Jumat, 15 Juli 2011

####DUHAI PENDAMPINGKU####

Fajar tlah datang menyibak malam. Sang surya tlah bersiap menampakkan dirinya untuk menyinari bumi, menggantikan rembulan yang cahayanya kian memudar di ufuk barat. Dika duduk di sisi tempat tidur Yogie. Matanya menatap Yogie, tangannya menggenggam erat tangan Yogie. Sementara bibirnya menyenandungkan doa al’matsurat di pagi hari dengan suara pelan.

“Allahumma inni asbahtu minka, fi ni’matin wa ‘afiyatin wa sitri fa atimma ‘alayya ni’mataka wa ‘afiyataka wa sitroka fiddunya wal akhiroh,” ucap Dika hingga tiga kali dengan penuh keyakinan dari dalam hatinya.

Sudah sekitar 12 jam Yogie tak sadarkan diri. Matanya masih terus terpejam dengan kedua bibir yang masih saja mengatup. Dika menarik nafas. Doa robithoh baru saja selesai dilantunkannya. Ia berdiri dan melangkah menghampiri jendela yang masih tertutup rapat. Dibukanya gorden jendela lebar-lebar hingga sinar mentari pagi menyorot masuk ke dalam kamar.

Dika menatap keluar jendela seraya berusaha menghilangkan segala cemas di hatinya, melenyapkan segala gundah yang bersarang dalam dirinya. Dika berusaha untuk tetap yakin dan optimis tak kan terjadi apa-apa pada Yogie. ia percaya Yogie akan segara sadar dan kembali segar seperti sedia kala lalu menikah seperti yang diimpikannya selama ini. Dika percaya itu! Sangat percaya! Jika Dika sendiri tak percaya, bagaimana ia akan meyakinkan Yogie untuk tetap bertahan, meyakinkan Yogie untuk tidak menyerah pada penyakitnya, meyakinkan Yogie untuk terus menggapai mimpi dan citanya.

Ya! Dika harus tegar! Harus tetap kuat! Tak boleh menangis! Tak boleh bersedih! Ia harus tersenyum penuh optimis! Demi Yogie, adik yang sangat dicintainya.

“Gie, lihat, mentari di luar sana. Bersinar cerah, menerangi bumi. Bangunlah dan lihat sinar cerahnya yang indah? Bangunlah dan rasakan hangat cahayanya. Bangunlah, Gie. Bangun, seperti mentari yang menyembul dari balik awan lalu menghias indah langit biru yang membentang luas di angkasa. Bangunlah, Gie! Bangun dan bersinarlah dengan cerahnya. Bangun dan hangatkan kami semua dengan canda tawamu. Bangun dan hiasilah hari-hari kami dengan keceriaanmu kembali,” ujar Dika lirih sambil mengusap air mata yang meluncur di pipinya.

Dika melangkah kembali ke kursi di samping bangsal Yogie dan duduk di sana kembali. Lagi…dan lagi, ia menatap Yogie penuh cinta, penuh harap yang tiada terkira.

“Gie, teruslah berjuang. Kami semua di sini, masih di sini, menantimu sadar kembali. Kamu gak sendiri, Gie. Ada Kak Dika, ada Fisha, Ayah, Ibu, Bahrul dan juga….. Nisa. Nisa masih menunggumu untuk kamu nikahi. Bangunlah! Jangan buat ia bersedih karenamu. Bangunlah dan ikatlah ia dengan janji sucimu pada Rabb-mu,” bisik Dika meski mata Yogie masih saja terus terpejam. Dika tak menyerah, tak kenal menyerah. Ia terus saja mengajak Yogie bicara untuk meyakinkannya, untuk menguatkannya untuk terus bertahan hidup dan tak menyerah.

Terkadang Dika membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an lalu membacakan artinya. Terkadang Dika menceritakan kisah-kisah penuh perjuangan dari para sahabat Rasulullah. Terkadang pula Dika bernyanyi sendiri menyenandungkan nasyid-nasyid haroki yang penuh dengan semangat dan kebulatan tekad. Sedikit pun Dika tak menyerah agar Yogie pun tak menyerah. Sedikit pun ia tak putus asa meski tak ada perubahan yang berarti pada diri Yogie. Yogie masih terdiam membisu di dalam ruangan yang serba putih itu.

“Allahu akbar Allahu akbar…..,” suara azan terdengar berkumandang dari Masjid rumah sakit yang letaknya cukup jauh dari ruang tempat Yogie dirawat.

