Kamis, 26 Mei 2011

Kisah Syahdu Sepotong Cinta


elderly_couple 
“Ayo ‘Dek, kita pulang,” suamiku menggamit tanganku. Tangan kirinya memegang payung, menaungiku dari terik matahari yang mulai menyengat ubun-ubunku di pekuburan muslim di bilangan Bandung utara itu. “Aki dan Ene’ sudah kembali, pulang ke haribaan Allah. Doakan saja kubur mereka lapang dan terang serta ridho Allah selalu melingkupi. Amiin.”

Kuberdiri menyambut tangan suamiku. “Selamat jalan Aki, selamat jalan Ene’, semoga Allah menjadikan cinta Aki dan Ene’ abadi, dan menyatukan Aki dan Ene’ hingga di jannahNya kelak. Amin,” pintaku tulus.

Kemudian kami berdua berjalan ke mobil kami dalam diam, masing-masing tenggelam dalam kenangan indah akan Aki dan Ene’ yang kini sudah terbaring dalam peristirahatan terakhir mereka yang berdampingan.

.......... 

Aki dan Ene’ sebetulnya adalah kakek dan nenek suamiku. Aku bahkan baru mengenal mereka secara mendalam sekitar dua minggu lalu ketika kami berdua menginap di rumah mereka yang asri di Dago, Bandung. Maklum, karena tuntutan tugas suamiku, dua tahun pertama pernikahan kami lewatkan di Gorontalo, jauh dari sanak dan kerabat.

Setelah akhirnya kembali dipindahtugaskan di kantor pusat Jakarta, atas desakan ayah mertuaku, suamiku pun mengajak aku bersilaturahmi ke rumah kakek dan neneknya. Aki dan Ene’, begitu keluarga besar kami biasa memanggil mereka.

“Ajaklah istrimu menginap di Dago, Den,” kata ayah mertuaku, “Aki dan Ene’ pasti sudah kangpadamu,” bujuk beliau. “Selain itu,” tambahnya lagi, “Biar istrimu ganti suasana, agar lebih ceria wajahnya.”

Malu juga sebenarnya aku mendengar tutur mertuaku. Apakah seterbaca itu cuaca hatiku lewat mimik wajahku, ya? Memang waktu itu aku dan suamiku sedang terlibat masalah rumah tangga yang menurutku cukup pelik. Membuat hari-hariku murung dan kehilangan semangat.

Tiga jam perjalanan Jakarta-Bandung kami habiskan tanpa kata, membuat batinku amat tersiksa. Kala itu kami memang sedang tidak berteguran sapa. Rasanya aku berkendara dengan sosok yang asing, yang tak lagi kukenal. Padahal sosok yang sama kan sebetulnya sudah berbagi kehidupan denganku selama dua tahun terakhir. “Masihkah sebetulnya ada cinta darimu untuk ku A’ ?” tanya suara hatiku pada bayangan wajah suamiku yang memantul di kaca jendela mobil, karena memang cuma sebatas itu keberanianku.

Hanya satu kalimat yang keluar dari mulutnya. Itupun ketika mobil kami sudah terparkir di depan pekarangan rumah Aki, “Nanti di sana, usahakan wajahmu lebih sumringah. Ngga perlu seluruh dunia tahu masalah kita,” katanya dingin tanpa menatapku sama sekali. Ah, saat itu rasanya hanya keajaiban saja yang menahan air mataku hingga tidak tumpah. Jika rasa sedih itu berwarna biru, kurasa hatiku saat itu sudah tercelup warna biru tua, sepekat-pekatnya, laksana biru gelap samudra di titik terdalam.

Aki-lah yang menyambut kami berdua dengan keramahan khas Tanah Priangan di ruang tamunya. 

“Sudah, cucu duduk dulu,” kata beliau, “Biar si Ujang nanti yang beresin barang-barang cucu,” kata beliau lagi sambil memanggil Ujang, salah seorang pembantu rumah tangganya.

Setelah mencium tangan beliau, kami duduk di ruang tamu yang nyaman, juga khas Jawa Barat. Tempat duduk dari bambu, lampu ber-kap anyaman bambu serta semilir angin dari jendela lebar yang menyuguhkan lukisan alam panorama indah Dago sedikit banyak cukup melipur laraku kala itu.

