Jumat, 15 Juli 2011

ღ☆ღ*♥*ღ☆ Ketika Cinta Harus Memilih bag. 2 ☆ღ,¤¤*♥ღ☆ღ

hari kedua aku jadi relawan aku mencoba mewujudkan keinginanku semalam untuk mengajak anak2 pengungsi untuk belajar sholat sama sama. waktu itu aku minta ijin terlebih dahulu kepada panitia pengurus setempat. alhamdulillah mereka mengizinkan, dan justru mereka menyerahkan semuanya pada kami. tapi ketika itu ada satu masalah. aku butuh alat untuk menampilkan film kartun sifat sholat Nabi ini dalam hal ini monitor atau LCD proyektor.
"pak, ini nantikan saya butuh alat pembantu untuk mengajari anak anak belajar sholat, saya butuh monitor pak, boleh saya pinjam pak?" tanyaku
"waduh maaf mas, sepertinya gak bisa" kata bapak2 yg bertugas jaga disana
"oh yasudah pak, makasih" kataku

aku pun berpikir, putar otak gimana nanti aku bisa menampilkan film ini. akhirnya kuputuskan untk menghubungi panitia pusat dikampusku
"assalamu'alaikum, mas mau tanya, nanti shift pergantian relawan dari psikologi datang jam berapa ya? bisa gak kalo nanti dibawakan LCD proyektor dari kampus?" tanyaku,
"wa'alaikum salam, insya Allah nanti sore. ok nanti kuusahakan"kata temanku dari panitia pusat kampus
"alhamdulillah, makasih mas" kataku

sambil menunggu, ternyata anak anak pengungsi pada berkumpul ditenda relawan. ku manfaatkan untuk mendekati mereka.
"eh kalian udah pada bisa sholat belum" tanyaku
"belum mas" kata salah satu dari mereka, kulihat yang lain pun juga begitu kelihatannya
"oya, nanti sore kita nonton kartun yuk, sifat sholat Nabi. mau gak?
"nanti sore mas? ya mas mau mau" kata mereka
senang nya hati ku, jalanku dipermudah oleh Allah untuk mengajari mereka

beberapa saat kemudian datang Vita menghampiriku
"ehm, mas bisa minta tolong? tanya Vita
"iya bisa, ada apa? kataku
"gini mas, itu saya ada pasien yang tensi darahnya sampai 200 an,sekarang dia saya ajak ngobrol, tapi saya kesulitan bahasa, mas bisa bahasa jawa kan? bantuin ya? kata Vita
"ok, dimana sekarang? tanyaku
"disamping ruang medis mas" jawabnya

kami pun kesana. saat masuk ruangan kudapati seorang wanita paruh baya yang berlinang air mata dipipinya.
"bu, ngapunten, ibu kengeng menopo? tanyaku pake bahasa jawa
"ngeten mas, kulo wingi niku pas merapi meletus pisah kalian garwo kulo mas"kata ibu itu
"sakniki, ibu sampun ngertos garwo njenengan wonten pundi?tanyaku
"sakniki wonten posko desa liyo mas, kaliyan anak kulo, nanging kulo dereng tenang mikir garwo kulo sakniki" jawab ibu itu
aku pun menjelaskan pada Vita kalo dia terpisah dengan suaminya, dan sekrang suaminya ada diposko pengungsi lain, tapi dia memikirkannya dan belum bisa tenang.
"ibu shalat nopo mbotenn bu?"tanyaku
"mboten mesti mas"jawabnya
"geh mpun sakniki kajenge ibu tenang ibu sholat rumiyen njeh"kataku
dia pun mau dan ku minta Vita untuk membimbingnya dalam shalat

sore harinya alhamdulillah proyektor sudah ditangan. kukumpulkan anak anak pengungsi ke masjid darurat dibantu oleh teman temanku relawan lain termasuk dari LSM FKAM (Forum Komunikasi Aktivis Masjid) setempat
"assalamu 'alaikum...warah matullahi....wabarakaatuh"kuucapkan salam pada mereka
"wa'alaikum salam warah matullahi wabarakaatuh" jawab mereka dengan nada khas anak anak sama persis seperti masa kecilku dulu
" alhamdulillah....nah adek adek sekarang Mas Zaini mau ngajak nonton bareng sifat sholat nabi, tolong diperhatikan ya? nanti kita praktek sama sama" kataku
mereka pun hnya melongo tanpa ekspresi, akupun langsung memutarkan film itu

setelah film selesai diputar, ternyata adzan maghrib udah terdengar. akupun mengajak mereka untuk wudhu sama sama sambil membimbing mereka. alhamdulillah mereka antusias sekali melaksanakannya. dan kami pun shalat maghrib berjamaah. seusai itu kami bubar sendiri sendiri untuk makan malam

aku kaget waktu itu baru jam 7 kurang anak anak itu sudah mencariku
"mas udah shalat lagi belum" tanya mereka
"belum masih sekitar setengah jam lagi, nanti aja kalo dengar adzan kalian langsung kemari ya"kataku
betapa senang nya hatiku waktu itu karena ke antusiasan anak anak itu. bahkan keesokan harinya mereka bangun lebih dahulu daripada aku untuk mengajaku shalat subuh. subhanallah......

hari ketiga adalah hari terakhir bagiku bertugas disana, ternyata Vita sudah kembali pulang karena dia sudah bertugas disana selama 6 hari. tidak ada satu pun kalimat perpisahan yang terucap diantara kami. hari terakhir ini adalah hari terberatku karena harus meninggalkan anak anak emasku yang masih perlu banyak pendampingan. sempat aku ditanya oleh pihak LSM FKAM
"mas disini berapa hari? kembali kesini lagi gak mas?" tanya mereka padaku
"Insya Allah hari ini saya pulang pak, seperti nya saya tidak kembali kesini" jawabku, aku tak tau mengapa mereka tanya seperti itu padaku

sore hari aku pulang kejogja bersam kawan kawan lainnya. rasanya ada sesuatu yang mengganjal dihatiku. tapi ku tak tau itu apa. di dalam mobil, kami saling bertukar nomer hp satu sama lain. dan aku pun minta nomer hp Vita pada temanku yang lain. tapi hari sebelumnya memang Vita sudah meminta nomer hpku terlebih dahulu, jadi menurut ku tak masalah

