Senin, 04 Juli 2011

JANGAN SHOLAT TANPA SUTRAH

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam:
“Janganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak (tetap memaksa ingin lewat, ), perangilah karena bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan berkata Al-Imam Al-Albani t dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, 1/115: “Sanadnya jayyid.”)

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)2

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia, lalu ada seseorang ingin lewat di hadapannya, hendaknya ia menolak/mencegahnya. Bila orang yang hendak lewat itu enggan tetap memaksa untuk lewat maka hendaknya ia memeranginya karena dia itu setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)


Pengertian Sutrah
Sutrah adalah suatu benda yang dijadikan sebagai penghalang atau batas guna mencegah orang yang hendak berlalu-lalang di depannya saat ia sedang shalat.

Benda yang dapat dijadikan sutrah bagi orang yang sedang shalat dapat berupa sesuatu yang ditancapkan (misal tongkat), atau benda dipancangkan (misalkan kursi, botol atau tas), atau benda tidak bergerak (misalnya dinding atau tiang), atau orang yang sedang sholat, tidur atau duduk didepan kita (namun tidak menghadap ke arah orang yang sholat tersebut).

Orang yang memakai sutrah (saat sholat) berarti memberi tempat berlalu bagi orang-orang yang ingin lewat, sehingga mereka tidak harus berhenti menunggu selesainya orang yang shalat tersebut. Dengan adanya sutrah, orang yang ingin lewat bisa melewati daerah bagian belakang sutrah. Sutrah akan menjaga orang yang lewat terhindar dari berbuat dosa.

Orang yang sedang shalat berarti ia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya (dalam jarak dirinya dengan sutrahnya) berarti dapat memutus munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang shalat, ia telah melakukan dosa yang besar. (Al-Mausu’atul Fiqhiyah, 24/178, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939, Taudhihul Ahkam, 2/58)

Hukum Sutrah
Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, antara yang berpendapat wajib dengan yang berpendapat sunnah.

Jumhur ulama berpendapat bahwa wajib hukumnya bagi orang yang sholat untuk menggunakan sutrah sepanjang ia mampu. Artinya bila tidak ada kondisi yang menghalanginya untuk menentukan sutrahnya maka wajib baginya menggunakan suatu benda sebagai sutrah sholatnya.

Asy-Syaukani berkata: “Kebanyakan hadits yang mencakup perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu menunjukkan wajib. Jika didapati suatu dalil yang memalingkan perintah wajib ini kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

“Maka sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya tidak membahayakannya.” Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menjauhi sesuatu yang bisa menghilangkan sebagian pahalanya.

Di antara hal yang menguatkan wajibnya membuat sutrah:
“Sesungguhnya sutrah itu sebab yang syar’i, yang dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita yang baligh, keledai atau anjing hitam, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat dihadapannya serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.

Oleh karena itu, salafus shalih -semoga Allah meridhai mereka- sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Sehingga datanglah perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan, bahwa mereka sangat gigih dalam mendorong menegakkan sutrah dan memerintahkannya serta mengingkari orang yang shalat yang tidak menghadap kepada sutrah, sebagaimana yang akan engkau lihat.

Dari Qurrah bin ‘Iyas, dia berkata: “‘Umar telah melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata: “Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya.”"

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Dengan itu ‘Umar menginginkan agar dia shalat menghadap ke sutrah.”[9]

Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: “Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah dia shalat menghadap ke sutrah dan mendekatinya, supaya syetan tidak lewat di depannya.”[10]

Ibnu Mas’ud berkata: “Empat perkara dari perkara yang sia-sia: “Seseorang shalat tidak menghadap ke sutrah… atau dia mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban.”

Orang yang meletakkan sutrah atau menjadikan sesuatu yang ada di hadapannya sebagai sutrah, harus mendekat dengan sutrahnya tersebut agar setan tidak mengganggu shalatnya. Sebagaimana hal ini diperintahkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam:

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)2

Yang dimaksud dengan “agar setan tidak memutus shalatnya” adalah agar setan tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan menguasainya dalam shalatnya.