Dika melihat jam di layar handphone-nya. Sudah Zuhur rupanya. Detik-detik yang terasa berjalan dengan amat lama. Padahal, selama ini Dika merasakan kalau detik-detik waktu yang dilaluinya sangat cepat berjalan. Hingga terkadang, waktu selama 24 jam, tak cukup untuknya. Mungkin itu dikarenakan kesibukannya. Di rumah sakit itu, Dika tak banyak melakukan aktivitas hingga waktu pun terasa berjalan sangat lambat sekali.

“Allahu akbar….Allahu akbar,” suara azan masih terus berkumandang.

“Allahu akbar,” tiba-tiba terdengar suara yang sangat lemah menjawab azan.

Dika menoleh ke arah Yogie. Ia pun menatap dengan penuh takjub. Yogie membuka matanya. Ya! Yogie sudah sadar. Bahkan ia mendengar suara azan yang berkumandang dan menjawabnya meski ia masih teramat lemah.

“Subhanallah walhamdulillah walaa ilahaillallah wallahu akbar!,” seru Dika bersyukur melihat adik laki-lakinya sudah terbangun dari tidur panjangnya. Ia pun memeluk Yogie penuh haru. Lalu ditatapnya Yogie dalam-dalam.

“Gie, akhirnya kamu sadar juga. Akhirnya kamu bangun juga,” ujar Dika tersenyum namun masih dengan mata yang sembap.

“Memang tidurku lama banget ya, Kak?,” tanya Yogie dengan suara yang masih sangat lemah.

“Kamu gak sadarkan diri sejak Maghrib kemarin. Sampai-sampai kami semua cemas melihat keadaan kamu,” jawab Dika. Ia mengusap kening Yogie perlahan.

“Maaf, maaf sudah membuat kalian cemas. Maaf sudah membuat waktu Kakak tersita hanya untuk menjagaku. Maafkan aku, Kak,” ucap Yogie merasa bersalah.

Dika menggeleng.

“Kakak yang harusnya minta maaf sama kamu, Gie. Karena Kakak kamu jadi begini. Karena Kakak juga, semua orang jadi cemas padamu. Kalau saja Kakak ikut menemani kamu dan Ibu kemarin, kamu gak perlu merasa keletihan sampai akhirnya drop seperti ini.”

Yogie tersenyum.

“Jangan menyesali yang sudah terjadi, Kak. Ini bukan kesalahan, Kakak.”

“Tapi Kakak nyaris saja membuat rencana pernikahanmu dan Nisa berantakan, Gie,” potong Dika cepat.

Yogie kembali tersenyum.

“Kak, ingat, ada Allah yang Maha Memiliki rencana. Semua yang terjadi, pastilah sudah direncanakan-Nya. Jika ternyata aku harus mati sebelum sempat menikah dengan Nisa, maka itu memang sudah takdir yang digariskan Allah untukku,” sahut Yogie lagi. “Kak, sudahlah jangan menyesali diri terus. Lebih baik ceritakan padaku, bagaimana reaksi Nisa saat kondisiku drop,” sambungnya.

Mendengar ucapan adiknya, Dika tertawa kecil. Sedih yang tadi sekilas menggelayutinya pun sirna seketika.

“Hm….yang udah ngebet nikah! Baru sadar yang ditanya bukan orang tua dan saudara, tapi malah calon istri! Ck...ck… jangan-jangan selama gak sadar pun yang ada dalam alam bawah sadar kamu cuma Nisa aja!,” wajah Dika mulai ceria kembali.

Yogie menyengir.

“Kalau Ayah, Ibu, Kak Dika atau Nisa, aku sudah bisa membayangkan seperti apa cemasnya kalian. Tapi Nisa, gak terbayangkan sedikit pun.”

Dika kembali tertawa kecil.

“Wah, jadi sekarang lebih mengkhawatirkan Nisa ya?!,” ledek Dika.

“Sudah jawab saja!.”

Dika terdiam sejenak. Ia memperhatikan raut wajah Yogie yang sedang menanti jawabannya dengan penuh penasaran.

“Begitu mendengar kamu masuk rumah sakit, Nisa dan keluarganya langsung datang semalam. Ia sangat mencemaskan kamu. Setelah pulang pun ia beberapa kali menghubungi Kak Dika dan menanyakan keadaan kamu,” jawab Dika kemudian.

Yogie tersenyum mendengarnya.

“Hei, kok malah senyum-senyum?.”

“Ya, iyalah! Siapa yang gak senang dicemaskan sama calon istri. He..,” Yogie kembali menyengir. “Kak, aku ingin menikah dengannya, Kak. Sangat ingin. Aku ingin memiliki anak yang banyak dengannya dan membesarkan anak-anak kami bersama kelak,” sambung Yogie kemudian. Kali ini dengan mimic wajah yang serius.

Dika tersenyum.

