Jumat, 15 Juli 2011

### DI LANGIT ASA (Part VI) ###


Hari menjelang Maghrib. Syifa baru saja tiba di rumahnya setelah beraktivitas selama seharian. Ia langsung menyambar komputernya begitu masuk ke dalam kamarnya. Ia sudah tidak sabar lagi untuk membuka e-mailnya sejak mendapatkan sms dari Eggi siang tadi. Rasanya ia sudah tidak dapat menahan lagi rasa penasarannya terhadap ikhwan yang hendak dita’arufkan Eggi dengannya. Maka, begitu Syifa tiba di rumah, ia pun langsung menghidupkan komputernya dan membuka e-mailnya.

Benar saja! Seperti yang dikatakan Eggi, data beserta foto ikhwan tersebut memang sudah dikirimkan Eggi ke alamat e-mailnya. Syifa membacanya sejenak. Biodatanya begitu singkat dan sederhana. Kata-kata pembuka dan penutupnya pun begitu sederhana. Sesederhana namanya yang penuh makna, Muhammad Fikri. Usianya hanya terpaut 3 bulan dengan Syifa. Ia merupakan karyawan pabrik sebuah perusahaan elektronik ternama. Lulusan SMU dan saat ini sedang kuliah S1 teknik elektro. Ikhwan itu anak keempat dari 5 bersaudara.

Tak terlalu banyak keterangan yang diperoleh Syifa karena begitu singkatnya biodata ikhwan tersebut. Namun bagian akhir biodata sederhana itu sangat menarik perhatian Syifa. ikhwan itu menuliskan sebaris ayat pertama dari surat Al-Qalam :

Nun. Wal qalami wamaa yasthurun.

Syifa tertegun membacanya. Ia tahu persis arti dari ayat itu, ‘Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.’ Sekian kali ta’aruf, baru kali ini Syifa mendapatkan biodata yang sederhana & mencantumkan sebuah ayat yang sangat disukainya. Berbagai pertanyaan pun hinggap di kepala Syifa. Begitu perhatiankah ikhwan itu pada kegemarannya? Begitu dalamkah pemahaman ikhwan itu terhadap agamanya hingga ia tahu sebuah ayat dimana Allah bersumpah demi pena?! Dan… masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membuat Syifa semakin penasaran dengan jawabannya. Syifa pun mengakui kalau biodata sederhana itu sangat memikat hatinya dan membuatnya ingin tahu seperti apa sebenarnya ikhwan itu.

Syifa menurunkan tampilan layar komputernya hingga tampaklah wajah Muhammad Fikri yang membuatnya penasaran itu. Syifa memperhatikan foto itu sesaat. Tak ada yang menarik dari penampilan ikhwan itu. Ia terlihat sederhana seperti biodata yang dibuatnya. Wajahnya bulat putih dan terlihat dewasa. Akankah Syifa melanjutkan proses ta’aruf dengan ikhwan itu? Syifa belum bisa menjawabnya. Ia harus istikharah terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan yang terbaik.

"Ku pInang engkau dengan Al-Qur'an....," Suara merdu milik Gradasi yang menembangkan Ku Pinang Dengan Al-Qur’an kembali terdengar dari ponsel Syifa dan membuyarkan perhatian Syifa dari layar komputer.

“Pasti Eggi,” pikir Syifa seraya merogoh ke dalam tasnya. Setelah mendapatkan ponselnya, Syifa melihat layar ponselnya, ternyata Rahma, sahabat Syifa yang dahulu pernah mengaji bersama dengannya.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, Fa?,” jawab Rahma di seberang telepon.

“Khair Alhamdulillah. Ada apa, Ma? Gak biasanya telfon.”

“Hehe..iya nih. Aku ada perlu sedikit sama kamu."

“Perlu apa?,” Syifa penasaran mendengarnya.