♥ ♥ { [ Ketika Cinta Harus Memilih Bag. 1 ] } ♥ ♥

kisah ini bermula sekitar setahun yang lalu di suatu pagi yang tak begitu cerah ku buka mata ini saat mendengar suara adzan yang bersaut sautan dipagi yang masih cukup gelap dipandangan mata. setelah subuh ku baca beberapa halaman Al Qur'an dan setelah itu karena mataku masih agak mengantuk aku tidur lagi, kebetulan hari ini aku kuliah agak siang. o iya aku disini adalah seorang lelaki sederhana yang sedang menimba ilmu dibangku perkuliahan di salah satu universitas swasta dijogja, sebut saja aku Zaini.

setelah bangun betapa kagetnya aku melihat diluar masjid tempat aku tinggal, debu bertebaran menutupi atap lantai 2 masjidku. setelah aku turun ternyata di bawah pun tak jauh berbeda. hari itu gunung merapi sedang menunjukan aktivitasnya memuntahkan isi perut bumi.

setelah mandi dsb aku berangkat kuliah. disepanjang jalan mobil, motor, bis, jalan raya hampir semua diselimuti oleh debu merapi. mungkin ini semua adalah sebuah sebuah ujian bagi penduduk jogja dan warga sekitar merapi khususnya bagi mereka yang berpikir dan mampu bermuhasabah diri akan peringatan-Nya

ternyata hari itu kuliah diliburkan hingga sampai batas waktu yang tidak ditentukan. ketika itu aku senang karena bisa sedikit istirahat namun juga sedih karena teringat akan saudara saudaraku yang sedang terkena musibah.

pada hari berikutnya dari organisasi mahasiswa kampus membuka pendaftaran relawan merapi dan bantuan logistik. kuputuskan untuk ikut menjadi relawan ke sebuah daerah di dekat candi Prambanan selama 3 hari. setelah kumandaftarkan diri hari itu juga aku berangkat kesana.

sampai disana aku bingung harus berbuat apa, dan akhirnya ku diajak oleh relawan yang bertugas sebelumnya untuk berkenalan dengan relawan lain. dan disinilah awal pertemuanku dengan seorang gadis jelita dan muslimah dari tim medis regu penolong sebut saja dia Vita.
"assalamu'alaikum" ucapku saat memasuki ruangan tim medis
"wa'alaikum salam" jawab mereka
"oh ya ni temen2, perkenalkan ada relawan baru dari kampus kami yang akan menggantikan relawan sebelumnya" kata mas Pebri ketua tim relawan dari kampusku di tempat pengungsian itu
sambil mengatupkan tanganku "kenalin, Zaini" katakau
"oh iya, vita"
dan seterusnya aku berkenalan dengan tim medis lain. waktu itu aku masih biasa biasa saja, dan begitu pun dengan dia

keesokan harinya kami tim relawan dari kampusku diajak sarapan bareng dengan relawan tim medis semalam termasuk juga vita. sambil makan kami ngobrol ngalor ngidul untuk mengenal satu sama lain. setelah makan kami pun membereskan piring gelas dsb. setelah selesai kami dari kampusku dan relawan salah satu kampus lain mencoba membuat kegiatan untuk anak2. pagi itu kami sepak bola bersama anak2. begitu menyenangkan dan juga melelahkan

hari berikutnya aku berpikir mengapa aku tidak mengajari anak anak sholat saja? kulihat setiap sholat jamaah di masjid darurat hanya sedikit yang ikut sholat berjamaah. kebetulan di netbookku ada kartun sifat sholat Nabi yang Insya Allah menarik untuk mereka.

### DI LANGIT ASA (Part VI) ###


Hari menjelang Maghrib. Syifa baru saja tiba di rumahnya setelah beraktivitas selama seharian. Ia langsung menyambar komputernya begitu masuk ke dalam kamarnya. Ia sudah tidak sabar lagi untuk membuka e-mailnya sejak mendapatkan sms dari Eggi siang tadi. Rasanya ia sudah tidak dapat menahan lagi rasa penasarannya terhadap ikhwan yang hendak dita’arufkan Eggi dengannya. Maka, begitu Syifa tiba di rumah, ia pun langsung menghidupkan komputernya dan membuka e-mailnya.

Benar saja! Seperti yang dikatakan Eggi, data beserta foto ikhwan tersebut memang sudah dikirimkan Eggi ke alamat e-mailnya. Syifa membacanya sejenak. Biodatanya begitu singkat dan sederhana. Kata-kata pembuka dan penutupnya pun begitu sederhana. Sesederhana namanya yang penuh makna, Muhammad Fikri. Usianya hanya terpaut 3 bulan dengan Syifa. Ia merupakan karyawan pabrik sebuah perusahaan elektronik ternama. Lulusan SMU dan saat ini sedang kuliah S1 teknik elektro. Ikhwan itu anak keempat dari 5 bersaudara.

Tak terlalu banyak keterangan yang diperoleh Syifa karena begitu singkatnya biodata ikhwan tersebut. Namun bagian akhir biodata sederhana itu sangat menarik perhatian Syifa. ikhwan itu menuliskan sebaris ayat pertama dari surat Al-Qalam :

Nun. Wal qalami wamaa yasthurun.

Syifa tertegun membacanya. Ia tahu persis arti dari ayat itu, ‘Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.’ Sekian kali ta’aruf, baru kali ini Syifa mendapatkan biodata yang sederhana & mencantumkan sebuah ayat yang sangat disukainya. Berbagai pertanyaan pun hinggap di kepala Syifa. Begitu perhatiankah ikhwan itu pada kegemarannya? Begitu dalamkah pemahaman ikhwan itu terhadap agamanya hingga ia tahu sebuah ayat dimana Allah bersumpah demi pena?! Dan… masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membuat Syifa semakin penasaran dengan jawabannya. Syifa pun mengakui kalau biodata sederhana itu sangat memikat hatinya dan membuatnya ingin tahu seperti apa sebenarnya ikhwan itu.

Syifa menurunkan tampilan layar komputernya hingga tampaklah wajah Muhammad Fikri yang membuatnya penasaran itu. Syifa memperhatikan foto itu sesaat. Tak ada yang menarik dari penampilan ikhwan itu. Ia terlihat sederhana seperti biodata yang dibuatnya. Wajahnya bulat putih dan terlihat dewasa. Akankah Syifa melanjutkan proses ta’aruf dengan ikhwan itu? Syifa belum bisa menjawabnya. Ia harus istikharah terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan yang terbaik.