“Insya Allah, kamu pasti bisa, Gie. Kamu pasti bisa! Insya Allah, kamu dan Nisa akan menikah dan memiliki banyak anak. Lalu membesarkan anak-anak bersama hingga mereka dewasa dan memberikanmu banyak cucu,” sahut Dika berusaha menyemangati. “Karena itu, kamu harus kuat, kamu harus terus berjuang menghadapi penyakit kamu. Jangan menyerah sedikit pun sambil terus memohon kesembuhan pada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”
Yogie mengangguk. Lalu ia menggamit tangan Dika perlahan.

“Kak, kita shalat dulu. Tolong bantu aku ya..,” pinta Yogie pada kakak satu-satunya itu.

Dika pun menuruti Yogie. Ia membantu Yogie untuk duduk dan membantunya bertayamum. Lalu kedua kakak beradik itu pun shalat berjama’ah di dalam ruangan yang terasa sungguh tak nyaman itu meski ruangan itu bersih dan ber-AC.


*****




Hari itu, Sabtu 7 Agustus 2010, pemandangan yang tak seperti biasanya terjadi di rumah sakit tempat Yogie dirawat. Hari itu, Yogie dengan dibantu kedua orang tua dan kedua saudaranya tengah bersiap untuk keluar dari rumah sakit. Namun pulangnya Yogie hari itu, bukan untuk pulang ke rumahnya, tapi untuk ke rumah Nisa dan melangsungkan akad nikah dengan wanita yang telah dipinangnya itu.

Yogie telah siap dengan setelan baju pengantin berwarna putih dan celana putih beserta dengan kopiah putihnya. Dengan kondisi masih lemah, ia keluar dari ruangan perawatannya menggunakan sebuah kursi roda. Dika mendorong kursi rodanya di belakang.

Sementara itu, sepanjang perjalanan dari ruang perawatan hingga ke pelataran rumah sakit, Yogie dilepas dengan ucapan selamat dan doa dari para dokter, perawat maupun pasien rumah sakit yang sudah mengetahui hari itu ia akan melangsungkan pernikahannya. Sungguh, suasana yang membahagiakan dan sangat tak biasa bagi seorang pasien di rumah sakit.

Dari rumah sakit, Yogie dan keluarganya langsung berangkat menuju rumah Nisa dengan menggunakan sebuah mobil Avanza hitam milik perusahaan tempat Pak Yusuf bekerja. Sementara beberapa sanak saudara dan teman Yogie yang akan turut menghadiri acara pernikahannya, telah lebih dahulu berangkat ke rumah Nisa dan menunggu di sana.

Mereka tiba di rumah Nisa setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam dari rumah sakit. Setibanya di rumah Nisa, semua orang telah menunggu Yogie di sana. Mereka semua menyambut Yogie dengan suka cita. Suka cita yang tidak biasa tentunya. Tak biasa karena sang mempelai laki-laki yang baru saja keluar dari rumah sakit dan hampir saja acara pernikahannya batal. Sehingga manakala mempelai laki-laki dapat hadir dan tetap melanjutkan rencana semula, mereka semua sangat bersyukur karenanya.

Tanpa menunda-nunda lagi, acara yang pernikahan Yogie dan Nisa pun dimulai. Yogie duduk di panggung kecil yang akan digunakan sebagai tempat pelaminan. Di hadapannya, Pak Hamzah, ayah Nisa duduk dengan didampingi seorang penghulu dan saksi. Sementara Pak Yusuf dan Bu Renna duduk di samping Yogie. Di samping Bu Renna, Fisha duduk dengan manisnya. Sedangkan Dika sibuk mengabadikan acara yang sangat bersejarah bagi adiknya itu dengan kamera digitalnya.

Acara pagi itu dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Lalu dilanjutkan dengan sambutan dari kedua keluarga dan dari penghulu. Setelah itu barulah acara akad nikah dilaksanakan. Yogie dan Pak Hamzah saling berjabatan tangan dan mengucapkan ijab qabul. Sementara dari dalam kamarnya, Nisa dengan didampingi Bu Siti, ibunya, mengikuti dengan penuh khusuk. Usai ijab qabul, Bu Siti membawa Nisa keluar dari kamarnya dan menyandingkannya dengan Yogie.

Pagi itu, Yogie memberikan mahar sebuah cincin emas putih yang berukirkan namanya. Yogie pun memakaikannya di jari manis Nisa dengan hati berdebar tak karuan sehingga wajahnya memerah. Orang-orang yang melihatnya pun riuh menyorakinya dan menggodanya. Setelah menyelipkan cincin di jari Nisa, tanpa diduga, Yogie memberikan sebuah kejutan bagi Nisa. Tiba-tiba ia melantunkan surat Ar-Rahman dengan begitu syahdunya sebagai hadiah untuk Nisa dan sebagai ungkapan rasa syukurnya pada Sang Maha Cinta yang dengan cinta-Nya akhirnya Yogie dapat mewujudkan mimpinya untuk menikah. Apalagi ia sempat drop dan masuk rumah sakit selama beberapa hari menjelang hari pernikahannya.