“Begini, Fa. Aku punya sepupu ikhwan yang seusia sama kamu. Namanya Firdaus. Dia lulusan sarjana informatika dan sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah, PNS pula. Orangnya pendiam seperti kamu, akhlaknya baik, bacaan al-qur’annya bagus, hafalannya lumayan dan dia sedang mencari akhwat yang siap menikah. Kalau kamu belum ada calon, aku ingin menta’arufkan kamu sama sepupuku itu,” ujar Rahma langsung menjelaskan maksudnya menghubungi Syifa.
Syifa menarik napas.

“Kalau calon, terus terang aku memang belum punya.”

“Alhamdulillah.”

“Tapi, Ma. Aku baru saja memulai proses dengan seorang ikhwan.”

“Sejauh mana?.”

“Baru saling tukar CV aja. Bertemu pun belum.”

“Berarti masih ada kesempatan donk. Toh kamu belum dikhitbah dan belum ada kesepakatan apa-apa.”

“Yaa…memang belum sih.”

“Ya sudah, kalau begitu nanti aku kirimkan data dan fotonya besok ke e-mail kamu. Ya, sebagai bahan pertimbangan gak apa-apa kan. Kamu istikharah ja minta petunjuk Allah pilihan yang terbaik. Oke?!.”

”Baiklah, aku tunggu CV-nya. Setelah mantap dan yakin, insya Allah nanti aku kabari,” Syifa akhirnya menyetujui juga.

“Oke! Insya Allah segera aku kirimkan CV-nya. Wassalamu’alaikum,” sahut Rahma dengan nada riang.

Syifa menghela napas. Kali ini ia harus menghadapi 2 pilihan yang sangat sulit dan sama sekali tidak tahu mana yang lebih baik untuknya. Kedua ikhwan itu sama-sama belum dikenalnya. Ia sama sekali tidak tahu seperti apa kedua ikhwan tersebut. Syifa sungguh tidak mengerti harus memilih yang mana. Sepupu Rahma yang sudah PNS dan sarjana, ataukah Fikri yang hanya seorang karyawan pabrik. Syifa sungguh-sungguh tidak tahu.

“Ya, Rabb… berilah hamba petunjuk-Mu mana yang terbaik bagi hamba dari keduanya sehingga hamba tidak salah memilih. Amin…,” do’a Syifadi dalam hati.
Sayup-sayup suara azan Maghrib terdengar dari pengeras suara masjid dan mushola-mushola yang berada di lingkungan tempat tinggal Syifa. memanggil insan-insan yang beriman untuk menghadap Rabb yang telah menciptakannya dalam khusyuknya shalat.


*****



Ahad pagi yang cerah. Secerah penampilan Syifa siang itu dengan gamis kuning bermotif kotak-kotak berwarna biru langit yang berpadu dengan jilbab kuning muda. Wajahnya pun terlihat begitu cerah meski ia merasa tidak ada yang membuatnya merasa sangat gembira hari itu. Hatinya justru sedang berdebar-debar tak karuan tanpa bisa dikendalikannya. Padahal ini bukanlah pertama kalinya Syifa hendak ta’aruf dengan seorang ikhwan. Tapi itulah yang terjadi setiap kali ta’aruf, hatinya selalu saja berdebar tidak karuan.

Syifa menarik nafas dalam-dalam seraya berusaha menata hati dan mengendalikan debar-debar yang dirasakannya. Ummi Zakky yang diam-diam memperhatikan Syifa, tersenyum melihat tingkah Syifa. Bukan sekali ini murabbiyahnya itu melihat Syifa seperti itu. Sejak sang murabbinya pertama kali menta’arufkan Syifa, sejak itu pula ia selalu melihat Syifa seperti itu. Dan …. lagi dan lagi, murabbiyahnya itu hanya tersenyum melihatnya. Karena semua itu adalah fitrah setiap manusia yang memiliki akal dan perasaan.