"Ku pInang engkau dengan Al-Qur'an....," Suara merdu milik Gradasi yang menembangkan Ku Pinang Dengan Al-Qur’an kembali terdengar dari ponsel Syifa dan membuyarkan perhatian Syifa dari layar komputer.

“Pasti Eggi,” pikir Syifa seraya merogoh ke dalam tasnya. Setelah mendapatkan ponselnya, Syifa melihat layar ponselnya, ternyata Rahma, sahabat Syifa yang dahulu pernah mengaji bersama dengannya.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, Fa?,” jawab Rahma di seberang telepon.

“Khair Alhamdulillah. Ada apa, Ma? Gak biasanya telfon.”

“Hehe..iya nih. Aku ada perlu sedikit sama kamu."

“Perlu apa?,” Syifa penasaran mendengarnya.

“Begini, Fa. Aku punya sepupu ikhwan yang seusia sama kamu. Namanya Firdaus. Dia lulusan sarjana informatika dan sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah, PNS pula. Orangnya pendiam seperti kamu, akhlaknya baik, bacaan al-qur’annya bagus, hafalannya lumayan dan dia sedang mencari akhwat yang siap menikah. Kalau kamu belum ada calon, aku ingin menta’arufkan kamu sama sepupuku itu,” ujar Rahma langsung menjelaskan maksudnya menghubungi Syifa.
Syifa menarik napas.

“Kalau calon, terus terang aku memang belum punya.”

“Alhamdulillah.”

“Tapi, Ma. Aku baru saja memulai proses dengan seorang ikhwan.”

“Sejauh mana?.”

“Baru saling tukar CV aja. Bertemu pun belum.”

“Berarti masih ada kesempatan donk. Toh kamu belum dikhitbah dan belum ada kesepakatan apa-apa.”

“Yaa…memang belum sih.”

“Ya sudah, kalau begitu nanti aku kirimkan data dan fotonya besok ke e-mail kamu. Ya, sebagai bahan pertimbangan gak apa-apa kan. Kamu istikharah ja minta petunjuk Allah pilihan yang terbaik. Oke?!.”

”Baiklah, aku tunggu CV-nya. Setelah mantap dan yakin, insya Allah nanti aku kabari,” Syifa akhirnya menyetujui juga.

“Oke! Insya Allah segera aku kirimkan CV-nya. Wassalamu’alaikum,” sahut Rahma dengan nada riang.

Syifa menghela napas. Kali ini ia harus menghadapi 2 pilihan yang sangat sulit dan sama sekali tidak tahu mana yang lebih baik untuknya. Kedua ikhwan itu sama-sama belum dikenalnya. Ia sama sekali tidak tahu seperti apa kedua ikhwan tersebut. Syifa sungguh tidak mengerti harus memilih yang mana. Sepupu Rahma yang sudah PNS dan sarjana, ataukah Fikri yang hanya seorang karyawan pabrik. Syifa sungguh-sungguh tidak tahu.

“Ya, Rabb… berilah hamba petunjuk-Mu mana yang terbaik bagi hamba dari keduanya sehingga hamba tidak salah memilih. Amin…,” do’a Syifadi dalam hati.
Sayup-sayup suara azan Maghrib terdengar dari pengeras suara masjid dan mushola-mushola yang berada di lingkungan tempat tinggal Syifa. memanggil insan-insan yang beriman untuk menghadap Rabb yang telah menciptakannya dalam khusyuknya shalat.


*****



Ahad pagi yang cerah. Secerah penampilan Syifa siang itu dengan gamis kuning bermotif kotak-kotak berwarna biru langit yang berpadu dengan jilbab kuning muda. Wajahnya pun terlihat begitu cerah meski ia merasa tidak ada yang membuatnya merasa sangat gembira hari itu. Hatinya justru sedang berdebar-debar tak karuan tanpa bisa dikendalikannya. Padahal ini bukanlah pertama kalinya Syifa hendak ta’aruf dengan seorang ikhwan. Tapi itulah yang terjadi setiap kali ta’aruf, hatinya selalu saja berdebar tidak karuan.

Syifa menarik nafas dalam-dalam seraya berusaha menata hati dan mengendalikan debar-debar yang dirasakannya. Ummi Zakky yang diam-diam memperhatikan Syifa, tersenyum melihat tingkah Syifa. Bukan sekali ini murabbiyahnya itu melihat Syifa seperti itu. Sejak sang murabbinya pertama kali menta’arufkan Syifa, sejak itu pula ia selalu melihat Syifa seperti itu. Dan …. lagi dan lagi, murabbiyahnya itu hanya tersenyum melihatnya. Karena semua itu adalah fitrah setiap manusia yang memiliki akal dan perasaan.

Syifa kembali menarik nafas. Angannya melayang jauh pada foto ikhwan yang akan ta’aruf dengannya hari itu. Foto yang dikirimkan beserta CV ke alamat e-mailnya seminggu yang lalu. Entah seperti apa wajah asli ikhwan itu. Akankah sama persis seperti yang ada di foto, bulat putih dan terlihat dewasa, ataukah ternyata jauh berbeda dengan yang tergambarkan di foto. Syifa sungguh penasaran karenanya.

Muhammad Fikri. Akhirnya Syifa memilih untuk berta’aruf dengan sahabat baik Eggi itu dari pada Firdaus, sepupu Rahma yang PNS. Entah apa yang membuat Syifa lebih mantap untuk berta’aruf dengannya. Yang ia tahu, kalau hatinya lebih yakin untuk berta’aruf dengannya. Syifa terus berdoa dan berharap semoga pilihannya adalah yang terbaik untuknya.

Usia Fikri 6 tahun di atas Eggi. Karena itu Eggi sudah menganggapnya seperti kakak sendiri. Entah apa yang membuat ikhwan itu bersedia ta’aruf dengan Syifa hingga bersedia jauh-jauh datang dari kota hujan, Bogor ke kota Patriot, Bekasi. Padahal Syifa dan Eggi belum lama kenal dan kenal pun hanya dari jauh. Jangankan mengenal persis pribadi masing-masing, bertemu langsung pun mereka belum pernah. Selain itu, kota Bogor dengan IPB-nya yang terkenal, menyimpan begitu banyak akhwat-akhwat aktivis dakwah yang luar biasa. Sungguh, Syifa tak habis pikir karenanya. Ia hanya berharap itu semua adalah sebuah tanda bahwa ikhwan itu memang jodohnya. Bukankah tak ada hal yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak?!!

