Rabu, 27 April 2011

Sains, Qur’an dan Kesenjangan

Mereka pemuda necis, duduk di sebuah kafe dengan arsitektur postmodernisme. Music jazz berdegup anggun sementara sajian kopi dari mesin blender otomatis mencemari udara dengan bau harum pegunungan. Masing-masing pemuda itu terpekur di depan laptop yang terhubung lewat akses point gelombang radio, menuju internet global. Di luar mereka, di bawah tanah mungkin sedang menderu mesin kereta subway menembus berbagai tempat dengan kecepatan yang tak pernah terpikir oleh manusia abad pertengahan.

Itulah dunia kita saat ini. Ia telah bergeser dari keterbatasan menjadi kelapangan. Berbagai penemuan dan loncatan pemikiran yang hadir berulang setiap hari membuat hidup manusia menjadi semakin mudah. Semua itu tidak bisa terlepas dari pergulatan dalam diri manusia yang kemudian hadir sebagai ilmu – ilmu pengetahuan, sains, mengawali jawaban manusia terhadap pertanyaan sekaligus misteri alam.

Rasa ingin tahu akan sebab-sebab – begitu kata William Hazlit, yang berujung pada pemahaman, membawa manusia untuk memuaskan kehendaknya; mengatur alam. Manusia bisa mengenal dan kemudian mengendalikan alam dengan sains, ialah yang merubah wajah dunia menjadi begitu maju seperti saat ini. 

Setidaknya, kemajuan itulah yang dipercayai manusia. Karena kemajuan sains adalah kemajuan seluruh langkah hidup manusia, yang tampak maupun tidak. Edison yang menemukan lampu dan menjadikan dunia malam terang benderang, mungkin tak sadar bahwa ia juga telah merubah struktur sosial dan interaksi manusia di malam hari.

James Watt yang menemukan mesin uap juga mungkin bermimpi bahwa ia telah mendefinisikan kembali arti buruh dan merintis revolusi industri. Begitu pula Neils Bohr, dan para pemikir fisika abad ke-20, mungkin tak terpikir untuk memberi sumbangan pada apa yang dinamakan perang dingin dan sentimen senjata nuklir di abad ke-21. Sains menentukan kemajuan tidak hanya pada sisi teknologi dan ekonomi – yang memang sangat berpokok padanya, namun juga kepada segala cabang kebudayaan manusia. 

Dari hukum sampai ke seni, dari kehidupan kekeluargaan sampai cara menjalankan agama, dari kedudukan perempuan sampai ke politik internasional, dari pendidikan sampai ke perawatan kesehatan jasmani rohani, manusia sangat terpengaruh sains, karena ia membawa apa yang dinamakan dengan kemajuan. 

Kemajuan itu, yang dapat disetir melalui sains, yang kemudian mengarah kepada suatu bentuk sistem kehidupan, apakah baik atau buruk. Kemajuan sains yang sejak momentum renaisans Eropa disetir oleh peradaban barat juga telah menyetir peradaban dunia – pada banyak aspek – menuju sebuah arah tertentu. Meskipun ia menamai diri sebagai kemajuan ideal, pada hakikatnya ia tidak dapat kita maknai sebagai kemajuan secara telanjang, karena ia juga membawa antikutub dari kemajuan yang tidak selalu murni dari keberpihakan.

Seperti Palestina yang tak pernah selesai dari konflik, atau Irak, atau Afganistan, yang dikompori oleh gembong besar kemajuan sains, Amerika dan Eropa – juga israel. Apakah kemajuan sains membawa kemajuan kemanusiaan? Kita menjadi bertanya-tanya. Begitu pula kemiskinan, yang banyak melanda negara dunia ketiga, yang ternyata mayoritas adalah negara muslim. Mungkinkah sains dimanfaatkan sebagai pupuk yang menyuburkan ekonomi negara tertentu dan memiskinkan negara tertentu? 

Fakta lain, bahwa sains membawa perubahan pada pola hidup manusia yang jauh dari kemanusiaan adalah hal yang layak diperhatikan. Anak tak lagi asing dengan kekerasan video games, orang dewasa lebih suka pornografi, perang dengan senjata dan teknologi canggih, mungkin adalah bagian kecil dari kompleksitas apa yang dinamakan dengan kemajuan itu – jika tidak ingin menyebutnya dengan efek samping. Belum lagi kengerian dan ketakutan akan perang modern yang merupakan konflik kemanusiaan yang maha dahsyat, berbagai bencana ekologis yang diakibatkan oleh aplikasi sains modern berikut keterasingan manusia dari alam, dan dirinya sendiri yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dan lagi, sains modern juga mencoba mematikan agama, seperti ucapan Oscar Wilde di akhir abad 19 “Science is the record of dead religions”, tampak demikian jelas bahwa memang ada keberpihakan pada pemisahan antara agama dan dunia. Bahwa dengan sains anda tak membutuhkan lagi agama. Sehingga kita patut bertanya tentang ke arah mana sebenarnya sains modern menuju.

Dalam Qur’an, pernyataan tentang arah kemajuan itu telah disinggung sebagai sebuah orientasi materil. Dan bahwa keterangan selenjutnya yang kita dapat adalah: segala yang disandarkan pada materi pasti akan musnah. (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. (10:70).

Menelisik akar filsafatnya, sains modern – begitu pula peradaban barat modern, memang telah lahir dengan perangkat sekulerisme yang tak pernah memberikan peluang sedikitpun pada dunia trans-empirik. Dalam pemahaman paling dasarnya tentang wujud (ontology), pemikiran barat modern jelas membatasi dirinya dengan dunia empiris saja. Baginya, yang tampak dan diserap oleh panca indera itulah yang wujud. Di luar itu tak disebut wujud, tapi ilusi belaka.

Sementara yang ilusi itu pada Islam disebut sebagai kemurnian iman dan hidayah. Dalam Islam, ontologi tidak sekedar yang tampak dan dapat dicerap oleh alam empiris, tapi lebih dari itu. Ada "the ultimate reality" di balik yang empirik ini. Hakekat mutlak mendasari alam zahir. Yang wujud itu tidak sekedar fisik, tapi transfisik atau metafisik. Alam fisik ini hanya pengejewantahan 'af'al sifat-sifat Allah yang metafisik. Oleh karena itu, Allah Swt. Itu absolut, dan alam ini sebaliknya. Allah pencipta dan alam ciptaannya. Allah kekal dan alam tidak kekal.

Dari titik ini, jika pemahaman yang dibangun memang demikian, seharusnya kita melihat pada dunia Islam teknologi dan sains berkembang dengan harmoni. Dan sepertinya kita akan kecewa karena melihat Islam hari ini malah babak belur dihajar sains dan teknologi. Harmoni ilmu pengetahuan itu hanya telah terjadi berabad lalu di struktur geopolitik yang hampir menjamah seluruh dunia: Cina, India, Mesir, Persia, Eropa.

Mengingatnya, hanya akan seperti nostalgia. Sebagaimana dipaparkan selama berabad-abad kegemilangan Islam sejak kurun masa Jabir ibn Hayyan hingga Suhrawardi- berbagai macam sains telah dikembangkan, sementara sains-sains matematika dan fisika dikaji dan ditelaah ditengah-tengah tumpukan sains simbolis dan di bawah prinsip-prinsip metafisika dan kosmologi yang diperoleh dari wahyu Al Qur'an.

Landasan ini, yang menjadikan peradaban Islam – kala itu – kokoh dalam kemajuannya, tidak timpang, dan selalu berorientasi pada kemaslahatan dunia-akhirat.

Sayangnya kali ini tidak lagi. Jika di pertengahan abad 20 Einstein bicara “Science without religion is lame. Religion without science is blind” sesungguhnya ia sedang membicarakan Islam. Islam yang seharusnya mampu membuat integrasi antara rasio dan wahyu menjadi kelahiran budaya yang agung, dan itulah yang diinginkan.

Einstein – dan mungkin juga banyak orang kala itu – khawatir akan suatu bahaya karena kesenjangan agama dan sains, seperti mengatakan bahwa sains dan agama sama-sama dibutuhkan manusia untuk menuju kemajuan yang dimaksud tadi. Kita boleh saja menduga, namun mungkin itu hanya sepenggal mimpi yang tak pernah terwujud jika nyatanya dunia hari ini tidak disetir oleh kemajuan sains Islam, namun oleh sains modern yang empiric holic dan anti wahyu.

Peradaban Islam yang berpusat pada Qur’an, yang bersandar pada ajaran Rasulullah Muhammad yang murni dan membawa ajaran tauhid seperti juga yang diajarkan para rasul pendahulu tidak berada pada poros kerjanya.

Tampaknya seperti yang dibilang Sutan Takdir Alisyahbana, Al Qur’an dan sains saat ini senjang dan berjarak sehingga masing-masing hidup dalam keterasingannya. Sains pada kepuasan kehendak, sementara Qur’an pada mereka dengan keterbatasan dan penindasan akal. Islam – dengan struktur ide dan semangatnya – seharusnya mewarnai kehidupan umat manusia hari ini, bukan.

Mungkin itu pula yang ada di benak anda, atau siapapun yang juga berfikir demikian. Tapi itu hanya menjadi nostalgia jika tidak ada langkah untuk mengkonduksi keduanya. Menjadi pertanyaan adalah apakah Islam sudah kembali menjamah ilmu pengetahuan untuk dieksploitasi dan dielaborasi sehingga terjadi titik equilibrium antara keimanan dengan realita, antara wahyu dengan akal, seperti pada logika awal Islam tentang ontology, tentang kosmologi.

Apakah Islam telah menjadi nafas gerak yang membentuk peradaban ilmu (kembali), yang kemudian melahirkan peradaban yang adil secara rasional maupun spiritual? Inilah pertanyaan kita bersama. Inilah pergulatan abadi manusia, antara pengabdian pada Dzat Yang Hakiki dan keinginan untuk melakukan sesuai kehendak diri sendiri tanpa batas.

Kesenjangan antara sains dan Al Qur’an ini yang menjadi koreksi pada kehidupan keIslaman muslimin hari ini. Euforia sains dan cengkeram kebudayaan barat membuat manusia muslim kehilangan semangat keIslamannya dan menggodam habis ketulusan hati untuk tunduk pada ilahi.

Sehingga kebudayaan sains yang lahir dan peradaban yang dibangun adalah peradaban yang jauh dari nilai keadilan sesuai dengan kebenaran hakiki. Keadilan yang dilahirkan adalah keadilan semu, kemanusiaan yang diwujudkan adalah kemanusiaan komersil, bahkan persahabatan yang tersemat adalah persahabatan pragmatis. Jika sains hari ini menjauh dari Qur’an, jika bangunan Islam yang kokoh dengan keilmuannya hancur lebur, siapakah yang hendak menyelamatkannya?

(eramuslim.com)

0 komentar:

Posting Komentar