Syifa kembali menarik nafas. Angannya melayang jauh pada foto ikhwan yang akan ta’aruf dengannya hari itu. Foto yang dikirimkan beserta CV ke alamat e-mailnya seminggu yang lalu. Entah seperti apa wajah asli ikhwan itu. Akankah sama persis seperti yang ada di foto, bulat putih dan terlihat dewasa, ataukah ternyata jauh berbeda dengan yang tergambarkan di foto. Syifa sungguh penasaran karenanya.

Muhammad Fikri. Akhirnya Syifa memilih untuk berta’aruf dengan sahabat baik Eggi itu dari pada Firdaus, sepupu Rahma yang PNS. Entah apa yang membuat Syifa lebih mantap untuk berta’aruf dengannya. Yang ia tahu, kalau hatinya lebih yakin untuk berta’aruf dengannya. Syifa terus berdoa dan berharap semoga pilihannya adalah yang terbaik untuknya.

Usia Fikri 6 tahun di atas Eggi. Karena itu Eggi sudah menganggapnya seperti kakak sendiri. Entah apa yang membuat ikhwan itu bersedia ta’aruf dengan Syifa hingga bersedia jauh-jauh datang dari kota hujan, Bogor ke kota Patriot, Bekasi. Padahal Syifa dan Eggi belum lama kenal dan kenal pun hanya dari jauh. Jangankan mengenal persis pribadi masing-masing, bertemu langsung pun mereka belum pernah. Selain itu, kota Bogor dengan IPB-nya yang terkenal, menyimpan begitu banyak akhwat-akhwat aktivis dakwah yang luar biasa. Sungguh, Syifa tak habis pikir karenanya. Ia hanya berharap itu semua adalah sebuah tanda bahwa ikhwan itu memang jodohnya. Bukankah tak ada hal yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak?!!

Dan kini, baik Eggi maupun Fikri benar-benar berada di hadapan Syifa. Mereka duduk berjejer tepat di hadapan Syifa. Di sebelah kiri Fikri, duduk seorang laki-laki yang usianya terlihat lebih tua beberapa tahun di atas mereka. Laki-laki itu tidak lain adalah murabbi Fikri.

“Subhanallah…. Mereka benar-benar datang,” gumam Syifa pelan, nyaris tidak terdengar. Ia segera membenamkan wajahnya dalam-dalam sambil terus berusaha menghilangkan geroginya agar tak terlihat salah tingkah di hadapan mereka. “Bismillah…. Ya Allah, jika memang ia jodohku, mantapkanlah hatiku dan mudahkanlah segalanya. Namun jika bukan, lapangkanlah hatiku agar bisa menerima segala ketetapan-Mu dengan ikhlas,” doa Syifa dalam hati.

Tanpa banyak basa-basi, suami Ummi Zakky yang merupakan pemilik rumah tempat ta’aruf itu dilaksanakan segera membuka dan memimpin acara hari itu. Acara dimulai dengan perkenalan antar kedua murabbi, yaitu Ummi Zakky dan murabbi Fikri. Eggi juga tidak ketinggalan memperkenalkan dirinya pada Ummi Zakky mengingat dialah yang sejak awal berperan menjodohkan Fikri dan Syifa.
Setelah saling berkenalan, acara inti pun dimulai. Fikri sebagai tamu, lebih dahulu memperkenalkan dirinya dan menjelaskan kondisi dirinya dan keluarganya. Tak ketinggalan pula ia menjelaskan mengenai tujuannya menikah beserta semua visi misi dan harapan-harapan yang ingin diwujudkannya dalam sebuah pernikahan.
Fikri terlihat begitu santai. Bahkan sesekali candaan kecil meluncur dari mulutnya sehingga membuat suasana tidak terlihat kaku dan sangat formil. Emosinya tampak sangat terkontrol dan dapat menguasai keadaan. Mungkin karena usianya yang sudah cukup matang dan usia tarbiyahnya yang sudah cukup lama. Jauh berbeda dengan Syifa yang sejak awal kedatangan Fikri tadi sudah sangat tegang. Sehingga ia pun tak dapat berkata banyak dan tampak begitu kaku meski terkadang ia ikut tersenyum manakala Fikri berusaha mencairkan suasana dan ketegangan yang dirasakannya.