Dan kini, baik Eggi maupun Fikri benar-benar berada di hadapan Syifa. Mereka duduk berjejer tepat di hadapan Syifa. Di sebelah kiri Fikri, duduk seorang laki-laki yang usianya terlihat lebih tua beberapa tahun di atas mereka. Laki-laki itu tidak lain adalah murabbi Fikri.

“Subhanallah…. Mereka benar-benar datang,” gumam Syifa pelan, nyaris tidak terdengar. Ia segera membenamkan wajahnya dalam-dalam sambil terus berusaha menghilangkan geroginya agar tak terlihat salah tingkah di hadapan mereka. “Bismillah…. Ya Allah, jika memang ia jodohku, mantapkanlah hatiku dan mudahkanlah segalanya. Namun jika bukan, lapangkanlah hatiku agar bisa menerima segala ketetapan-Mu dengan ikhlas,” doa Syifa dalam hati.

Tanpa banyak basa-basi, suami Ummi Zakky yang merupakan pemilik rumah tempat ta’aruf itu dilaksanakan segera membuka dan memimpin acara hari itu. Acara dimulai dengan perkenalan antar kedua murabbi, yaitu Ummi Zakky dan murabbi Fikri. Eggi juga tidak ketinggalan memperkenalkan dirinya pada Ummi Zakky mengingat dialah yang sejak awal berperan menjodohkan Fikri dan Syifa.
Setelah saling berkenalan, acara inti pun dimulai. Fikri sebagai tamu, lebih dahulu memperkenalkan dirinya dan menjelaskan kondisi dirinya dan keluarganya. Tak ketinggalan pula ia menjelaskan mengenai tujuannya menikah beserta semua visi misi dan harapan-harapan yang ingin diwujudkannya dalam sebuah pernikahan.
Fikri terlihat begitu santai. Bahkan sesekali candaan kecil meluncur dari mulutnya sehingga membuat suasana tidak terlihat kaku dan sangat formil. Emosinya tampak sangat terkontrol dan dapat menguasai keadaan. Mungkin karena usianya yang sudah cukup matang dan usia tarbiyahnya yang sudah cukup lama. Jauh berbeda dengan Syifa yang sejak awal kedatangan Fikri tadi sudah sangat tegang. Sehingga ia pun tak dapat berkata banyak dan tampak begitu kaku meski terkadang ia ikut tersenyum manakala Fikri berusaha mencairkan suasana dan ketegangan yang dirasakannya.

Seperti biasa, Ummi Zakky mengingatkan keduanya akan semua konsekuensi yang harus dijalani setelah pernikahan, seperti tinggal mengikuti suami dan memiliki anak. Ia meminta Syifa dan Fikri membicarakannya agar nantinya mereka sama-sama tahu dan lebih mantap dalam mengambil keputusan langkah berikutnya.

Tepat saat azan Zuhur berkumandang, ta’aruf hari itu pun selesai. Tinggal memutuskan langkah selanjutnya, apakah proses ta’aruf tersebut akan diteruskan hingga ke pelaminan, ataukah cukup hanya sampai di situ. Keduanya bergantung pada keputusan serta kemantapan hati Syifa dan Fikri.

Suami Ummi Zakky yang menjadi pembawa acara hari itu, menunda sejenak acara untuk memenuhi panggilan azan yang telah berkumandang. Ia mengajak Eggi, Fikri beserta murabbinya untuk menunaikan shalat berjama’ah di masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah Ummi Zakky. Sedangkan Ummi Zakky dan Syifa shalat berjama’ah di rumah.

Ahad siang itu, kembali …. harapan-harapan Syifa beterbangan ke langit bersama untaian doa-doa yang dipanjatkan dalam setiap sujud-sujudnya. Harapan dan doa-doa yang terus beterbangan tinggi menembus lapisan demi lapisan langit hingga ke ‘arsy, di mana Rabb-nya berada. Seraya terus berharap Sang Rabb akan mengabulkan pintanya, mengabulkan segenap doa-doanya.
Usai menunaikan shalat Zuhur, Syifa melaksanakan shalat istikharah 2 raka’at untuk meminta petunjuk dan kemantapan hati apa yang harus diputuskannya nanti. Begitu pula dengan Fikri. Di masjid ia juga melaksanakan shalat istikharah dan berdoa memohon petunjuk Allah. Mereka berdua sadar betul kalau jodoh merupakan rahasia Illahi Rabbi. Dan hanya Allah yang memutuskan segala sesuatu di bumi ini. Hanya Allah yang Maha Berencana. Hanya Allah pula yang Maha Tahu mana yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Suami Ummi Zakky kembali membuka acara setelah tadi sempat ditunda selama hampir setengah jam karena masuk waktu Zuhur. Setelah mereka semua menunaikan shalat Zuhur dan berkumpul lagi, barulah acara dimulai kembali. Suami Ummi Zakky memberikan sedikit tausiyahnya pada Syifa dan Fikri terlebih dahulu sebelum mendengar keputusan Syifa dan Fikri akan kelanjutan proses yang mereka jalani hari itu.

Selesai suami Ummi Zakky bertausiyah, barulah Syifa dan Fikri diminta menyatakan keputusan mereka masing-masing. Syifa diminta mengutarakan keputusannya terlebih dahulu. Wajahnya terlihat lebih fresh seusai shalat. Sikapnya pun tampak lebih tenang dan rileks kali ini meski debar-debar di hatinya belum kunjung menghilang juga.

Syifa tertunduk sesaat dan terdiam. Ia sadar segenap perhatian kini tertuju padanya. Namun ia berusaha tetap tenang seraya menyusun baris-baris kalimat yang akan disampaikannya nanti.

Beberapa menit kemudian, baru terdengar baris suara lembut Syifa dari bibirnya.

“Bismillahirrahmanirrahim… Rabbi shrahli shadri wayassirli amri wahlul uqdatan millisani yafqahu qauli. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesempatan berta’aruf dengan akhi Fikri hari ini dalam rangka berproses secara syar’i demi untuk menunaikan sunnah Rasulullah dan menggenapkan separuh agama ini. Setelah istikharah ba’da shalat Zuhur tadi, insya Allah ana yakin dan mantap untuk melanjutkan proses ta’aruf ini ke proses selanjutnya dan membina sebuah keluarga yang samara dengan akhi Fikri,” ucap Syifa penuh kemantapan.