“GEULIIIIIIS…,” tiba-tiba Aki berteriak memanggil seseorang. “Geuliiis, kadieu, ayaaang…,” panggilnya lagi. Suaranya tinggi dan lembut, seperti sedang memanggil anak-anak. Kupikir beliau sedang memanggil salah seorang cucu atau mungkin cicitnya yang juga sedang menginap. Namun sahutan yang keluar dari dalam rumah seketika menyadarkanku bahwa perkiraanku salah total.

“Sebentar Akang kasep ayaaaang…,” suara yang berasal dari pita suara yang tipis menyahut dari dalam. Jelas bukan suara anak-anak sama sekali. Sedetik kemudian pemilik suara itu muncul di hadapan kami. Sesosok nenek dengan tubuh kecil dan wajah sangat ramah tersenyum pada kami, “Assalammualaikuuum, cucuuuuuu…” sapanya.

Aku jadi lupa pada kesedihan yang membuat hatiku kelam membiru itu. Suara Ene’ sangat menghibur, menularkan energi kebahagiaan pada kami semua. Diciumnya aku dan suamiku dengan hangat. Malah pipi cucunya—suamiku sang manager keuangan di sebuah perusahaan multi nasional itu—dicubitnya gemas, membuat ekspresi es batu suamiku mencair lumer. “Kenapa atuh  si Donny ini baru sekarang ajak istri ke rumah Ene’? kata beliau pura-pura marah. “Kenapa atuh kue buatan Ene’ belum diicipin?” kini pandangannya beralih ke toples yang masih tertutup di atas meja,”Hayu atuh diicipin, mangga’, jangan malu-malu,” ucap Ene’ dengan logat Bandungnya seperti bernyanyi.
Ene’ mengambil sebuah piring kecil yang sudah tersedia di meja tamu dan mengisinya dengan aneka kue kering. “Donny dan Dinda ambil sendiri ya,” kata Ene’ lagi, ”Kalau yang ini khusus Ene’ ambilkan buat Aki-mu,” katanya sambil tersenyum, “Mangga Akang kaseep…,” Ene’ menyodorkan piring kecil berisikan kue-kue lezat itu ke hadapan Aki.

“Subhanallah, hebat euy, LUAR BIASA! ” rasanya ingin aku berdiri dan bertepuk tangan meriah menonton sepenggal adegan indah yang terjadi di depan mataku itu. Tepat di saat kami, pasangan muda yang baru dua tahun menikah itu, sedang tidak bertegur sapa… pasangan senja usia itu memamerkan kemesraan dan romantisme yang tiada tara cantiknya.

Aki, hampir 80 tahun, memanggil Ene’ dengan panggilan sayang ‘geulis’ atau cantik. Ene’ yang lima tahun lebih muda, mesra memanggil suaminya dengan sebutan ‘akang asep’ atau kakak yang ganteng. Belum lagi bonus ‘ayang’ yang pasti bermakna ‘sayang’. Tidak kupungkiri keduanya mungkin sewaktu muda memang ganteng dan cantik karena bekas-bekas keindahan paras mereka sedikit banyak masih terlihat. Namun setia dengan panggilan romantis itu selama paling tidak lima dekade pernikahan mereka? Ambooi, aku terbakar oleh rasa ingin tahu akan rahasia di balik keindahan mahligai cinta mereka.

.......... 

Aki-lah yang mulai bercerita pada kami berdua tentang awal perjumpaannya dengan Ene’ 55 tahun silam ketika esoknya kami berjalan pagi keliling kompleks.

Memang untuk usianya yang 80 tahun, Aki’ terlihat sehat dan tegap. Jalan pagi bersama kami dilaukannya dengan napas yang diatur dengan konsisten. Stamina yang mengagumkan. “Hasil dari olahraga rutin dan puasa senin kamis selama puluhan tahun, “ papar beliau sambil tersenyum.

Udara Dago yang sejuk, panorama pegunungan, burung yang berkicau, bunga-bunga yang merekah di pinggir jalan membingkai obrolan pagi kami dengan beliau.

“Ene’ kalian, geulisku itu, adalah anak perempuan satu-satunya, bungsu dari sebuah keluarga terpandang di Bandung…” Aki membuka cerita. Berikutnya aku dan suamiku tenggelam dalam sebuah kisah yang lebih indah dari kisah Cinderela, Pretty Woman, Romeo dan Juliet atau kisah cinta apapun yang dianggap manusia masa kini menggambarkan romantika sepasang sejoli berlainan jenis.

-----

Sebagai putri keluarga terpandang, wajar bila ketika itu kumbang-kumbang mulai terbang mengitari Ene’, mengajukan diri sebagai calon suami beliau. Namun dengan santun Ene’ menolak mereka dengan halus.

Orangtua Ene’ yang sudah ingin memangku cucu dari Ene’ pun menanyakan pada putri mereka, jodoh seperti apa yang Ene’ inginkan.

“Euis,” kata mereka. “Sebetulnya jodoh seperti apa yang kau inginkan? Nanti biar bapak carikan, yang penting Euis bahagia,” kata orang tua Ene’.

Ene’ berasal dari keluarga baik-baik yang berpendidikan tinggi namun dengan background agama Islam yang tidak terlalu kuat. Justru kebudayaan Belanda-lah yang lebih mewarnai gaya hidup keluarga Ene’. Orang tua Ene’ pun fasih berbahasa Belanda. Pesta dansa-dansi mewarnai acara akhir pekan mereka. Itulah yang membuat orangtua Ene’ berpikir agak demokratis dibanding warga Bandung lainnya pada jaman itu, Ene’ diijinkan memilih jodohnya sendiri.

“Bapak dan Ibu yang Euis hormati,” kata Ene’ kala itu. “Bukannya Euis tidak menghargai mereka yang sudah datang ke rumah kita untuk mendekati Euis, tapi….”

“Bilang saja, Nak, seperti apa kriteria yang kau inginkan,” potong bapak Ene’ tidak sabar,”Bapak akan carikan siapa pun demi membahagiakanmu, anakku.”

Allah menghendaki, walaupun dibesarkan dalam keluarga yang asing dengan norma-norma Islam, fitrah yang dibekali Allah di hati Ene’ sangat kuat menarik Ene’ ke cahaya Al Islam. Bisa jadi karena pengaruh salah seorang pengasuh Ene’ sewaktu kecil yang memang kala itu sudah rutin sholat dan mengaji. Fitrah inilah yang kiranya membuat Ene’ menjawab pertanyaan bapaknya kala itu dengan jawaban yang mencengangkan semua yang mendengarnya.

“Euis ingin suami yang fasih MEMBACA Al Quran, Pak, Euis ingin suami yang berasal dari lingkungan pesantren!” kata Ene’, lembut tapi tegas.

Bapak Ene’ menghela napas, tidak menyangka kata-kata seperti itu yang keluar dari lisan putri yang disayanginya. Kemampuan membaca Al Quran bukanlah hal yang lumrah di keluarga mereka. Maklum, puluhan tahun lalu, dakwah Islam kan belum marak seperti sekarang.

“Tidak apa-apa jikalau calon suami Euis tidak rupawan, tidak berpendidikan tinggi, atau tidak kaya, Pak,” lanjut Ene’ lagi, “Euis hanya ingin merasakan indahnya belajar sholat dan mengaji dengan diajari oleh suami sendiri”.

Karena sudah telanjur menyanggupi, dengan hati masih penuh dengan tanda tanya, bapak Ene’ pun datang bersilaturahim ke sebuah pesantren di kawasan Cirebon di mana beliau kemudian berjumpa dengan Aki, salah seorang santri senior di sana.

........ 

“Begitulah ceritanya hingga Aki-mu ini berjodoh dengan ene-mu, Cu..,” cerita Aki dengan wajah bahagia. “Aki-mu ini menjadi menantu keluarga terpandang Ene’ bermodalkan kemampuan mengaji ‘saja’. Ene’-mu dengan segenap keikhlasannya ridho diperistri dan dipimpin Aki yang berasal dari keluarga sederhana,” Aki menutup kisahnya.

Kulirik suamiku, nampak larut terbawa suasana. Matanya yang beberapa hari terakhir menghindar dari pandanganku kulihat beberapa kali mencuri pandang padaku lembut, menyiratkan kerinduan yang sangat, membuatku tersipu malu.

