Kamis, 26 Mei 2011

Nazar Si Pelit

Dunia maya adalah tempatku menjemput rizki dan memperkaya hati, insya Allah. Menjemput rizki lewat jualan tiket pesawat terbang online dan rental mobil. Sedang memperkaya hati lewat browsing artikel di google maupun lewat catatan dan status-status.


Suatu  malam, aku berkenalan dengan sahabat baru yang statusnya sungguh menghibur hatiku yang lelah. Hampir  semua statusnya jejaring tetangga itu kuberi jempol! Hingga aku sampai pada status ini :


Allah memberi rizki dgn takaran. Adalah gampang bagi-Nya memberikan gelimangan kekayaan bagi kita, namun sebelum memintanya...periksa, apakah dalam hati kita ada "sifat Qorun" yg terselip di sana. Sehingga, jangan sampai semakin banyak nikmat akan melahirkan banyak maksiat. Rabb...ajari kami bersyukur kepada-MU.


Kutahan jempolku untuk status di atas. Dalam persepsiku, sifat Qorun itu kan identik dengan pelit dan tamak. Rasa-rasanya, insya Allah aku sudah berusaha memerangi sifat Qorunku. Apakah benar diriku yang, rasa-rasanya, sedang dalam masa-masa ‘penuh perjuangan’ ini menyimpan bibit-bibit Qorun? Iyakah?


Jam 21.00. Aku pergi dari komputer untuk pergi ke ATM. Maklum, walaupun sms banking ku sudah aktif, saldo ATM  cuma sekitar  rp. 95.000, padahal aku harus issued tiket Garuda seharga  rp.1.069.000.


Inilah tantangan bisnis modal tekad dan semangat, terpaksa nodong pelanggan supaya transfer awal waktu, walau dengan berat hati. Terlambat transfer ke Garuda, harga bisa naik tak kira-kira. Apalagi proses pengajuanku sebagai sub agen resmi Garuda belum selesai. Alhasil, kalau ada customer order Garuda aku masih harus memprosesnya lewat layanan call-centre biasa. Saat ini, keuntungan nomer dua, mencari pelanggan yang jadi nomer satu!


Batas waktu pemesanan tiket Garuda malam itu pukul 21.30. Pukul 21.15 aku sudah bersiap di ATM dekat rumahku. Kupacu motor meski gerimis, tak kuhiraukan protes tenggorokanku yang sedang meradang. Sampai di sana, dengan harap-harap cemas aku cek saldo berulangkali. Yang tertera masih saja rp. 95.000. Pasrah.


Akhirnya aku pulang. Segera kutelepon lagi call centre Garuda untuk booking ulang atas nama pelangganku. Alhamdulillah, masih ada satu tempat duduk di kelas yang sama. Tapi batas waktu pemesanan kali ini pukul 01.00 dinihari. Tepat pukul 01.00, tempat duduk yang ku-booking otomatis dibatalkan. Sungguh tak mungkin minta pelangganku transfer pada dini hari seperti ini. Jadi kusetel weker jam 00.45. Aku tak boleh terlambat booking ulang pukul 01.01. jam satu pagi lewat satu menit.


Tidur tak tenang, takut keblabasan. Begitu weker berdering, sempoyongan aku menuju telepon seraya mata lekat menatap jam dinding. Tepat satu menit selepas pukul satu, kupencet nomor  Garuda.


Please Allah, semoga kursiku belum diambil orang..” pintaku padaNya sambil menunggu telepon tersambung.


Mas Coki, petugas bersuara ramah yang membantuku entri data saat itu, tentu tak menyadari dag dig dugnya jantungku di ujung telepon.


“Maaf Bu, cuma tersisa satu seat, itupun di kelas Y di harga rp. 1.980.000”


Hilang seketika kantukku. Cuma hatiku, nyeri… sekali. Selisih hampir 950.000 dengan harga awal yang sudah disetujui pelangganku! Ada dua pilihan, satu : mengaku terus terang apa yang terjadi pada pelanggankuku, dengan resiko ia kapok transaksi denganku. Pilihan kedua: mengganti selisih harga itu. Tapi, dengan uang apa? ATM  saja cuma rp.95.000!


Lunglai rasanya tubuhku. Tapi…


“Sebentar, Bu,” kata Coki lagi, “rasanya…”


“Ya Allah,” ujar hatiku spontan, “kalau Engkau mudahkan aku mendapat tiket promo itu kembali, malam ini hamba mau tahajud yang lamaaa, sujud yang lamaaa….”


Aku sendiri kaget mendengar ucapanku. Bisikan yang keluar begitu saja tanpa dapat kuhentikan, tak urung membuatku terhenyak juga, malu.


“Nilai tahajudmu cuma kurang dari sejuta? Astaghfirullah… memangnya yang butuh tahajud panjang kamu apa Allah?”


Kepingin menangis rasanya. Kali ini bukan karena harga tiket yang sudah naik, tapi karena malu hati yang mendera. Dengan segala kasih sayangNya, untuk sujud panjang bersyukur saja harus dipaksa oleh insiden remeh seperti ini.


Sementara Coki browsing harga, peristiwa tiga tahun lalu di Balikpapan sekonyong-konyong terputar kembali di mata hatiku.


Kami sedang di pengajian. Ustadzah itu mempersilakan kami untuk bertanya apa saja


Tanyaku, “Bu, kenapa ya Rasulullah bilang di “Sesungguhnya nadzar hanyalah berfungsi agar orang yang pelit beramal mau untuk beramal.” Kalau pelit, kenapa nazar itu diperbolehkan ya Bu, sama Allah?”


Aku sendiri waktu itu belum pernah bernazar, cuma memang hobiku, bertanya apa-apa yang aku belum paham benar.


Ustadzahku dengan senyum manisnya menjawab, “Ya pelit dong, masa untuk beramal baik saja harus bernazar..”


Jawaban yang benar, tapi entah kenapa belum memuaskan hati dan akal primitifku.


Jawaban  konkretnya kini diberikan Allah di hadapanku, dengan diriku sebagai tokoh pelitnya.


Padahal bukan kebiasaanku, bernazar seperti itu. Tapi justru muncul secara jujur dari hati terdalamku ketika keadaan memaksa, berarti inilah sebenarnya diriku apa adanya.


Teringat status temanku, yang tak kuberi jempol tadi. Padahal, ternyata  aku memang menyimpan bibit Qorun itu..

. . . . .

Terimakasih teman, sudah mengingatkan.  Astaghfirullah Al Adzim. La haula wala quwwata illa billaaah. Semoga Allah tak marah, karena pelajarannya lagi-lagi sungguh indah.


“Bu, “ Coki berkata dari ujung telepon di sana, “Ternyata masih ada satu seat promo kelas R, harganya rp. 1.069.000. Confirm, Bu?”


Allah… rasanya suaraku bergetar ketika menjawabnya.

0 komentar:

Posting Komentar