“Namun kelanjutan proses ini, bukan hanya pada keputusan ana semata. Keputusan selanjutnya ana serahkan pada akhi Fikri. Apa pun keputusannya, insya Allah ana siap menerimanya dengan kelapangan hati,” lanjut Syifa tawakal.

Selesai Syifa menyampaikan keputusannya, giliran Fikri yang berganti menyatakan keputusannya pada seluruh hadirin.

“Bismillahirrahmanirrahim…,” Fikri mulai berbicara.

Ia diam sejenak dan menarik nafas. Membuat Syifa yang menanti kata-kata yang hendak keluar dari mulut Fikri, semakin tegang dan berdebar-debar karenanya.

“Ana pun sudah istikharah ba’da shalat Zuhur tadi untuk meminta petunjuk Allah agar tidak salah melangkah dan mengambil keputusan,” ujar Fikri kemudian. “Apa pun hasilnya nanti, semoga itu yang terbaik dan semoga dapat diterima dengan penuh keikhlasan,” sambung Fikri tidak langsung mengutarakan keputusannya.
Fikri kembali menarik nafas.

“Insya Allah, ana yakin dan mantap sekali untuk melanjutkan proses dengan ukhti Syifa hingga ke pelaminan. Bahkan melanjutkannya hingga ke surga Allah yang abadi,” ucap Fikri yang disambut dengan ucapan hamdalah dan senyuman oleh Syifa dan seluruh hadirin yang mendengarkannya.

“Insya Allah, 2 minggu lagi ana akan datang pada orang tua ukhti Syifa untuk meminang agar walimah bisa segera dilaksanakan. Semoga ukhti bersedia.”

Syifa tersenyum. Kali ini ia benar-benar bisa tenang dan santai dari sebelumnya. Hatinya pun terasa lega meski masih tetap berdebar-debar. Namun kali ini debar-debar yang dirasakannya berbeda dari sebelumnya. Kali ini ia berdebar-debar memberikan jawaban pada Fikri karena begitu bahagianya.

“Insya Allah bersedia,” jawab Syifa tanpa ragu.

“Alhamdulillah,” sahut Fikri dan yang lainnya.

Hari ahad siang itu, sungguh sebuah hari yang sangat indah bagi Syifa. Ia tiada henti-hentinya bersyukur pada Sang Illahi yang telah membuka sebuah jalan yang sungguh sangat di luar dugannya. Setelah sekian lama menanti, setelah beberapa kali berta’aruf, seorang sahabat yang belum pernah bertatap muka dengannya, membawakan seorang ikhwan jauh dari kota hujan, yang akhirnya memberikan kesejukan pada hatinya yang telah gelisah menanti.

“Alhamdulillah… segala puji hanya pada-Mu ya Rabb, ya Rahman, ya Rahim. Sungguh hanya Engkau yang Maha Berencana. Ya Rabb, mudahkanlah segala urusan kami, mekarkanlah bunga-bunga cinta di hati kami, sampaikanlah kami dalam indahnya sebuah pernikahan, izinkanlah kami bersama-sama mengarungi samudra kehidupan ini, tak terpisahkan hingga ke surga-Mu kelak. Ya Rabb, hanya pada-Mu kami panjatkan segala doa kami, hanya pada-Mu kami gantungkan segenap asa kami. Ya Rabb, yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Engkaulah sebaik-baik penolong. Kabulkanlah permohonan-permohonan kami. Amin allahumma amin…,” doa Syifa dalam hatinya diiringi gerimis yang turun dari kelopak matanya.


*****
TAMAT

#### DI LANGIT ASA (Part IV) ####

Nasyid-nasyid pernikahan terus mengalun dari sound system yang sengaja diputar untuk mengiringi acara pernikahan Nita. Tamu-tamu semakin banyak yang berdatangan untuk memberikan doa restunya pada kedua mempelai. Tentu saja Syifa semakin sibuk mengurusi hidangan yang disediakan untuk para tamu di meja prasmanan. Ia pun harus bolak-balik ke dapur dan meja prasmanan untuk mengambil makanan lalu menghidangkannya di meja prasmanan.
Saat sedang melayani para tamu, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi nyaring. Syifa cepat-cepat meminta bantuan salah seorang temannya untuk menggantikannya. Setelah ada yang menggantikannya, barulah ia mengambil ponsel di tas kecil selempangnya sambil mencari tempat yang lebih nyaman untuk menjawab telepon.

“Assalamu’alaikum,” salamnya menerima telepon yang masuk untuknya.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh. Gimana kabarnya, mbak? Sehat?,” jawab suara di sebrang telepon yang terdengar seorang ikhwan.

“Alhamdulillah khair. Ada apa, dek? Tumben telepon,” tanya Syifa kemudian pada ikhwan yang bernama Eggi itu. Kalau mendengar panggilan akrab mereka, pastilah banyak yang mengira kalau mereka masih memiliki hubungan saudara atau pun sahabat yang sudah lama kenal. Padahal keduanya sama sekali tidak memiliki hubungan saudara dari darah yang mengalir di tubuh mereka. Bahkan keduanya sama sekali belum pernah bertemu meski sudah hampir setahun saling mengenal melalui dunia maya. Mereka hanya berkomunikasi melalui dunia maya dan ponsel. Melalui ponsel pun baru satu bulan belakangan ini. Kegemaran yang sama membuat keduanya menjadi akrab meski belum pernah bertemu secara langsung di dunia nyata.

“Gak apa-apa, mbak. Ana cuma mau kasih tahu kalau buku kiriman mbak sudah ana terima kemarin. Jazakillah ya mbak, atas hadiahnya,” jawab Eggi menjelaskan maksudnya menghubungi Syifa.

“Oh gitu. Alhamdulillah sampe juga. Sama-sama, dek. Semoga bermanfaat dan menambah ilmu ya,” kata Syifa menanggapi.

“Amin…,” sahut Eggi. “Oh ya, mbak. Kok kaya’nya rame amat, lagi ada dimana nih?.”

“Iya, afwan ya kalo rame begini. Mbak lagi ada di acara walimah nih.”

“Walimah? Walimah mbak, ya? Kok gak undang-undang ana, mbak?,” tanya Eggi lagi.

Syifa tersenyum kecil mendengar celotehan Eggi.

“Ya, bukanlah. Ini walimahan teman mbak. Kalo walimah mbak, masa’ iya antum gak diundang,” jawab Syifa menjelaskan.

“Oh… Terus mbak sendiri kapan walimahnya? Pasti udah ada rencana kan?.”
Lagi-lagi Syifa tersenyum kecil.

“Rencana insya Allah sudah pasti ada. Hanya saja, mempelai prianya belum ketemu juga. Masih sembunyi entah di mana.”

“Oh.., jadi mbak belum proses nih,” simpul Eggi.

Syifa hanya tersenyum menanggapi.

“Ehm…gitu toh,” Eggi bergumam.

“Makanya bantu mbak nyari mempelai prianya,” ujar Syifa kemudian setengah bercanda.

Eggi tertawa mendengarnya.

“Boleh, mbak. Insya Allah nanti ana coba bantu. Ana punya teman yang seusia mbak dan belum walimah. Ya, siapa tahu jodoh, mbak,” ungkapnya kemudian.
“Boleh-boleh. Siapa tahu jodoh,” respon Syifa menanggapi seraya tersenyum sendiri.

“Oke deh! Nanti ana kabari lagi. Buat sekarang cukup dulu ya, mbak. Afwan kalo ana sudah ganggu.”

“Iya gak apa-apa, dek.”

“Jazakillah ya, mbak. Assalamu’alaikum,” salam Eggi mengakhiri pembicaraannya.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,” Syifa menjawab salam dari Eggi. Ia segera menyimpan ponselnya kembali di tas. Lantas ia kembali melanjutkan aktivitasnya membantu acara walimah Nita yang belum usai siang itu.


*****


”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).”

Itulah janji Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 26. Perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji, sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula. Syifa yakin itu! Yakin pada janji Allah yang Maha Suci.

Maka, ketika seseorang menginginkan jodoh yang baik, maka ia harus menjadikan dirinya baik terlebih dahulu. Begitu pula jika mengharapkan jodoh yang shalih, maka ia harus menjadikan dirinya shalihah terlebih dahulu. Jangan pernah bermimpi mendapatkan jodoh yang shalih, namun diri sendiri menjadi seseorang yang keji, jahat dan penuh dengan kemaksiatan. Jangan pernah berharap memiliki istri sekualitas Fatimah, jika diri sendiri belum sekapasitas Ali.
Syifa sangat menyadari itu. Karenanya, dari pada hanya meratapi dirinya yang tak kunjung menikah juga, Syifa lebih memilih untuk terus membenahi dirinya dan terus berusaha menjadikan dirinya pantas menjadi pendamping hidup seorang laki-laki shalih yang selama ini ia dambakan kehadirannya. Seraya terus berdoa tiada henti pada Rabb yang Maha Berencana.

Tiba-tiba dari ponsel Syifa mengalun syahdu sebuah nasyid milik Gradasi yang berjudul Ku Pinang Engkau Dengan Al-Qur’an. Syifa segera menutup mushafnya dan menyimpannya di atas meja. Lalu cepat-cepat diambilnya ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidurnya.

“Assalamu’alaikum. Ada apa dek?,” Syifa menjawab panggilan telepon yang masuk di ponselnya itu.

“Wa’alaikumsalam. Afwan, mbak. Mengenai pembicaraan kita tempo hari, ana mau mengabarkan sama mbak kalau teman ana itu bersedia untuk ta’aruf sama mbak. Insya Allah nanti CV beliau akan segera dikirimkan ke e-mail mbak,” jawab si penelepon yang ternyata adalah Eggi.

“Jadi tempo hari antum serius mau bantu mbak, dek?,” Syifa masih kurang yakin.
Mendengar pertanyaan Syifa, Eggi langsung tertawa kecil.

“Jelas ana serius, mbak. Masa’ ana bercanda sih sama masalah beginian. Kalau ana bercanda, sama aja ana mempermainkan mbak. Gak mungkin ana berbuat begitu mbak.”

“Oh begitu. Ya kadang kan ada aja yang cuma bercanda atau basa-basi aja.”

“Kalau ana jelas nggak-lah, mbak. Ana bukan orang yang seperti itu.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Jadi keputusannya?.”

“Keputusan apa?.”

“Ya keputusan mbak, bersedia apa nggak ta’aruf sama teman ana itu,” Eggi sedikit geregetan dengan pertanyaan Syifa.

Syifa tertawa kecil.

“Hehe… Ya, insya Allah mbak bersedia ta’aruf dengan beliau. Jika memang berjodoh Alhamdulillah, kalau tidak berjodoh, seperti kata Bilal, cuma Allah yang Maha Besar!!.”

“Kalau begitu nanti mbak kirim CV mbak ke alamat e-mail ana ya.”
“Insya Allah nanti segera mbak kirimkan, dek. Jazakallah ya sudah bersedia membantu mbak.”

“Sama-sama, mbak. Semoga aja kali ini berjodoh ya, mbak.”

“Amin…,” Syifa mengaminkan seraya melayangkan jutaan harapnya pada Rabb-Nya.

Usai menyampaikan semuanya, Eggi segera mengakhiri pembicaraannya dengan Syifa.

“Alhamdulillah…,” syukur Syifa setelah meletakkan ponselnya kembali di tempat tidur. “Semoga dia orangnya, mujahid yang selama ini ku nanti dan ku rindukan kehadirannya,” harapnya kemudian.

~~ DI LANGIT ASA ~~ (PART 3)

Hening… teramat hening. Begitu heningnya hingga Syifa merasakan betapa nikmatnya bermunajat pada Rabb-nya di sepertiga malam yang terakhir. Ada kesejukan bersama air wudhu yang menyentuh kulitnya. Ada kedamaian manakala ayat-ayat Allah terlantun dari bibirnya. Ada kebahagiaan manakala ia bersua dengan Tuhan yang telah menciptakannya. Semua kenikmatan itu, tak dapat dibayarkan dengan apa pun juga. Kenikmatan yang hanya dapat dirasakan hamba-hamba-Nya yang ikhlas bersujud pada-Nya. Karena sesungguhnya puncak kenikmatan bagi orang-orang baik dan saleh adalah bisa berkomunikasi dan mencurahkan isi hatinya dengan bercerita kepada sang Khalik di tengah malam. Di sanalah rahmat Allah akan datang bagi orang-orang yang melakukan shalat di malam hari. Allah menghiasi perhiasan kecintaan kepada orang-orang yang ruku, sujud, dan bersimpuh di haribaan-Nya dengan bangun dan shalat di sepertiga malam yang agung.