Kata Asy-Syaikh ‘Ali Al-Qari t, “Diambil faedah dari hadits ini bahwa sutrah dapat mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang shalat dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh shalatnya dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian shalatnya. Semuanya tergantung kejujuran orang yang shalat tersebut serta bagaimana penghadapan hatinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam shalatnya. Sementara, tidak memakai sutrah akan memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang sedang dihadapinya berupa perasaan khusyuk, tunduk, tadabbur Al-Qur`an, dan dzikir.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, 1/115)

Besarnya Dosa Melewati di Hadapan Orang Shalat
Abu Juhaim ibnul Harits z berkata, “Rasulullah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda:

“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat (dalam jarak yang dekat dengan orang yang shalat, pent.) mengetahui apa yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132)

Hadits ini menunjukkan haramnya lewat di hadapan orang yang shalat dalam jarak yang dekat karena makna hadits ini adalah larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dari perbuatan demikian. Dengan begitu melewati orang yang shalat terhitung dosa besar. (Fathul Bari, 1/757)

Al-Imam Ibnu Hazm t menyatakan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang dibencinya lewat di antara orang shalat dengan sutrahnya dan berdosa siapa yang melakukan perbuatan tersebut. (Maratibul Ijma’ hal 54 )

Dalam hadits di atas kita dapatkan keterangan bahwa dosa yang disebutkan dalam hadits di atas diberikan kepada orang yang tahu adanya larangan lewat di depan orang shalat tapi ia tetap lewat. Dzahir hadits ini juga menunjukkan bahwa ancaman yang disebutkan khusus bagi orang yang lewat, bukan orang yang hanya diam berdiri dengan sengaja di depan orang shalat atau duduk ataupun tidur, akan tetapi bila alasan pelarangan adalah karena mengganggu/mengacaukan konsentrasi orang yang shalat maka sekadar diam di depan orang shalat pun bisa masuk ke dalam makna melewati.

Ulama berselisih pandang tentang jarak yang diharamkan dan dibenci untuk dilewati oleh orang yang ingin lewat bila di hadapan orang yang shalat tanpa ada sutrah. Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah mengatakan, “Haram dilewati antara tempat telapak kaki orang yang shalat sampai ke tempat sujudnya.” Adapun Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat yang diharamkan adalah sejarak tiga hasta dari telapak kaki orang yang shalat. (Al-Fatawal Hindiyah 1/128, Bada`i’ush Shana’i 2/83-84 Taudhihul Ahkam, 2/62)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata, “Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran adalah antara kedua kakinya dan tempat sujudnya, karena seorang yang shalat tidak berhak mendapatkan tempat lebih dari apa yang ia butuhkan dalam shalatnya sehingga ia tidak punya hak menahan orang yang lewat di tempat yang tidak dibutuhkannya. Adapun bila ia meletakkan sutrah maka tidak boleh dilewati antara dia dan sutrahnya. Namun kami katakan, “Bila engkau meletakkan sutrah maka jangan engkau berdiri jauh darinya tapi mendekatlah di mana nantinya sujudmu dekat dengan sutrah tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/709)

Jarak Orang Sholat Dengan Sutrahnya
Jarak dimana seorang yang sholat (sendiri atau sebagai imam) menentukan sutrahnya (berupa dinding atau benda lain) adalah jarak maksimal yang diperlukannya untuk melakukan sujud dengan nyaman dan baik.

Dalam jarak ini orang lain diharamkan untuk melewati dihadapannya saat sholat. Orang yang sedang sholat ini wajib melarang orang lewat dihadapannya dengan cara menghambat orang yang akan lewat dengan salah satu tangannya. Tentunya dengan gerakan seminimal mungkin.

Orang lain boleh lewat di depan orang yang sedang sholat bila ada sutrah yang menghalanginya antara orang yang sholat dengan orang yang lewat. Sebagai contoh, bila didepan seorang yng sedang sholat ada sutrahnya berupa tas ransel atau kotak amal yang lebih tinggi dari sekitar 2 jengkal (46,2 cm) maka orang lain boleh lewat diluar sutrah tersebut, tapi diharamkan lewat diantara sutrah dan orang yang sedang sholat tersebut.

Bila kita terpaksa harus melewati seseorang yang sedang sholat tanpa sutrah, maka tidaklah berdosa bila kita melewati dirinya pada jarak diluar jarak normal (yaitu sejauh jarak sujud orang yang sholat tersebut).

Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z berkata:
“Jarak antara tempat berdirinya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dalam shalatnya dengan tembok/dinding adalah sekadar (bisa) lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)

Ibnu Baththal t berkata, “Ini jarak minimal seseorang yang shalat dengan sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor kambing.” Ada yang mengatakan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi. (Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu ‘Abidin 2/402, Al-Mughni Kitabus Shalah, fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu` 3/226)

Dalilnya adalah hadits Bilal z:
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam shalat di Ka’bah, jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga hasta.” (Al-Imam Ibnu Abdil Barr t berkata: “Hadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih4 dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.” Lihat At-Tamhid 5/37, 38 dan Al-Istidzkar 6/171)

Ad-Dawudi ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa yang paling minim adalah sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga hasta. Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan bahwa jarak yang awal (minimal) adalah pada keadaan berdiri dan duduk, sedangkan jarak yang kedua (maksimal) pada keadaan ruku’ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743, Adz-Dzakhirah, 2/157-158)

Al-Imam Malik t berkata, “Apabila seseorang masbuq dalam shalatnya, sementara tiang masjid ada di sebelah kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser ke kanan atau ke kiri mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah, jika memang tiang itu dekat dengannya. Begitu pula jika tiang itu ada di depannya atau di belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke arah tiang tersebut selama tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu jauh, maka dia tetap shalat di tempatnya dan berusaha mencegah segala sesuatu yang lewat di hadapannya semampunya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)

Bergeser seperti ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya lebih ringan daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya. (Adz-Dzakhirah, 2/156). Wallahu a’lam.

Ukuran Tinggi dan Lebar Sutrah
Ukuran sutrah yang mencukupi bagi orang yang shalat, sehingga dia bisa aman memberi kesempatan orang yang lewat, adalah minimal setinggi pelana.

Dan dalilnya dari Thalhah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan tiang setinggi pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat dan janganlah ia memperdulikan orang yang ada di belakangnya.” [Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (499).]

Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi’. Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari tengah. Dan ukurannya kurang lebih: 46,2 cm.

Ukuran ketebalan Sutrah minimal adalah sebesar setangkai anak panah. Ibnu Qudamah t menyatakan, “Adapun kadar lebar/tebalnya sutrah, setahu kami tidak ada batasannya. Maka boleh menjadikan sesuatu yang tipis/tidak lebar sebagai sutrah seperti anak panah dan tombak, sebagaimana boleh menjadikan sesuatu yang tebal/lebar sebagai sutrah seperti tembok. Dan sungguh Nabi n pernah bersutrah dengan tombak. Abu Sa’id berkata, “Kami pernah bersutrah dengan anak panah dan batu ketika shalat.” Diriwayatkan dari Sabrah bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, “Bersutrahlah kalian di dalam shalat walaupun hanya dengan sebuah anak panah.”1 Diriwayatkan oleh Al-Atsram. Al-Auza’i berkata, “Mencukupi bagi seseorang anak panah dan cambuk (sebagai sutrah).” Ahmad berkata, “Sesuatu yang lebar lebih menyenangkan bagiku, karena dari ucapan Nabi n, ‘walaupun hanya dengan sebuah anak panah’ menunjukkan yang selain anak panah lebih utama dijadikan sutrah.” (Al-Mughni, kitabus Shalah, bab Imamah fashl Qadrus Sutrah)

Sutrah Bagi Orang Yang Sholat Berjamaah
Sutrah sekelompok orang yang sedang sholat berjamaah adalah sutrah yang digunakan oleh imam (yang memimpin sholat) nya. Dengan demikian dibolehkan berjalan di hadapan para makmum dan tidaklah berdosa. Namun bila ia mendapatkan jalan lain untuk lewat maka itu lebih utama, karena jelas lewatnya orang ini akan mengganggu orang yang sedang shalat, sementara menjaga diri agar tidak sampai mengganggu orang lain adalah perkara yang dituntut.

Faedah Sutrah
Sebagai penutup, kita bawakan beberapa faedah atau manfaat sutrah yang disebutkan dalam kitab-kitab para ulama. Di antaranya:

1. Shalat dengan memakai sutrah berarti menjalankan dan menghidupkan sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalaam. Sementara menghidupkan As-Sunnah dan mengikutinya adalah jalan yang lurus.
2. Sutrah menjaga shalat dari hal-hal yang dapat memutuskannya.
3. Sutrah akan menutupi pandangan mata orang yang shalat dari apa yang ada di sekitarnya, karena pandangan matanya terbatas pada sutrahnya. Dengan terbatasnya pandangan berarti membatasi pikiran-pikiran yang dapat mengganggu kekhusyukan di dalam shalat.
4. Orang yang memakai sutrah berarti memberi tempat berlalu bagi orang-orang yang ingin lewat, sehingga mereka tidak harus berhenti menunggu selesainya orang yang shalat tersebut.
5. Dengan adanya sutrah, orang yang ingin lewat bisa melewati daerah bagian belakang sutrah.
6. Sutrah akan menjaga orang yang lewat dari berbuat dosa.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

0 komentar:

Posting Komentar