Seperti biasa, Ummi Zakky mengingatkan keduanya akan semua konsekuensi yang harus dijalani setelah pernikahan, seperti tinggal mengikuti suami dan memiliki anak. Ia meminta Syifa dan Fikri membicarakannya agar nantinya mereka sama-sama tahu dan lebih mantap dalam mengambil keputusan langkah berikutnya.

Tepat saat azan Zuhur berkumandang, ta’aruf hari itu pun selesai. Tinggal memutuskan langkah selanjutnya, apakah proses ta’aruf tersebut akan diteruskan hingga ke pelaminan, ataukah cukup hanya sampai di situ. Keduanya bergantung pada keputusan serta kemantapan hati Syifa dan Fikri.

Suami Ummi Zakky yang menjadi pembawa acara hari itu, menunda sejenak acara untuk memenuhi panggilan azan yang telah berkumandang. Ia mengajak Eggi, Fikri beserta murabbinya untuk menunaikan shalat berjama’ah di masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah Ummi Zakky. Sedangkan Ummi Zakky dan Syifa shalat berjama’ah di rumah.

Ahad siang itu, kembali …. harapan-harapan Syifa beterbangan ke langit bersama untaian doa-doa yang dipanjatkan dalam setiap sujud-sujudnya. Harapan dan doa-doa yang terus beterbangan tinggi menembus lapisan demi lapisan langit hingga ke ‘arsy, di mana Rabb-nya berada. Seraya terus berharap Sang Rabb akan mengabulkan pintanya, mengabulkan segenap doa-doanya.
Usai menunaikan shalat Zuhur, Syifa melaksanakan shalat istikharah 2 raka’at untuk meminta petunjuk dan kemantapan hati apa yang harus diputuskannya nanti. Begitu pula dengan Fikri. Di masjid ia juga melaksanakan shalat istikharah dan berdoa memohon petunjuk Allah. Mereka berdua sadar betul kalau jodoh merupakan rahasia Illahi Rabbi. Dan hanya Allah yang memutuskan segala sesuatu di bumi ini. Hanya Allah yang Maha Berencana. Hanya Allah pula yang Maha Tahu mana yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Suami Ummi Zakky kembali membuka acara setelah tadi sempat ditunda selama hampir setengah jam karena masuk waktu Zuhur. Setelah mereka semua menunaikan shalat Zuhur dan berkumpul lagi, barulah acara dimulai kembali. Suami Ummi Zakky memberikan sedikit tausiyahnya pada Syifa dan Fikri terlebih dahulu sebelum mendengar keputusan Syifa dan Fikri akan kelanjutan proses yang mereka jalani hari itu.

Selesai suami Ummi Zakky bertausiyah, barulah Syifa dan Fikri diminta menyatakan keputusan mereka masing-masing. Syifa diminta mengutarakan keputusannya terlebih dahulu. Wajahnya terlihat lebih fresh seusai shalat. Sikapnya pun tampak lebih tenang dan rileks kali ini meski debar-debar di hatinya belum kunjung menghilang juga.

Syifa tertunduk sesaat dan terdiam. Ia sadar segenap perhatian kini tertuju padanya. Namun ia berusaha tetap tenang seraya menyusun baris-baris kalimat yang akan disampaikannya nanti.

Beberapa menit kemudian, baru terdengar baris suara lembut Syifa dari bibirnya.

