Jumat, 15 Juli 2011

~~~DI LANGIT ASA (Part I)~~~

Syifa masih terpaku di atas sajadahnya meski telah mengakhiri sholatnya satu jam yang lalu dan tilawah pun telah usai dilakukannya. Wajahnya sembap oleh air mata yang tiada habis-habisnya mengairi. Ucapan Ummi Zakky saat liqo tadi sore masih terngiang terus di telinganya.

“Maafkan ana,” ujar Ummi Zakky di sesi qodoya. “Bukan ana diam saja. Bukan ana tidak melakukan apa pun. Tapi untuk saat ini, ana memang belum dapat menemukan ikhwan yang tepat bagi anti,” suara Ummi Zakky terdengar bergetar, tidak tegas dan mantap seperti biasanya. “Ana terus berusaha sebisa mungkin, terus berikhtiar mencarikan jodoh bagi anti. Bahkan ana selalu mengatakan bahwa usia anti sudah hampir memasuki 30 tahun. Jika masih harus menunggu lagi, usia anti pun akan terus bertambah, sedangkan anti adalah seorang wanita,” lanjut Ummi Zakky.

Syifa tak berpaling sedikit pun. Dalam setiap kata yang diucapkan Ummi Zakky, ia tahu persis seperti apa raut wajah Ummi Zakky. Juga pada nada suaranya yang sungguh tidak biasa terdengar. Di sudut mata Ummi Zakky, tampak butiran air yang menggenang hingga membuat mata Ummi Zakky terlihat berkaca-kaca. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat tidak biasa Ummi Zakky sampai seperti itu.

“Mungkin memang belum waktunya, Ummi,” sahut Syifa, berusaha sedikit membesarkan hati sang murobbiyah. “Jika Allah sudah menghendaki, jika memang sudah saatnya, pasti Allah akan memberi kemudahan. Ummi, ana percaya Ummi benar-benar berikhtiar untuk ana, dan ana sangat berterima kasih karenanya. Ana harap, ana tidak menjadi beban buat Ummi.”

“Insya Allah tidak. Hanya saja, ana sangat ingin melihat anti segera menikah seperti yang lainnya, bisa menyempurnakan separuh agama ini dan menyamai amalan ibadah mereka, juga bisa merasakan surga dunia ini,” kata Ummi Zakky.

Memang, di antara teman-teman satu halaqohnya, hanya Syifa yang belum menikah. Keenam teman-teman Syifa sudah menikah semua. Bahkan sudah ada yang memiliki 2 orang anak.

“Ana mengerti, Ummi.”

“Semoga anti tidak berputus asa. Kita sama-sama berikhtiar, semoga Allah segera mempertemukan anti dengan jodoh terbaik pilihan-Nya,” ujar Ummi Zakky, masih dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.

“Amin..,” suara Syifa terdengar lirih, ikut terhanyut dalam suasana yang mengharu biru.

Menikah. Siapa yang tidak ingin menikah. Siapa yang tidak ingin merasakan manisnya surga dunia itu. Menikah adalah kebutuhan fitrah setiap manusia. Bahkan Islam pun begitu mengagungkan sebuah pernikahan hingga di dalam Al-Qur’an disebut dengan Mitsaqan Ghalizha. Di dunia ini, impian terindah manusia adalah menikah dan membangun sebuah keluarga yang harmonis.

Air mata Syifa masih terus membasahi wajahnya. Mata Ummi Zakky yang berkaca-kaca tadi sore, masih terus terbayang. Kurang dari lima bulan lagi, usianya memang genap 30 tahun. Itu pasti sangat membebani Ummi Zakky.

“Ya, Allah…. Aku tak bermaksud membebaninya seperti ini. Aku tak bermaksud membuatnya sampai sesedih itu. Maafkanlah aku… ampunilah aku,” ujar Syifa merasa bersalah. Tiga tahun ini, sudah empat kali Syifa melakukan ta’aruf. Tiga kali melalui Ummi Zakky, dan satu kali melalui sahabatnya. Namun, keempatnya, tidak ada yang berlanjut sampai ke pernikahan. Semuanya hanya berhenti sampai di situ. Pada proses ta’aruf.

Syifa pun tak mengerti mengapa begitu. Mengapa tak ada yang melanjutkannya hingga proses pernikahan. Padahal jauh di lubuk hatinya, ia berharap semuanya akan berlanjut dan mengubah segenap kehidupannya. Entah apa yang membuat ikhwan-ikhwan itu begitu. Entah karena gelar sarjana yang telah disandangnya, atau karena usianya, atau karena hal lainnya. Syifa sungguh tak mengerti. Padahal Syifa merasa bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang guru sebuah SDIT. Keluarganya pun bukanlah keluarga yang terpandang.

Air mata Syifa kembali meleleh. Dari bibirnya kembali terurai seuntai doa.

“Ya Allah Yang Maha Tahu, dalam kebeningan matanya yang berkaca-kaca, ku mengerti getaran hatinya juga seuntai asa yang sama-sama aku dan ia miliki, ku mohon mudahkanlah jalan ini, ringankanlah langkah kaki ini. Dan air matanya dan air mataku yang mengalir ini, semoga merupakan jalan untuk menjemput kebahagiaan yang telah lama dinanti itu. Amin...”

Setelah puas menumpahkan seluruh isi hatinya, Syifa beranjak juga dari tempat sholatnya. Ia melirik jam dinding di kamarnya. Sudah hampir jam sembilan malam. Syifa tak menyangka telah menghabiskan waktu selama itu. Padahal rasanya hanya sebentar.

Syifa keluar dari kamarnya dengan mata yang sedikit bengkak. Ia terus ke kamar mandi dan membasuh mukanya sebentar. Mendengar di ruang tamu agak ramai, Syifa melangkah menuju ruang tamu. Di sana terlihat ibunya sedang mengajak bermain dengan anak sepupunya yang rumahnya tidak jauh dari rumah Syifa. Syifa urung menghampiri. Ia hanya memandangi ibunya dari balik tembok yang memisahkan ruang tengah dengan ruang tamu. Ibunya terlihat bahagia bermain dengan anak sepupunya yang baru berusia 9 bulan itu. Namun itu membuat hati Syifa perih seperti tertusuk-tusuk ribuan pisau. Ibunya pasti sudah sangat mendambakan kehadiran seorang cucu dari dirinya mengingat Syifa adalah anak pertama. Ibunya pasti berharap bocah kecil di gendongannya adalah cucu kandungnya.

Syifa menarik napas. Ibunya memang telah lama mengharapkan Syifa segera menikah. Tapi hingga usia Syifa hampir memasuki 30 tahun, Syifa masih belum juga menikah. Ibunya pasti sangat mencemaskannya.

“Sampai kapan kamu mau begini terus toh, Nduk?,” tanya ibunya di suatu sore saat sedang duduk bersama-sama. “Teman-temanmu, saudara-saudaramu, semua yang sepantaranmu sudah menikah. Apa kamu gak mau menyusul mereka?.”

Saat itu, tentu saja Syifa sedih mendengar perkataan ibunya itu. Tapi ia berusaha menyembunyikannya. Pada sang ibu tercinta, Syifa tetap tersenyum dengan tenangnya.

“Bu, umur, jodoh dan rezeki itu sudah ada yang menentukan,” jawab Syifa meski terdengar klise. “Allah yang menentukan semua itu. Termasuk jodoh Syifa. Ibu tak perlu khawatir. Jika saatnya nanti, Allah pasti mempertemukan Syifa dengannya. Dengan jodoh Syifa, Bu. Sekarang yang terpenting, kita sama-sama berdoa, Bu. Kita sama-sama berdoa, semoga Allah memberikan Syifa jodoh yang terbaik dan memudahkan jalan untuk menuju pernikahan,” lanjut Syifa. “Doakanlah Syifa, Bu. Doakan Syifa.”

Air mata Syifa yang tadi telah berhenti, kembali membasahi wajahnya. Ia terus memandangi ibunya diam-diam dari balik tembok.

Bunda…

Bukan ku tak melihat gurat kecemasan di wajahmu

Bukan ku tak mengerti seberkas asa yang terpancar di matamu

Bukan ku tak pahami keinginan yang terpendam di dalam hatimu

Aku melihatnya,

Aku mengerti,

Dan aku sangat memahaminya,

Bunda…

Andai kau tahu,

Aku pun sangat ingin

Sangat ingin menghilangkan gurat kecemasan di wajahmu itu

Sangat ingin memenuhi keinginanmu yang terpendam itu

Sangat ingin mengubah segala asa yang kau miliki itu menjadi nyata

Agar dirimu merasa tentram

Agar wajahmu tersenyum riang

Agar bahagia menyelimuti hatimu

Tapi bunda….

Maafkanlah aku,

Yang belum dapat menghilangkan kecemasan di wajahmu

Yang belum dapat memenuhi segala keinginanmu

Yang belum dapat mengubah segenap asa itu

Maafkanlah aku bunda…

Mungkin Allah punya rencana lain untukku

Mungkin Allah masih ingin aku tetap bersamamu

Mungkin Allah ingin aku lebih banyak belajar lagi

Mungkin aku masih harus banyak berbenah lagi

Dan mungkin….

Allah masih belum ingin mempertemukan aku dengannya

Bunda….

Tak ada yang dapat kita lakukan

Selain berikhtiar dan terus berdoa kepada-Nya

Menyerahkan segala urusan ini pada-Nya

Karena itu bunda…

Doakanlah aku selalu

Doakan aku dalam setiap sujudmu

Semoga asa itu menjadi nyata

Semoga segala keinginan itu terwujud segera

Amin…..ya Robbal ‘alamin….

0 komentar:

Posting Komentar