Aku jadi kikuk seperti pengantin baru. “Terus apa resepnya bisa terus rukun bertahun-tahun begini, ‘Ki?” aku bertanya menutupi gejolak hatiku, saat itu hatiku meletup-letup seperti abg yang sedang digoda dewa asmara. Kurasakan jemari kokoh suamiku meraih pinggangku. Aha!

“Mungkin pertanyaan itu lebih cocok kau tanyakan pada Ene’-mu Din, “ jawab Aki. “Ene’-mu lah yang sangat pandai merawat perkawinan kami agar senantiasa indah,” lanjut beliau. “Cuma satu pesan Aki yang harus senantiasa kalian ingat, pesan dari guru Aki di pesantren, “ tambahnya membuat kami berdua penasaran. “Perselisihan suami istri, jangan diselesaikan secara formal di meja, Cu,” beliau berbisik seakan-akan tengah mengatakan sebuah rahasia yang besar, matanya berkilat jenaka, “Tempat penyelesaian masalah suami istri yang terbaik adalah di atas kasur, KAAASUR !” tegasnya, “Ha ha ha….,” lalu Aki tertawa berderai-derai.

Diam-diam sebuah cubitan gemas mendarat di pinggangku, membuatku meronta kecil. Nasehat Aki terbukti sangat mujarab. Hatiku dan suamiku yang sempat saling kaku membeku malam itu mencair di atas kasur di rumah Aki, setelah setetes kenikmatan surgawi yang boleh dicicipi sepasang suami istri di bumi kami lewatkan bersama, Subhanallah.

.........

Keesokan paginya aku bangun dengan jiwa yang segar seperti baju yang baru keluar dari laundry. Kuhampiri Ene’ yang sedang sibuk memberi makan ayam-ayam di pekarangan belakang. Aki dan A’ Donny sedang pergi membeli makanan ikan hias peliharaan Aki.

“Mari Dinda bantu, Ne’,” aku meraih segenggam gabah dan menebarkannya ke ayam-ayam yang langsung datang mematuk-matuk ke tanah. Ene’ memelihara beberapa ayam kate berwarna putih. Imut-imut dan lucu sekali.

“Ne’,” kataku, “Ajari Dinda dong resep menjadi istri yang baik, Dinda kepingin punya rumah tangga yang sakinah seperti Aki dan Ene’,” Aku bertanya tanpa dapat menyembunyikan rasa penasaranku.

“Lho, memangnya kenapa? Rumah tangga Dinda kurang sakinah?” Ene’ balik bertanya sambil mengulum senyum.

“Ya engga juga sih, Ne’, tapi kalo ribut-ribut kecil sih adaaa…,” jawabku, walau seketika itu juga badai ribut besar dengan suamiku beberapa hari yang lalu terputar kembali di depan mataku.

....... 

Kalau suamiku termasuk dalam kategori pria bersosok ganteng, memang kusadari sejak dulu. Tapi bahwa ada resiko besar yang membuntuti, baru saja kupahami akhir-akhir ini. Apalagi dengan posisi mapan di sebuah perusahaan bonafid, menambah nilai plus suamiku di mata lawan jenisnya. Cincin emas putih pernikahan yang melingkar di jari manis kirinya sama sekali tidak mempengaruhi penilaian perempuan iseng pemburu cinta. Apalagi semenjak kami pindah ke Jakarta, di mana nilai-nilai benar salah dan baik buruk sudah semakin melebur, tak jelas batasnya.

Diawali dengan sms-sms singkat di hp suamiku dari nomor yang tak kukenal, jelas kata-kata seorang mahluk Hawa. “Pa kabar?”, “Lagi dimana neeeh?”, sampai pesan singkat akhir-akhir ini yang membuatku kalut seperti. “aq kangeeen”, “udah makan belum?”.

Cemburuku berkobar-kobar. Hatiku menggelegak. “Kok bisa siiih, suamiku meladeni perempuan lain seperti ini?” sedih, marah, bingung, putus asa, kecewa, sakit hati, bercarutmarut memenuhi seluruh rongga hatiku tak bersisa.

Ketika kutanyakan pada A’ Donny, jawabannya sederhana saja. “Aku ngga ada apa-apaan kok sama dia, serius. Cuma kamu kok yang kusayangi…,” jawabnya enteng seakan tanpa dosa.

“Cuma aku? Lalu dia siapa?” tanyaku. Sungguh teman, cemburu itu menyakitimu. Membuat pandanganmu sempit bagai terhimpit. Tidur tak nyenyak, makan tak enak.

“Yaaa, teman biasa saja,” katanya lagi dengan nada seringan kapas.

Sungguh aku jadi mengerti, 100% aku jadi paham kenapa film-film kartun menggambarkan kemarahan tokoh di dalamnya dengan keluarnya asap putih panjang dari lubang hidung dan telinga sang tokoh seperti asap lokomotif. Darah yang mendidih di dalam diri karena rasa jengkel bisa jadi memang sanggup mengeluarkan asap putih seperti itu.

“Yaa, dia mungkin memang naksir aku. Akunya sih biasa sajaaa,” lanjut suamiku seakan tak memahami membaranya hatiku. Entah benar-benar tak tahu, entah hanya pura-pura belaka.

“Kalau biasa saja kenapa sms-nya TERUS-TERUSAN? Sampai bilang kangen segala? KENAPA?” tanyaku bertubi-tubi. Suaraku seperti mendesis, setengah mati menahan emosi yang siap meletus bagai Krakatau.

“Ya tanya dong sama dia, jangan sama aku!,” kata suamiku dengan suara meninggi. “Lagian kamu, kenapa lancang betul buka-buka hpku dan baca sms-ku?” katanya. Kali ini jelas, emosinya mulai bangkit.

Aku jadi bingung terpaku. “Tuhanku, sebetulnya siapa sih yang salah? Kok malah jadi suamiku yang marah?”

Hari itu pertengkaran kami akhirnya merembet kemana-mana, bagai air bah yang mengaliri seluruh penjuru daerah yang lebih rendah.

Esok paginya tak ada satu pun dari kami yang memulai pembicaraan, hingga beberapa hari sesudahnya, di mana lagi kalau bukan di atas kasur di rumah Aki. Hmm…

.......

“Neng, pernikahan sakinah mah bukan pernikahan yang ngga ada ributnya,” kata Ene’ padaku, “Pernikahan sakinah itu adalah pernikahan yang ketika ribut segera kembali ke Al Quran dan As Sunah,” jelasnya. Kemudian Ene’ mengisi wadah tempat minum ayam kate dengan air ledeng dan meletakkannya di dekat kandang.

Aku tercenung mencoba mencerna nasehat Ene’.

“Jadi, pernikahan Ene’ juga ada ribut-ributnya, gitu?” pancingku.

“Yaa..,” jawab Ene’, “Namanya juga manusia menikah dengan manusia, justru di situlah letak ujiannya. Di kesulitan itu Allah kasih kesempatan kita untuk meraih anak kunci masuk ke salah satu syurgaNya,” jawab Ene’ dengan tenang, setenang pagi yang indah itu.

“Tapi Aki kan dari pesantren, orang alim, kenyang ilmu agama, pasti dong Aki juga udah paham betul bagaimana menjadi suami teladan. Ya kan, Ne’?” tuturku. Aku jadi merasa tidak enak, kentara betul aku membandingkan Aki dengan suamiku.

Ene’ tidak mengiyakanku. Jawabnya, “Lulusan pesantren juga manusia biasa, Din, yang tak lepas dari khilaf dan salah,” katanya, “Ene’ pun juga banyak salahnya pada Aki-mu, kami berdua selalu berusaha saling memaafkan,” tutur beliau lagi.

“Tapii, kalau hmm…telanjur sakit hati, cara memaafkannya bagaimana, Ne’?” tanyaku lamat-lamat, berusaha menutupi apa yang kemaren kualami dengan suamiku.

“Justru di situlah kunci syurganya, Din, “ jawab Ene’, Ayam-ayam kate mengitari tubuh mungilnya, “Makin sakit hati, Makin sulit memaafkannya, Makin besar peluang masuk syurgaNya kalau kita berhasil memaafkan pasangan kita,” katanya lagi, “MAUUU ?” tanya beliau padaku, tentu saja tanpa bermaksud menirukan iklan salah satu provider telepon seluler.

 “Wuih, siapa pula yang ngga mau masuk syurganya Allah,” pikirku bahagia. Beban yang menyesAki dadaku tak ada sudah, lepas, terbang jauh bagai layang-layang yang putus talinya. Kurasakan seluruh hati, pori dan nadi di tubuhku sudah memaafkan A’ Donny. Alhamdulillaah…

Kata-katanya sangat menginspirasiku. Ayam-ayam kate yang mengerumuni Ene’ menepi memberiku jalan untuk memeluknya. Kurangkul Ene’ dengan sepenuh sayang.

 “Geuliiiis… ayaaaang….,” terdengar suara khas Aki memanggil Ene’.

 Mendengarnya, mata Ene’ berbinar bahagia seperti remaja belia dilanda cinta pertama. “Rabbi, berikan kami kemesraan seperti mereka,” pintaku.

.......

Siang itu kami menikmati ikan mas goreng garing dan segarnya karedok racikan Ene’. Ujang yang menangkap ikan-ikan malang itu dari kolam Aki. Malamnya A’ Donny meladeni tantangan Aki bermain catur. Subhanallah, luar biasa kemampuan otak manusia maha karya Allah kalau saja benda lunak itu dijaga dengan baik oleh yang empunya seperti halnya Aki. Usia senja tidak menghambat kemampuan kerja otaknya.

Langit Dago memainkan orkestra angkasa raya. Pemainnya ribuan bintang yang bertaburan. Ene’ dan aku duduk di bangku di teras belakang dengan mata menikmati pesta sang langit, masih membahas topik yang sama, indahnya memaafkan yang belum tuntas kami bahas siang tadi.

Malam itu memang malam yang luar biasa. Langit Dago cerah, sangat bersih seakan bebas polusi. Bintang-bintang keperakan berkilauan tumpah ruah berserakan. Langit jadi tampak membulat karena di kakinya bertaburan bintang-bintang sebagai batas pandangan mata manusia, menciptakan skala kemegahan angkasa raya. Di atas puncak Dago ini, gemerlap permata langit itu begitu jelasnya sehingga terlihatlah garis-garis antar bintang membentuk gugusan rasi-rasi seperti yang kerap kita lihat di buku-buku astronomi.

Baru malam itu aku tersadar, bahwa sebagian gugusan rasi itu ternyata sungguh nyata dan bukan sekedar rekaan manusia belaka. Ia terbentuk dari cemerlangnya pendar masing-masing bintang sedemikian sehingga mereka pun terhubungkan satu sama lain. Maha Suci Allah pemilik keagungan arsy yang terbentang seluas langit dan bumi. Kata-kata Ene’ mengembalikan kesadaranku. Kata beliau, “Bayangkan, Din… bayangkan bagaimana jadinya kehidupan kami kalau setengah abad lalu kami, Ene’ dan Aki-mu, tidak saling memaafkan?”

Kata-kata yang diucapkan Ene’ dengan lembut, tapi dengan kekuatan ruhiyah yang dalam serta merta membuatku terkesiap. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi setengah abad yang lalu?

.......

“Kami baru menikah lima tahun,” tutur Ene’. “Aki-mu ditugaskan perusahaannya ke kepulauan Riau. Waktu itu sarana komunikasi belum secanggih sekarang, Din. Kami bercakap-cakap lewat telepon paling sering dua minggu sekali. Aki pulang menengok Ene’ dan anak-anak setiap enam bulan sekali.”

“Berapa tahun Aki bekerja seperti itu, Ne’?” tanyaku, membayangkan rinduku pada A’ Donny jika ia harus meninggalkanku pergi jauh seperti Aki dan Ene’ dulu.

“Sekitar empat tahun,” jawab Ene’. “Aki bekerja di perusahaan pertambangan, jauh menembus rimba di pedalaman Sumatra,” tuturnya. “Sebetulnya Ene’ sangat cemas memikirkan keselamatan Aki-mu. Binatang buas, hujan lebat, tersesat di belantara, adalah ancaman bahaya yang selalu membayangi, membuat lantunan doa Ene’ tak pernah putus untuk Aki.”

Rasanya hanyut aku terbawa arus cerita Ene’. Kata-katanya sangat mengharukan, sarat dengan emosi cinta pada sang jantung hati.

“Ketika hujan lebat mengguyur, guntur menggelegar, Ene’ selalu ingat Aki kemudian tersungkur bersujud, memohon keselamatan Aki pada Allah. ‘Rabbi, jagalah suami hamba, selamatkanlah suami hamba’, begitu pinta Ene’ selalu,” tutur Ene’ padaku. “Namun, yang Ene’ tidak tahu, dua tahun setelah bertugas di sana, Aki-mu telah menikahi seorang gadis pribumi, seorang gadis kubu berwajah cantik.”

Masya Allah, sebuah antiklimaks kisah cinderela yang dituturkan Ene’-ku dengan nada sangat biasa, sangat biasa disempurnakan dengan ekspresi keikhlasan yang sulit kugambarkan keindahannya.

Aku sendiri terbius haru, membayangkan Ene’ bersujud menangis di atas sajadahnya memohon keselamatan sang belahan jiwa, sementara pada saat yang sama bisa jadi Aki di seberang samudra sana tengah bersenang-senang dengan istri barunya.

Kuraih dan kugenggam erat tangan Ene’ yang dihiasi keriput halus itu.

“Kau tahu kenapa Ene’ menceritakan hal ini padamu, Din?” Ene’ menatapku mataku dalam-dalam. Aku menggeleng pelan, tak tahu harus bersikap bagaimana.

“Karena menikah lagi secara sah menurut hukum agama BUKANLAH aib! Itulah mengapa Ene’ berani menceritakan ini padamu,” tutur Ene’ hati-hati, mungkin mengukur kesiapan hatiku. “Walaupun perasaan Ene’ kala itu, hancur terpuruk luar biasa.”

Aku menghela napas. Malu. Teringat sms-sms di hp suamiku, sangat remeh temeh dibandingkan dengan ujian yang dialami Ene’. “Bagaimana Ene’ dapat memaafkan kesalahan Aki? Lalu bagaimana kelanjutannya? Dimana gadis kubu itu sekarang berada?” aku memberondong Ene’ dengan peluru pertanyaan.

Masih dengan tutur katanya yang lembut, Ene’ menjawab pertanyaanku. “Setelah masa tugas di sana selesai, Aki pun bercerita pada Ene’ tentang istri baru yang telah beliau nikahi itu,” katanya, “Ene’ tahu, Din, saat itu pun hati Aki sebetulnya menangis karena telah menyakiti hati Ene’, tapi Ene’ punya pemikiran lain…”

Kagumku pada perempuan di hadapanku bertambah-tambah. Di saat perempuan lain pada situasi tersebut mungkin telah hancur, tenggelam dalam kesedihan, Ene’ malah bisa berpikir jernih. Bayangkan, ‘punya pemikiran lain’…., kalimat yang menyiratkan ketenangan dan kecerdasan hati tingkat tinggi.

“Ene’ ingat, selama itu Ene’ tak kenal lelah berdoa pada Allah mohon supaya Allah menjaga Aki, mohon keselamatan Aki,” lanjutnya, ”Membuat Ene’ berpikir, jangan-jangan… menikahnya Aki dengan gadis kubu itu adalah cara Allah mengabulkan doa Ene’, menjaga suami Ene’… dari maksiat, atau supaya suami Ene’ ada yang merawat … nun jauh di rimba lebat?”

Subhanallah, pantaslah Allah menghadiahi kunci syurga bagi keridhoan tak terbatas seorang istri yang dadanya lapang memaafkan kesalahan suaminya, yang berbakti pada suaminya, yang menomorsatukan kepentingan suami serta kebahagiaan suaminya di atas segalanya. Aku merasa tubuhku menyusut, makin kecil, semakin kecil dibanding wanita mungil namun perkasa di hadapanku itu.

“Ketika Allah mengilhamkan hal itu pada diri Ene’, seketika itu juga Ene’ memaafkan Aki. Ene’ yakin, semua itu sudah ketentuan Allah yang terbaik bagi kami semua,” Ene’ mengakhiri kisahnya yang mengharu biru.

Hatiku gerimis. Bening air mata menitik di sudut mataku. “Kemana gadis itu sekarang, Ne’?”

“Ia minta cerai setelah beberapa bulan tinggal bersama kami di Bandung, Din,” kata Ene’, membuatku batinku bersorak, “Mungkin tak betah dengan hingar-bingar kota Bandung, maklum, ia kan dibesarkan dalam rimba.”