“Bismillahirrahmanirrahim… Rabbi shrahli shadri wayassirli amri wahlul uqdatan millisani yafqahu qauli. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesempatan berta’aruf dengan akhi Fikri hari ini dalam rangka berproses secara syar’i demi untuk menunaikan sunnah Rasulullah dan menggenapkan separuh agama ini. Setelah istikharah ba’da shalat Zuhur tadi, insya Allah ana yakin dan mantap untuk melanjutkan proses ta’aruf ini ke proses selanjutnya dan membina sebuah keluarga yang samara dengan akhi Fikri,” ucap Syifa penuh kemantapan.

“Namun kelanjutan proses ini, bukan hanya pada keputusan ana semata. Keputusan selanjutnya ana serahkan pada akhi Fikri. Apa pun keputusannya, insya Allah ana siap menerimanya dengan kelapangan hati,” lanjut Syifa tawakal.

Selesai Syifa menyampaikan keputusannya, giliran Fikri yang berganti menyatakan keputusannya pada seluruh hadirin.

“Bismillahirrahmanirrahim…,” Fikri mulai berbicara.

Ia diam sejenak dan menarik nafas. Membuat Syifa yang menanti kata-kata yang hendak keluar dari mulut Fikri, semakin tegang dan berdebar-debar karenanya.

“Ana pun sudah istikharah ba’da shalat Zuhur tadi untuk meminta petunjuk Allah agar tidak salah melangkah dan mengambil keputusan,” ujar Fikri kemudian. “Apa pun hasilnya nanti, semoga itu yang terbaik dan semoga dapat diterima dengan penuh keikhlasan,” sambung Fikri tidak langsung mengutarakan keputusannya.
Fikri kembali menarik nafas.

“Insya Allah, ana yakin dan mantap sekali untuk melanjutkan proses dengan ukhti Syifa hingga ke pelaminan. Bahkan melanjutkannya hingga ke surga Allah yang abadi,” ucap Fikri yang disambut dengan ucapan hamdalah dan senyuman oleh Syifa dan seluruh hadirin yang mendengarkannya.

“Insya Allah, 2 minggu lagi ana akan datang pada orang tua ukhti Syifa untuk meminang agar walimah bisa segera dilaksanakan. Semoga ukhti bersedia.”

Syifa tersenyum. Kali ini ia benar-benar bisa tenang dan santai dari sebelumnya. Hatinya pun terasa lega meski masih tetap berdebar-debar. Namun kali ini debar-debar yang dirasakannya berbeda dari sebelumnya. Kali ini ia berdebar-debar memberikan jawaban pada Fikri karena begitu bahagianya.

“Insya Allah bersedia,” jawab Syifa tanpa ragu.

“Alhamdulillah,” sahut Fikri dan yang lainnya.

Hari ahad siang itu, sungguh sebuah hari yang sangat indah bagi Syifa. Ia tiada henti-hentinya bersyukur pada Sang Illahi yang telah membuka sebuah jalan yang sungguh sangat di luar dugannya. Setelah sekian lama menanti, setelah beberapa kali berta’aruf, seorang sahabat yang belum pernah bertatap muka dengannya, membawakan seorang ikhwan jauh dari kota hujan, yang akhirnya memberikan kesejukan pada hatinya yang telah gelisah menanti.

“Alhamdulillah… segala puji hanya pada-Mu ya Rabb, ya Rahman, ya Rahim. Sungguh hanya Engkau yang Maha Berencana. Ya Rabb, mudahkanlah segala urusan kami, mekarkanlah bunga-bunga cinta di hati kami, sampaikanlah kami dalam indahnya sebuah pernikahan, izinkanlah kami bersama-sama mengarungi samudra kehidupan ini, tak terpisahkan hingga ke surga-Mu kelak. Ya Rabb, hanya pada-Mu kami panjatkan segala doa kami, hanya pada-Mu kami gantungkan segenap asa kami. Ya Rabb, yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Engkaulah sebaik-baik penolong. Kabulkanlah permohonan-permohonan kami. Amin allahumma amin…,” doa Syifa dalam hatinya diiringi gerimis yang turun dari kelopak matanya.


*****
TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar