Kamis, 26 Mei 2011

Pelajaran Dari Sang Kakek Pemulung

Pemulung-cicisilent-posterous 
Suatu sore, aku berjalan santai menuju toserba untuk membeli keperluan mingguan. Apa-apa yang akan kubeli sudah kurencanakan. Hari itu tanggal tua. Bagi anak kost sepertiku, itu berarti harus hemat dan cermat, apalagi isi dompetku tinggal dua puluh ribu rupiah.

Tiba di toserba, ekor mataku sempat melirik seorang kakek tua yang tengah mengais-ngais sampah. Wajahnya berkerut, pakaiannya lusuh, seraya memanggul sebuah karung besar berisi plastik dan botol bekas. Ya, ia seorang pemulung. Tapi perhatianku tak lebih dari itu, akupun melengang masuk ke toserba.

Usai membeli semua kebutuhan, akupun beranjak ke kasir. Saat itulah aku melihat kakek tadi masuk ke toserba, lengannya menggamit seorang anak yang pakaiannya tak kalah lusuh. Penasaran, aku mencuri dengar percakapan si Kakek dengan anak kecil itu.

“Nak, kamu masih sekolah,?tanya kakek itu

“ masih,”
anak itu menjawab singkat.

“kelas berapa
?” tanya si kakek lagi sambil tersenyum

“kelas dua sd,”
jawab anak itu datar

Sang kakek kembali tersenyum, lalu bertanya,  “berapa ukuran sepatumu?” sambil melihat kearah kaki anak itu.  

“37 kek, ada apa?”, si anak mulai penasaran

“Yuk kita kesana”
ajak kakek itu sambil menuntunnya kearah tempat sepatu.

Mendengar percakapan itu, aku membatalkan untuk ke kasir dan beralih untuk mengikuti kakek itu.

“Nak, pilihlah sepatu kesukaanmu”
pinta kakek itu pada sang anak

“tidak usah kek” jawab anak itu.

“Kenapa? Sepatumu masih bagus??” Tanya kakek itu dengan senyum.

“………..” anak itu terdiam.

Kamu suka yang ini?” dengan menunjukan sepatu yang dipilih sang kakek. 

Anak itu hanya mengangguk, bertanda setuju dengan sebuah senyuman tergurat di bibirnya. 

Ya sudah, yang ini saja ya..” ujar kakek sambil membawa sepatu itu.

Tadinya aku pikir hanya sampai disini, ternyata tidak, kakek itu mengajaknya ke tempat makanan. Aku kembali mengikutinya, dengan pura-pura berbelanja.

“Ayo, ambil saja yang kamu suka” ajak kakek itu. 

Sang anak dengan wajah agak ragu, berjalan dan mengambil roti yang berukuran kecil. 

ini saja, Kek” jawab anak itu 

“kok yang kecil, ayo ambil saja yang besar, kakek yang bayar kok, kamu tenang aja”
 
“tidak usah kek” jawab anak itu. 

Tanpa bicara kakek itu mengambil roti yang berukuran besar dan memasukannya kedalam keranjang. 

yang ini, ya?” pinta kakek itu dengan tersenyum. 

“terima kasih, Kek” jawab anak itu dengan tersenyum pula. 

Singkat cerita, sang kakek mengambil makanan kecil lainnya, mie instant serta beras untuk anak itu.

Aku mengikuti kakek itu sampai ke kasir danmengantri di belakangnya. Kulihat ia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dan beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Kulihat kakek itu mengeluarkan uang limapuluh ribu selembar dan beberapa puluhan ribu.  Usai membayar, ia memberikan seluruh belanjaan tadi kepada si anak. Melihat keadaan sang kakek dan jumlah yang ia belanjakan, aku menduga si anak adalah cucu atau kerabatnya.
 Usai membayar di kasir, aku kembali mengikuti kakek itu.

Di luar aku melihat pemandangan yang lagi-lagi mengharukan. Si anak tadi berterima kasih pada kakek itu dengan airmata mengalir di kedua pipinya seraya mencium tangan keriput si kakek. Anak itupun lalu pergi meninggalkan sang kakek.
Dengan sangat penasaran, kudatangi kakek itu.

“Assalamu’alaikum, Kek..” ucapku memulai pembicaraan.

“Wa’alaikumsalam Nak, ada apa ya..?” jawab kakek itu.

“Nggak ada apa-apa, saya cuma ingin bicara dengan kakek saja, boleh minta waktunya kek?” pintaku.

“oh boleh, silahkan, mau bicara apa Nak.?.” jawab sang kakek sambil menurunkan karung yang dibawanya.