Satu dua ekor komet tampak berkejaran di layar angkasa, seakan tengah mencuri dengar kisah indah salah seorang penduduk bumi. Ene’ mendongak memandang langit. Kata beliau, “Din, tahukah Dinda, bahwa cahaya bintang yang detik ini sedang kita tonton ini sebetulnya dipancarkan sang bintang RATUSAN TAHUN yang lalu, hanya saja baru saat ini tiba di lapisan langit yang terdekat dengan bumi kita, hingga baru sekarang bisa kita nikmati terang cahayanya?”

Aku menggeleng, terpesona dengan kebesaran Allah, juga dengan luasnya wawasan Ene’. 

“Renungkan Din, “ kata Ene’ lagi, “Bintang itu mengingatkan kita, betapa pendeknya umur kehidupan seorang anak manusia dibandingkan dengan masa yang telah dilalui bumi tempatnya berpijak. Dan tak seorang jua yang mengetahui berapa lama lagi masa kehidupannya di atas bumi ini berakhir…”

Untaian mutiara dari mulut Ene’ sangat indah, tapi penutupnya-lah yang tak bisa kulupakan hingga kapan jua…

“Di ujung usia Ene’ ini Din, hidup terasa sangat singkat. Rasanya baru sekejap mata sejak Ene’ mengenal Aki,” tuturnya. Aku menatapnya lekat, tak ingin kehilangan satu pun tuturnya yang berharga. “Pernikahan Ene’ dengan Aki-mu adalah hal terindah yang Allah berikan pada kami di luar indahnya iman, Din. Yang ada hanyalah kenangan manis demi kenangan manis. Bisakah kau bayangkan, Din,” kali ini kata-katanya melambat penuh penekanan, “Seperti apa jadinya kehidupan rumah tangga kami lima puluh tahun terakhir ini, kalau saja waktu itu Ene’ MEMILIH untuk tidak ridho dan tidak memaafkan Aki-mu?”

Allah, Maha Besar Tuhanku yang telah melapangkan hati hambaNya seluas hati Ene’ kami. Hati istri sholihah, angkasa raya pun terasa sempit dibandingkan dengannya!

..........

Kami pulang ke Jakarta dengan hati baru, dengan tekad meniru sakinahnya rumah tangga Aki dan Ene’. Tangan kananku bertumpu mesra di atas paha kiri suamiku, sesekali ia meremas jemariku sambil tersenyum melirikku. Sangat kontras dengan keberangkatan kami sebelumnya.

Kami pulang dengan membawa oleh-oleh yang sangat berharga. Nasehat Ene’ dan Aki yang terus terngiang, “Jika pasangan hidupmu khilaf dan berbuat salah, maka rangkullah dan segera maafkan. Jadikan dirimu tempat belahan jiwamumu selalu rindu pulang, karena tahu bahwa dia akan selalu diterima dengan hati lapang,” Namun tak satupun dari kami menyangka, itu adalah wasiat terakhir Ene’, juga Aki.

Hanya seminggu sesudah perpisahan itu, Ene’ kami berpulang menemui pemilik jiwaNya, Allah SWT. Dijemput malaikat Isroil setelah jatuh terpeleset di depan kamar mandi, sebuah sebab kematian yang terkesan sangat sederhana.

Ditinggal geulis-nya tercinta, Aki seperti kehilangan separuh nyawa. Ketika ayah mertuaku menugaskan penggali kubur menggali tempat peristirahatan terakhir Ene’, Aki langsung berkata, “Buat sekaligus dua, aku akan segera menyusul Ene’.”

Ayah mertua tak berani membantah. Akhirnya menggali dua kubur sekedar menenangkan hati Aki.
Tak dinyana lelaki yang segar bugar itu, yang tak sampai dua minggu lalu masih jalan pagi dan main catur bersama kami, benar-benar berpulang menyusul kekasih jiwa dalam hitungan hari. Pergi begitu saja di pembaringan dalam tidurnya, memejamkan mata dan tak lagi kembali. Lagi-lagi skenario Allah yang membuat kami menyerah dalam kebesaranNya, membuat diri ini semakin kerdil tak berarti.

Kini kedua sejoli itu berbaring bersisian di peristirahatan abadi. Kan kurindukan mendengar suara Aki memanggil istrinya, “Geuliiiis….. ayaang…”. ,bersahutan dengan suara mesra Ene’ menyambut panggilan itu, “ Iya, akang kaseeeep….”

0 komentar:

Posting Komentar