Jumat, 15 Juli 2011

~~ DI LANGIT ASA ~~ (PART 3)

Hening… teramat hening. Begitu heningnya hingga Syifa merasakan betapa nikmatnya bermunajat pada Rabb-nya di sepertiga malam yang terakhir. Ada kesejukan bersama air wudhu yang menyentuh kulitnya. Ada kedamaian manakala ayat-ayat Allah terlantun dari bibirnya. Ada kebahagiaan manakala ia bersua dengan Tuhan yang telah menciptakannya. Semua kenikmatan itu, tak dapat dibayarkan dengan apa pun juga. Kenikmatan yang hanya dapat dirasakan hamba-hamba-Nya yang ikhlas bersujud pada-Nya. Karena sesungguhnya puncak kenikmatan bagi orang-orang baik dan saleh adalah bisa berkomunikasi dan mencurahkan isi hatinya dengan bercerita kepada sang Khalik di tengah malam. Di sanalah rahmat Allah akan datang bagi orang-orang yang melakukan shalat di malam hari. Allah menghiasi perhiasan kecintaan kepada orang-orang yang ruku, sujud, dan bersimpuh di haribaan-Nya dengan bangun dan shalat di sepertiga malam yang agung.

Syifa melipat mukenahnya. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum azan subuh memanggil. Ia beranjak ke meja komputernya. Ia menyalakan komputer miliknya. Dibukanya sebuah file berjudul CV. Dibacanya sejenak file yang berisi semua data pribadinya itu. Setelah merasa cukup, Syifa mengeprint file itu diiiringi basmalah yang meluncur dari bibirnya.

“Bismillah…..”

Dalam waktu beberapa menit, data pribadinya telah tercetak rapih dalam dua lembar kertas berukuran A4. Syifa mengambil hasil print out data pribadinya itu dan membacanya sekali lagi dengan seksama. Senandung doa pun terlantun lirih dari bibirnya seraya menggantungkan segenap asa di dalam hatinya pada Rabb yang Maha Pengasih.

“Bismillah…
Terucap dari lubuk hati yang terdalam
Kidung doa pun terurai
Di heningnya pagi
Kala subuh belum lagi menyapa
Ya Rabbana…..
Izinkanlah lembaran kertas ini sampai di tangannya
Perkenankanlah goresan tinta ini dibacanya
Oleh seseorang yang telah Kau pilihkan untukku
Seseorang yang hatinya Kau tambatkan padaku
Seseorang yang kan menemani perjuanganku
Seseorang yang ikhlaskan dirinya untuk hidup denganku
Seseorang yang bersedia menuntunku dalam titian syariat-Mu
Seseorang yang akan membuatkan aku rumah di dunia dan di surga-Mu
Ya Rabbana…..
Jangan biarkan aku sendiri di dunia ini
Sungguh ku rindukan ketrentaman itu
Sungguh ku ingin sempurnakan separuh dien-Mu
Maka,
Pertemukanlah aku dengannya
Ikatkanlah aku dengannya
Amin...”

Setelah memanjatkan doa, Syifa pun melipat lembaran data pribadinya dan memasukkannya ke dalam sebuah amplop berukuran sedang. Entah ini yang ke berapa kalinya Syifa membuat biodata, memasukkannya ke dalam amplop untuk kemudian diproses untuk ta’aruf. Namun belum ada yang membuahkan hasil. Ia hanya trus berusaha dan berusaha tanpa ingin berputus asa. Ia percaya Allah telah mempersiapkan seseorang untuknya melayari kehidupannya. Ia percaya pada janji Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 26 :

”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik(pula).”

Ya! Syifa percaya itu. Sangat percaya! Karenanya Syifa tidak ingin berputus asa. Syifa justru semakin terpacu untuk memperbaiki dan mempersiapkan dirinya sebaik mungkin seraya terus berdoa agar Allah mempertemukannya dengan jodoh yang telah dituliskan di Lauhul Mahfudz. Di langit asanya,Syifa menggantungkan segenap harapnya pada sang Rabb, Pencipta seluruh alam.


*****


Lembayung senja merah merona menghiasi langit yang terlihat cerah di antara awan putih yang berarak. Sementara, matahari yang hendak pulang ke peraduannya, terlihat bulat memancarkan cahaya kemerahan di ufuk barat. Sebuah lukisan alam yang tersaji dengan teramat indahnya. Lukisan maha karya yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta, yang tidak ada satu makhluk pun yang dapat menyamai hasil karya ciptaan-Nya.

Dari atas sepeda motornya, Syifa tersenyum menatap lukisan alam di hadapannya. Wajahnya terlihat begitu cerah. Secerah hatinya senja itu. Secerah langit di hadapannya sore itu. Syifa pun berpuisi riang.

“Hari mengantarkan senja
Langit cerah merona kemerahan
Begitu terang bercahaya
Ku lajukan sahabat perjuanganku perlahan
Tuk menikmati indahnya senja yang terlukis di depan mata
Ada untaian asa di balik langit senja yang memerah di sana
Saat senja berganti malam
Dan mentari kembali ke peraduannya
Sesungguhnya,
Ada cahaya baru yang benderang
Ada cahaya baru yang kan menjelang
Setelah malam itu berlalu
Setelah kelam itu pergi
Karena itu,
Tak perlu berduka saat senja berganti malam
Tak perlu bersedih saat cahaya mentari menghilang di balik awan
Karena esok kan kau temui sebuah hari baru yang bercahaya
Cahaya indah yang memancarkan seberkas asa
Cahaya penerang bagi hidupmu
Yang kan menyinari setiap jalan yang kau lalui”

Begitu asyiknya menikmati lukisan senja di hadapannya, Syifa baru tersadar kalau ia telah sampai di tempat yang ditujunya. Hampir saja Syifa melewatinya. Ia pun segera menepikan motornya.

“Sendirian aja, Fa,” sapa Retno yang baru saja keluar dari dalam tepat ketika Syifa memarkir motornya.

Syifa tersenyum menyambut sapaan Retno.

“Iya, mbak,” ujarnya seraya menghampiri Retno. “Assalamu’alaikum,” salamnya sambil merangkul Retno.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Retno cepat.

“Sehat, mbak?.”

“Alhamdulillah,” Retno balas tersenyum. “Langsung ke dalam aja, yuk,” ajaknya kemudian sambil membuka pintu.

Syifa hanya mengangguk dan mengikuti Retno di belakang. Diam-diam ia menyimpan rasa penasaran dan berjuta pertanyaan mengapa Retno memintanya untuk datang sore itu. Saat di telefon tadi siang, sepertinya ada sesuatu yang sangat penting hingga Syifa harus datang sore itu juga. Sebenarnya hari itu jadwal Syifa sangat padat. Tapi untunglah ada sebuah agenda yang tiba-tiba dicancel sehingga Syifa bisa datang sore itu juga.

“Ada apa, mbak? Sampai-sampai mbak meminta aku datang. Sepertinya gak bisa disampaikan lewat sms atau telepon saja,” tanya Syifa yang penasaran sehingga tidak ingin berbasa-basi lagi.

Retno tersenyum. Ia paham mengapa Syifa langsung to the point begitu saja.

“Sebenarnya bisa saja dibicarakan di telepon. Hanya saja, rasanya lebih nyaman kalau menyampaikan langsung sama kamu, Fa,” jawab Retno.

“Oh..”

“Begini, Fa. Waktu kemarin mbak minta data kamu, sebenarnya memang ada ikhwan yang berniat untuk menikah. Dia binaan teman mbak,” Retno memulai penjelasannya.

Mendengar ungkapan Retno tersebut, bunga-bunga harapan di hati Syifa mulai bermekaran.

“Lantas?.”

“Mbak dan teman mbak itu sudah memproses data kamu dan ikhwan tersebut.”

“Lantas?.”

“Ikhwan tersebut sudah melihat data kamu dan bersedia ta’aruf.”

“Sungguh, mbak?,” Syifa pun mulai menaruh harap.

Retno menganggguk cepat.

“Tapi…”

“Tapi apa,mbak?.”

“Tapi kemarin teman mbak memberi tahu kalau ikhwan tersebut membatalkan niatnya untuk berproses dengan kamu, Fa,” jawab Retno dengan nada yang suara yang menurun.

“Membatalkan? Begitu saja? Apa alasannya, mbak?.”

“Ikhwan itu beralasan kalau usianya jauh lebih muda dari usia kamu. Ia tidak ingin memiliki istri yang usianya lebih tua darinya karena ia pasti akan merasa sungkan dan tidak enak memimpin seorang wanita yang usianya berada di atasnya. Selain itu, ia merasa ilmu yang dimilikinya masih sangat sedikit dibandingkan dengan kamu, Fa. Apalagi mengingat usia tarbiyah kamu yang jauh lebih lama dari dirinya. Begitu katanya,” papar Retno menjelaskan.

“Jadi begitu ya, Mbak?,” sahut Syifa menanggapi dengan suara yang tidak lagi bersemangat seperti sebelumnya.

“Afwan ya. Mbak belum bisa membantu kamu,” ujar Retno kemudian.

“Gak apa-apa, mbak. Aku ngerti kok. Kebanyakan ikhwan memang mencari akhwat yang seusia atau tidak lebih tua darinya,” Syifa berusaha melapangkan hatinya yang sedikit kecewa. “Kalau boleh tahu memang berapa usianya?.”

“24 tahun,” jawab Retno cepat.

“Hm… hampir 6 tahun di bawahku. Jelas saja, Mbak.”

“Tapi Fa, bukankah Rasulullah sendiri 15 tahun lebih muda ketika menikahi bunda Khadijah?! Dan saat itu bunda Khadijah adalah saudagar kaya raya, sedangkan Rasulullah hanya seorang pemuda yang membantunya berdagang?! Perbedaan itu toh tidak membuat beliau tidak bahagia dalam pernikahannya. Tidak lantas membuat beliau diremehkan sebagai seorang suami.”

“Itu kan Rasulullah, Mbak. Ikhwan itu hanya manusia biasa. Dan itu semua fitrah, mbak.”

“Tapi kalau saja dia mau meneladani Rasulullah, mungkin dia akan mendapatkan banyak keutamaan dari pernikahannya,” sahut Retno.

“Astaghfirullahal’adzim…. Mbak, kenapa jadi berandai-andai begitu?! Sudahlah. Apa pun alasannya, ini semua sudah kehendak Allah, Mbak. Sudah menjadi bagian dari rencana-Nya,” Syifa mengingatkan Retno. “Kita harus tetap berhusnuzhan. Mungkin saja memang bukan dia jodoh yang Allah takdirkan buat aku. Mungkin Allah sudah mempersiapkan seseorang yang lebih baik darinya,” sambung Syifa.

“Astaghfirullahal’adzim. Kamu bener, Fa. Afwan ya, mbak agak kesal habisnya. Bukankah Rasulullah mengatakan kalau wanita dinikahi karena 4 hal, yaitu kecantikannya, kekayaannya, keturunannya dan agamanya. Pilihlah agamanya maka engkau akan beruntung. Tapi ikhwan itu malah mundur, bukannya maju terus,” Retno sedikit menggerutu.

Syifa tersenyum mendengarnya.

“Mungkin ikhwan itu punya pertimbangan lain,” sahut Syifa yang berusaha tetap berhusnuzhan meski sebenarnya hatinya sangat kecewa. “Sudahlah,Mbak. Jangan diperpanjang lagi. Kita sudah berusaha, selanjutnya tugas kita adalah bertawakal pada Allah,” lanjut Syifa.

“Iya, Fa. Afwan ya mbak belum bisa bantu kamu.”

“Memang belum waktunya mungkin, Mbak,” Syifa lagi-lagi tersenyum.

“Jangan putus asa ya. Teruslah berikhtiar. Mbak juga akan mendoakan kamu terus,” ujar Retno lagi.

“Insya Allah,Mbak. Terima kasih mbak sudah begitu perhatian sama aku sampai berusaha membantu aku. Terima kasih banyak, mbak,” Syifa menatap mata Retno dalam-dalam. Ada cinta yang begitu besar di sana untuknya. Cinta yang begitu hangat dan tulus dari seorang kakak untuk seorang adik.

“Ya tapi belum membuahkan hasil.”

Syifa menggenggam erat tangan Retno.

“Itu juga sudah cukup, mbak,” Syifa tersenyum hangat. Ia pun lantas berpamitan pada Retno untuk pulang. Apalagi waktu hampir menjelang Maghrib.

Di perjalanan pulang ke rumahnya, Syifa melajukan perlahan motor bebeknya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Ada kecewa yang menghimpit sesak dadanya. Entah sudah ke berapa kalinya lagi-lagi ia batal berproses. Padahal hatinya telah sangat merindu akan nikmatnya sebuah pernikahan.

“Ya Rabb, kesalahan apa yang telah ku perbuat hingga aku begitu sulit menemukan jodohku? Berilah aku petunjuk-Mu agar aku bisa memperbaikinya,” bisiknya lirih seraya berusaha bermuhasabah.

Meski ada kecewa yang menghimpit, Syifa berusaha untuk tetap berhusnuzhan dan yakin pada segala ketentuan Allah. Karenanya ia tetap berdoa dan berharap pada Rabb yang Maha Berencana.

“Innama’al usri yusro. Sesungguhnya bersama kesulitanada kemudahan,” ujar Syifa meyakinkan hatinya sambil terus melajukan motornya.

0 komentar:

Posting Komentar