satu jenis ibadah yang diperintahkan oleh Allah I dan merupakan ibadah hati yang kebanyakan orang terjatuh dalam kesalahan yaitu syirik kepada Allah I dari sisi ini. Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Madarijus Salikin (2/14) menyatakan bahwa Al-Imam Ahmad t berkata: “Tawakkal adalah amalan hati. Allah I berfirman:

“Kepada Allah-lah kalian bertawakkal jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)

Mengapa Harus Tawakkal

Bila kita memegang konsep Qadariyyah (kelompok yang menolak takdir Allah I atau berkeyakinan bahwa manusia memiliki kemampuan sendiri yang tidak terkait dengan kekuasaan dan kehendak Allah), maka kita akan mengatakan: “Untuk apa kita tawakkal padahal kita memiliki kemampuan.” Tentu konsep seperti ini adalah konsep yang batil. Atau seperti yang diucapkan oleh Qarun dengan keangkuhannya:

“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)

Sehingga ia tidak butuh kepada tawakkal. Tentunya yang benar tidak seperti itu.
Tawakkal di samping sebagai perintah Allah I juga merupakan perkara yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Bagaimana itu? Marilah kita berlaku jujur terhadap diri kita, yaitu bahwa kita diciptakan oleh Allah I dalam keadaan lemah di atas kelemahan. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t dalam tafsirnya mengatakan: “Lemah tubuhnya, lemah keinginannya, lemah kesungguh-sungguhannya, lemah imannya, dan lemah kesabarannya. Oleh karena itu pantaslah Allah I meringankan (aturan syariat) yaitu perkara yang dia tidak sanggup untuk memikulnya dan tidak sanggup untuk dipikul oleh keimanannya, kesabarannya dan kekuatannya.”

Apakah kita bisa berbuat dengan kelemahan itu tanpa bantuan dari Allah I? Jawabnya tentu saja tidak. Oleh karena itu bila berbuat sebagai sarana untuk mendapatkan yang diinginkan tidak akan bisa dilakukan melainkan dengan bantuan Allah, bagaimana lagi bisa memetik hasil sebagai tujuan dari usaha tersebut tanpa bantuan dari Allah I. Allah I berfirman:


“Dan Allah hendak menerima taubat kalian sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian, dan manusia diciptakan bersifat lemah.” (An-Nisa’: 27-28)

“Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah kemudian menjadikan kalian sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian dia menjadikan kalian sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendakinya dan Dialah Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa.” (Ar-Rum: 54)
Ayat di atas sangat jelas sebagai bantahan terhadap konsep Qadariyyah yang memiliki kesombongan terhadap kekuatan yang ada pada dirinya dan ingin melepaskan diri dari Allah I. Oleh karena itu untuk apa engkau menyerahkan diri dan urusanmu kepada kemampuan diri sendiri padahal dirimu lemah tidak berdaya? Qarun dengan kemampuannya menumpuk harta yang diberikan Allah I dan menyandarkan semua wujud keberhasilannya kepada ilmunya, pada akhirnya harus menelan kepahitan hidup yang di saat itu ia tidak bisa menyelamatkan diri sendiri dan tidak bisa menelurkan idenya agar bisa kembali berbahagia dengan harta dan pendukungnya. Bukankah pengetahuan kita terbatas? Allah I menjelaskan:
“Dan tidaklah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)

Semua ini menggambarkan kepada kita tentang sangat butuhnya kita kepada Allah I dan tidak akan mungkin meski sekejap mata untuk terlepas dari Allah I. Terlebih lagi kita berasal dari sifat kelemahan dan tidak mengetahui apa-apa.

Kedudukan Tawakkal dalam Agama

Tawakkal memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama, bagaikan kepala terhadap jasad. Bahkan tawakkal merupakan cerminan iman dan syarat keimanan seseorang. Allah I berfirman:

“Kepada Allahlah kalian bertawakkal (menyerahkan diri) jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)

Allah I juga berfirman:
“Musa berkata: ‘Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah hendaklah kalian bertawakkal kepada-Nya jika kalian orang-orang yang tunduk’.” (Yunus: 84)

Rasulullah r bersabda:
“Suatu kaum masuk ke dalam al-jannah (surga) di mana hati-hati mereka bagaikan hati-hati burung.” (Shahih, HR. Muslim)

Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Sebagian ulama memberikan makna hati mereka bagaikan hati burung’ adalah orang-orang yang bertawakkal.” (Riyadhush Shalihin)

Ibnul Qayyim t mengatakan bahwa Allah menjadikan tawakkal sebagai syarat dari iman, menunjukkan bahwa tidak ada iman ketika tidak ada tawakkal. Dan dalam ayat yang lain Allah I berfirman: “Musa berkata: ‘Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah hendaklah kalian bertawakkal kepada-Nya jika kalian orang-orang yang tunduk’.” (Yunus: 84)

Allah I menjadikan keshahihan (kebenaran) Islamnya (seseorang) adalah dengan tawakkal. Dan tatkala tawakkal seorang hamba kuat, imannya akan menjadi lebih kuat dan apabila tawakkalnya lemah maka ini bukti bahwa imannya lemah dan mesti terjadi. Allah telah menghimpun (di dalam Al Qur’an) antara tawakkal dan ibadah, tawakkal dan iman, tawakkal dan takwa, tawakkal dan Islam dan antara tawakkal dan hidayah. (Thariqul Hijratain, hal. 327)

Allah I berfirman dalam Al Qur’an yang menjelaskan pertolongan-Nya, pembelaan-Nya, dan kecukupan yang akan diberikan-Nya kepada orang yang bertawakkal:

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 3)

Tawakkal Diiringi dengan Usaha

Tawakkal yang tidak diiringi dengan usaha termasuk kekurangan dan kejelekan agama seseorang, sebagaimana kita ketahui bahwa tawakkal tidak bisa lepas dari iman dan Islam seperti penjelasan di atas. Nu’man Al-Watr menukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah: “Ibnu Taimiyyah t mengatakan: ‘Meninggalkan sebab-sebab (usaha dalam bertawakkal) termasuk corengan terhadap syariat-Nya dan menyandarkan diri kepada sebab-sebab itu termasuk kesyirikan kepada Allah.’ Ibnul Qayyim t mengatakan: ‘Termasuk sebesar-besar kejahatan dalam agama adalah meninggalkan sebab (usaha) dan menyangka bahwa yang demikian itu termasuk meniadakan tawakkal’.” (Syarah Al-Qaulul Mufid, hal. 62)

Ibnul Qayyim t mengatakan: “Barangsiapa yang meninggalkan sebab/usaha (dalam tawakkal) maka tawakkalnya belum lurus. Akan tetapi termasuk dari kesempurnaan tawakkal adalah tidak condong kepada sebab-sebab itu, memutuskan keterkaitan hati dari sebab-sebab itu.” Kemudian setelah itu beliau mengatakan: “Dan tidak akan tegak dan bernilai dalam menjalani usaha itu melainkan harus di atas tawakkal.” (Madarijus Salikin, 2/120)

Dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal itu harus dibarengi dengan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat ‘Umar Ibnul Khathtab z:

“Bila kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana dia memberikan rizki kepada burung; pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan kenyang.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami no. 5254)

Tawakkal dan Macam-macamnya


Tawakkal sebagai satu bentuk ibadah tentu memiliki celah bagi seseorang untuk bermaksiat di dalamnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Oleh karena itu para ulama membagi tawakkal menjadi beberapa bagian:

Pertama, tawakkal ibadah.
Yaitu tawakkal yang membuahkan ketundukan dan pengagungan serta kecintaan dalam mencari segala manfaat dan menolak segala bentuk mudharat. Tawakkal ini hanya diberikan kepada Allah semata.

Kedua, tawakkal syirik.
Yaitu tawakkal ibadah yang diberikan kepada selain Allah dan ini termasuk syirik besar. Barangsiapa memberikannya kepada selain Allah, maka dia telah keluar dari Islam, telah musyrik dan kafir.

Apabila seseorang menyandarkan dirinya dengan bertawakkal dalam hatinya kepada selain Allah dalam masalah rizki dan kehidupannya maka ini termasuk syirik kecil. Jenis tawakkal seperti ini diistilahkan oleh sebagian ulama dengan syirik khafi (yang tersembunyi).

Ketiga, tawakkal yang diperbolehkan.
Yaitu menyerahkan satu bentuk urusan kepada orang lain dan orang tersebut mampu untuk melakukannya, maka hal ini diperbolehkan1. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah r ketika menyerahkan tugas untuk menyembelih apa yang masih tersisa dari hewan qurban beliau kepada ‘Ali bin Abi Thalib z sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Muslim, dari shahabat Jabir bin ‘Abdullah z. Juga sebagaimana beliau menyerahkan tugas penjagaan harta zakat fithri kepada Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan juga sebagaimana beliau telah mewakilkan kepada ‘Urwah bin Al-Ja’d z untuk membeli binatang qurban.

Walhasil, tawakkal adalah salah satu jenis ibadah yang terkait dengan hati, yang memiliki kedudukan yang tinggi di dalam agama. Tawakkal tidak akan sempurna melainkan harus disertai dengan ikhtiar (usaha) dengan menjalankan sebab-sebabnya. Tawakkal mempunyai hubungan yang sangat erat dengan iman, Islam, ibadah, hidayah dan takwa. Wallahu a’lam. ?

0 komentar:

Posting Komentar