“engga kok Kek, hmm.. tadi saya perhatikan Kakek membawa seorang anak kecil, ya..? dia cucu atau anak Kakek?” Tanya ku.

“bukan, Nak,” jawab kakek itu.

“kita duduk saja ya Kek, tidak enak jika berdiri,” kataku sambil duduk di lantai depan toserba itu, kakek itupun mengikuti.

“hmm.. begitu ya.., jika bukan anak, tadi siapa Kek?” Tanyaku lagi

“Namanya Rian, kakek juga baru kenal tadi. Kakek perhatiin anak itu dari kemarin. Rupanya anak sekecil itu sudah jadi tulang punggung keluarganya,

“Rian cerita, ayahnya sudah meninggal waktu  dia umur 5 tahun, setelah itu dia hidup bersama ibu dan seorang adik perempuannya yang berusia 3 tahun. Namun adiknya kini telah diangkat anak oleh tetangganya. Kakek sering melihatnya mengamen di angkot sendirian.. Ya.. tadi kebetulan saja kakek bertemu dengannya dan dia cerita banyak tentang kondisinya.” Jelas kakek itu

“terus tadi Kakek membelikan semua untuk Rian..??” , tanyaku memastikan

“Iya , Nak.. mungkin hanya itu yang bisa kakek berikan..”

Tertegun aku mendengarnya. Seorang kakek yang sehari-harinya jadi pemulung dengan pendapatan tidak seberapa, mampu memberikan senyuman yang luar biasa bagi anak itu. Membelanjakan uang yang tentu tak sedikit baginya, untuk seorang anak yang baru dikenalnya.

Tanpa terasa airmata mengalir di pipiku,

“kenapa nak? Ada yang salah dari ucapan kakek?” ,tanya kakek itu mengagetkanku..

“tidak kek saya hanya terharu.. jujur, saya malu, Kek..” jawabku sambil cepat-cepat mengusap airmata.

“lelaki itu tidak boleh mengangis, Nak..”kata kakek itu sambil menepuk punggungku..

“oya, kek, kita lupa berkenalan, nama saya Adit, Kek, nama Kakek siapa?” tanyaku

“nama kakek Poniman, tapi orang-orang biasa panggil kake mbah pon..” jawab
kakek itu..

Aku tersenyum kecil, dan entah kenapa orang ini semakin membuatku penasaran..
“Kakek tinggal dimana..?”, aku kembali bertanya

“kakek tinggal dimana-mana, Nak, kadang bermalam di pinggir jalan, kadang di masjid, kadang di emperan toko..”

“Kakek disini sendirian? Memang keluarga Kakek kemana?” tanyaku kembali

“keluarga kakek ada di jawa, namun tahun kemarin istri kakek meninggal, dan anak-anak kakek entah tinggal dimana, mereka semua ikut suaminya. Anak kakek yang lelaki merantau di Sumatra sana, dan sampai sekarang kakek tidak tahu kabarnya..

Ya. Jadi kakek tinggal disini sendirian, makanya waktu ketemu si rian, kakek anggap dia cucu kakek..” jawab kakek itu dengan mata yang berkaca..

Obrolan pun berlanjut. Aku bertanya banyak tentang kakek itu dan menceritakan pula tentang diriku..

****

Subhanallah. Hatiku tak henti menangis mengingat pelajaran luar biasa yang aku dapat dari kakek ini. 

Aku sangat malu…ketika semua orang acuh pada anak itu dan mungkin pada anak anak lain yang senasib dengannya, justru ternyata seorang pemulung seperti kakek mbah pon lah yang lebih peduli, dan mampu memberikan sesuatu yang luar biasa disaat dia sendiri pasti sangat membutuhkannya..

Bila aku di posisi Mbah Pon… Ah, mungkin aku takkan pernah terpikir untuk melakukannya. Mungkin aku terlampau egois untuk memikirkan kebutuhan orang lain.

Ada satu kalimat yang tak bisa aku lupakan dari mbah pon, “HANYA ITU YANG BISA KAKEK BERIKAN..” bukankah itu berarti Mbah Pon memberikan segala yang dia miliki untuk anak itu, tanpa memikirkan dirinya sendiri?

Sungguh sangat berbeda ketika aku berkata “hanya itu yang bisa aku berikan,” mungkin yang aku berikan hanya sebagian kecil dari yang ku punya, memperturutkan logika matematikaku akan ketersediaan uang di dompet.

Alhamdulillah, terima kasih, Mbah Pon, kau memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang arti memberi. Tak kusangka, pelajaran ini datang dari sosokmu yang seorang pemulung… yang setiap harinya berjibaku dengan kemiskinan dan kerja keras…

Rahmati hidup beliau, ya Allah…

0 komentar:

Posting Komentar