Syifa melipat mukenahnya. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum azan subuh memanggil. Ia beranjak ke meja komputernya. Ia menyalakan komputer miliknya. Dibukanya sebuah file berjudul CV. Dibacanya sejenak file yang berisi semua data pribadinya itu. Setelah merasa cukup, Syifa mengeprint file itu diiiringi basmalah yang meluncur dari bibirnya.

“Bismillah…..”

Dalam waktu beberapa menit, data pribadinya telah tercetak rapih dalam dua lembar kertas berukuran A4. Syifa mengambil hasil print out data pribadinya itu dan membacanya sekali lagi dengan seksama. Senandung doa pun terlantun lirih dari bibirnya seraya menggantungkan segenap asa di dalam hatinya pada Rabb yang Maha Pengasih.

“Bismillah…
Terucap dari lubuk hati yang terdalam
Kidung doa pun terurai
Di heningnya pagi
Kala subuh belum lagi menyapa
Ya Rabbana…..
Izinkanlah lembaran kertas ini sampai di tangannya
Perkenankanlah goresan tinta ini dibacanya
Oleh seseorang yang telah Kau pilihkan untukku
Seseorang yang hatinya Kau tambatkan padaku
Seseorang yang kan menemani perjuanganku
Seseorang yang ikhlaskan dirinya untuk hidup denganku
Seseorang yang bersedia menuntunku dalam titian syariat-Mu
Seseorang yang akan membuatkan aku rumah di dunia dan di surga-Mu
Ya Rabbana…..
Jangan biarkan aku sendiri di dunia ini
Sungguh ku rindukan ketrentaman itu
Sungguh ku ingin sempurnakan separuh dien-Mu
Maka,
Pertemukanlah aku dengannya
Ikatkanlah aku dengannya
Amin...”

Setelah memanjatkan doa, Syifa pun melipat lembaran data pribadinya dan memasukkannya ke dalam sebuah amplop berukuran sedang. Entah ini yang ke berapa kalinya Syifa membuat biodata, memasukkannya ke dalam amplop untuk kemudian diproses untuk ta’aruf. Namun belum ada yang membuahkan hasil. Ia hanya trus berusaha dan berusaha tanpa ingin berputus asa. Ia percaya Allah telah mempersiapkan seseorang untuknya melayari kehidupannya. Ia percaya pada janji Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 26 :

”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik(pula).”

Ya! Syifa percaya itu. Sangat percaya! Karenanya Syifa tidak ingin berputus asa. Syifa justru semakin terpacu untuk memperbaiki dan mempersiapkan dirinya sebaik mungkin seraya terus berdoa agar Allah mempertemukannya dengan jodoh yang telah dituliskan di Lauhul Mahfudz. Di langit asanya,Syifa menggantungkan segenap harapnya pada sang Rabb, Pencipta seluruh alam.


*****


Lembayung senja merah merona menghiasi langit yang terlihat cerah di antara awan putih yang berarak. Sementara, matahari yang hendak pulang ke peraduannya, terlihat bulat memancarkan cahaya kemerahan di ufuk barat. Sebuah lukisan alam yang tersaji dengan teramat indahnya. Lukisan maha karya yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta, yang tidak ada satu makhluk pun yang dapat menyamai hasil karya ciptaan-Nya.

Dari atas sepeda motornya, Syifa tersenyum menatap lukisan alam di hadapannya. Wajahnya terlihat begitu cerah. Secerah hatinya senja itu. Secerah langit di hadapannya sore itu. Syifa pun berpuisi riang.

“Hari mengantarkan senja
Langit cerah merona kemerahan
Begitu terang bercahaya
Ku lajukan sahabat perjuanganku perlahan
Tuk menikmati indahnya senja yang terlukis di depan mata
Ada untaian asa di balik langit senja yang memerah di sana
Saat senja berganti malam
Dan mentari kembali ke peraduannya
Sesungguhnya,
Ada cahaya baru yang benderang
Ada cahaya baru yang kan menjelang
Setelah malam itu berlalu
Setelah kelam itu pergi
Karena itu,
Tak perlu berduka saat senja berganti malam
Tak perlu bersedih saat cahaya mentari menghilang di balik awan
Karena esok kan kau temui sebuah hari baru yang bercahaya
Cahaya indah yang memancarkan seberkas asa
Cahaya penerang bagi hidupmu
Yang kan menyinari setiap jalan yang kau lalui”

Begitu asyiknya menikmati lukisan senja di hadapannya, Syifa baru tersadar kalau ia telah sampai di tempat yang ditujunya. Hampir saja Syifa melewatinya. Ia pun segera menepikan motornya.

“Sendirian aja, Fa,” sapa Retno yang baru saja keluar dari dalam tepat ketika Syifa memarkir motornya.

Syifa tersenyum menyambut sapaan Retno.

“Iya, mbak,” ujarnya seraya menghampiri Retno. “Assalamu’alaikum,” salamnya sambil merangkul Retno.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Retno cepat.

“Sehat, mbak?.”

“Alhamdulillah,” Retno balas tersenyum. “Langsung ke dalam aja, yuk,” ajaknya kemudian sambil membuka pintu.

Syifa hanya mengangguk dan mengikuti Retno di belakang. Diam-diam ia menyimpan rasa penasaran dan berjuta pertanyaan mengapa Retno memintanya untuk datang sore itu. Saat di telefon tadi siang, sepertinya ada sesuatu yang sangat penting hingga Syifa harus datang sore itu juga. Sebenarnya hari itu jadwal Syifa sangat padat. Tapi untunglah ada sebuah agenda yang tiba-tiba dicancel sehingga Syifa bisa datang sore itu juga.

“Ada apa, mbak? Sampai-sampai mbak meminta aku datang. Sepertinya gak bisa disampaikan lewat sms atau telepon saja,” tanya Syifa yang penasaran sehingga tidak ingin berbasa-basi lagi.

Retno tersenyum. Ia paham mengapa Syifa langsung to the point begitu saja.

“Sebenarnya bisa saja dibicarakan di telepon. Hanya saja, rasanya lebih nyaman kalau menyampaikan langsung sama kamu, Fa,” jawab Retno.

“Oh..”

“Begini, Fa. Waktu kemarin mbak minta data kamu, sebenarnya memang ada ikhwan yang berniat untuk menikah. Dia binaan teman mbak,” Retno memulai penjelasannya.

Mendengar ungkapan Retno tersebut, bunga-bunga harapan di hati Syifa mulai bermekaran.

“Lantas?.”

“Mbak dan teman mbak itu sudah memproses data kamu dan ikhwan tersebut.”

“Lantas?.”

“Ikhwan tersebut sudah melihat data kamu dan bersedia ta’aruf.”

“Sungguh, mbak?,” Syifa pun mulai menaruh harap.

Retno menganggguk cepat.

“Tapi…”

“Tapi apa,mbak?.”

“Tapi kemarin teman mbak memberi tahu kalau ikhwan tersebut membatalkan niatnya untuk berproses dengan kamu, Fa,” jawab Retno dengan nada yang suara yang menurun.

“Membatalkan? Begitu saja? Apa alasannya, mbak?.”

“Ikhwan itu beralasan kalau usianya jauh lebih muda dari usia kamu. Ia tidak ingin memiliki istri yang usianya lebih tua darinya karena ia pasti akan merasa sungkan dan tidak enak memimpin seorang wanita yang usianya berada di atasnya. Selain itu, ia merasa ilmu yang dimilikinya masih sangat sedikit dibandingkan dengan kamu, Fa. Apalagi mengingat usia tarbiyah kamu yang jauh lebih lama dari dirinya. Begitu katanya,” papar Retno menjelaskan.

“Jadi begitu ya, Mbak?,” sahut Syifa menanggapi dengan suara yang tidak lagi bersemangat seperti sebelumnya.

“Afwan ya. Mbak belum bisa membantu kamu,” ujar Retno kemudian.

“Gak apa-apa, mbak. Aku ngerti kok. Kebanyakan ikhwan memang mencari akhwat yang seusia atau tidak lebih tua darinya,” Syifa berusaha melapangkan hatinya yang sedikit kecewa. “Kalau boleh tahu memang berapa usianya?.”

“24 tahun,” jawab Retno cepat.

“Hm… hampir 6 tahun di bawahku. Jelas saja, Mbak.”

“Tapi Fa, bukankah Rasulullah sendiri 15 tahun lebih muda ketika menikahi bunda Khadijah?! Dan saat itu bunda Khadijah adalah saudagar kaya raya, sedangkan Rasulullah hanya seorang pemuda yang membantunya berdagang?! Perbedaan itu toh tidak membuat beliau tidak bahagia dalam pernikahannya. Tidak lantas membuat beliau diremehkan sebagai seorang suami.”

“Itu kan Rasulullah, Mbak. Ikhwan itu hanya manusia biasa. Dan itu semua fitrah, mbak.”

“Tapi kalau saja dia mau meneladani Rasulullah, mungkin dia akan mendapatkan banyak keutamaan dari pernikahannya,” sahut Retno.

“Astaghfirullahal’adzim…. Mbak, kenapa jadi berandai-andai begitu?! Sudahlah. Apa pun alasannya, ini semua sudah kehendak Allah, Mbak. Sudah menjadi bagian dari rencana-Nya,” Syifa mengingatkan Retno. “Kita harus tetap berhusnuzhan. Mungkin saja memang bukan dia jodoh yang Allah takdirkan buat aku. Mungkin Allah sudah mempersiapkan seseorang yang lebih baik darinya,” sambung Syifa.

“Astaghfirullahal’adzim. Kamu bener, Fa. Afwan ya, mbak agak kesal habisnya. Bukankah Rasulullah mengatakan kalau wanita dinikahi karena 4 hal, yaitu kecantikannya, kekayaannya, keturunannya dan agamanya. Pilihlah agamanya maka engkau akan beruntung. Tapi ikhwan itu malah mundur, bukannya maju terus,” Retno sedikit menggerutu.

Syifa tersenyum mendengarnya.

“Mungkin ikhwan itu punya pertimbangan lain,” sahut Syifa yang berusaha tetap berhusnuzhan meski sebenarnya hatinya sangat kecewa. “Sudahlah,Mbak. Jangan diperpanjang lagi. Kita sudah berusaha, selanjutnya tugas kita adalah bertawakal pada Allah,” lanjut Syifa.

“Iya, Fa. Afwan ya mbak belum bisa bantu kamu.”

“Memang belum waktunya mungkin, Mbak,” Syifa lagi-lagi tersenyum.

“Jangan putus asa ya. Teruslah berikhtiar. Mbak juga akan mendoakan kamu terus,” ujar Retno lagi.

“Insya Allah,Mbak. Terima kasih mbak sudah begitu perhatian sama aku sampai berusaha membantu aku. Terima kasih banyak, mbak,” Syifa menatap mata Retno dalam-dalam. Ada cinta yang begitu besar di sana untuknya. Cinta yang begitu hangat dan tulus dari seorang kakak untuk seorang adik.

“Ya tapi belum membuahkan hasil.”

Syifa menggenggam erat tangan Retno.

“Itu juga sudah cukup, mbak,” Syifa tersenyum hangat. Ia pun lantas berpamitan pada Retno untuk pulang. Apalagi waktu hampir menjelang Maghrib.

Di perjalanan pulang ke rumahnya, Syifa melajukan perlahan motor bebeknya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Ada kecewa yang menghimpit sesak dadanya. Entah sudah ke berapa kalinya lagi-lagi ia batal berproses. Padahal hatinya telah sangat merindu akan nikmatnya sebuah pernikahan.

“Ya Rabb, kesalahan apa yang telah ku perbuat hingga aku begitu sulit menemukan jodohku? Berilah aku petunjuk-Mu agar aku bisa memperbaikinya,” bisiknya lirih seraya berusaha bermuhasabah.

Meski ada kecewa yang menghimpit, Syifa berusaha untuk tetap berhusnuzhan dan yakin pada segala ketentuan Allah. Karenanya ia tetap berdoa dan berharap pada Rabb yang Maha Berencana.

“Innama’al usri yusro. Sesungguhnya bersama kesulitanada kemudahan,” ujar Syifa meyakinkan hatinya sambil terus melajukan motornya.