Suasana di tempat itu pun kembali sunyi senyap. Semua yang hadir menyimak lantunan surat yang dibacakan Yogie dengan berbagai perasaan yang melebur menjadi satu. Ada bahagia, haru, syukur yang tiada terkira. Hingga gerimis pun turun membasahi para hadirin.

Usai membacakan surat Ar-Rahman, ternyata Nisa tak mau kalah dengan Yogie. Ia juga memberikan sebuah kejutan bagi Yogie dan semua orang yang hadir.

“Di hari yang berbahagia ini, izinkanlah aku turut memberikan sebuah hadiah untuk suamiku tercinta,” ujar Nisa tiba-tiba. “Waktu itu, akhi Bahrul memberikan sebuah naskah padaku. Setelah ku baca, naskah tersebut sangat bagus dan penuh makna hidup. Akhirnya ku kirimkan naskah tersebut ke sebuah majalah nasional atas nama si penulis. Dan alhamdulillah, naskah tersebut diterbitkan. Naskah tersebut ditulis oleh suamiku tercinta,” sambung Nisa.

Seorang kakak Nisa tampak mendekat dan memberikan sebuah majalah pada Nisa. Nisa segera membuka sebuah halaman di majalah itu yang berisi artikel naskah yang dimaksudnya tadi. Ia memperlihatkannya pada Yogie dan para hadirin.

“Ini dia majalahnya, dimuat di edisi minggu ini. Semoga ini menjadi hadiah yang sangat berharga untukmu. Dan semoga hadiahnya nanti, dapat dipergunakan untuk bulan madu kita berdua,” ujar Nisa dengan raut wajah yang tersipu malu. Lalu diberikannya majalah itu pada Yogie yang diiringi dengan tepuk tangan hadirin yang menyaksikan acara pernikahan mereka.

Setelah acara akad nikah selesai, seperti janjinya, Bahrul pun menyanyikan sebuah lagu untuk Yogie dan Nisa di hari pernikahan mereka itu. Sebuah lagu yang begitu syahdu dan romantis milik Edcoustic yang berjudul “Duhai Pendampingku.”

Di hatimu tersimpan cinta yang suci
Serta mendalam pernikahan dari beda dunia
Meski kau terbiasa hidup tanpa perih
Namun kau ikhlas hidup bersahaja
Namun bahagia

Duhai pendampingku
Akhlakmu permata bagiku
Buat aku makin cinta
Tetapkan selalu janji awal kita bersatu

Maafkan aku jika tak bisa sempurna
Karena ku bukan lelaki yang turun dari surga
Ketulusan hatimu anugrah hidupku
Doakan langkah kita tak berpisah
Untuk selamanya….


*****


Dua bocah laki dan perempuan yang sejak tadi asik bermain pasir di pantai, tiba-tiba berlari menuju kedua orang tuanya yang duduk menyaksikan mereka dari jarak beberapa meter.

“Ummi…Abi…,” teriak si bocah perempuan memanggil kedua orang tuanya. Bocah perempuan itu berusia sekitar 2 tahun. Sedangkan sang kakak berusia sekitar 4 tahun.

“Ummi, serokan pasirnya mana?,” tanya si bocah perempuan pada sang ibu. Sang ibu tersenyum dan mengambilkan 2 buah serokan pasir mainan dari dalam plastik yang tergeletak di dekatnya. Sang ibu segera memberikan serokan pasir itu pada kedua anaknya. Setelah mendapatkan apa yan diinginkan, kedua bocah itu kembali berlari ke tempatnya bermain pasir tadi.

“Hafizh, Khansa, jangan dekat-dekat ke laut ya..,” pesan sang ayah setengah berteriak.

Kedua bocah itu hanya berbalik badan sesaat sambil menganggukkan kepala.

“Gak terasa ya, sudah 5 tahun kita menikah. Dan kita sudah punya dua jundi yang lucu dan hebat,” ujar Yogie seraya menatap penuh bahagia pada kedua anaknya.

“Iya. Padahal seperti baru kemarin kita menikah,” sahut Nisa tak kalah bahagianya. “Masih ingat, waktu itu Abi memberi Ummi hadiah surat Ar-Rahman,” Nisa bernostalgia. “Di pernikahan kita hari ini, Ummi ingin memberikan hadiah buat Abi.”

“Hadiah? Apa?,” tanya Yogie penasaran.

“Sebuah puisi!,” Nisa tersenyum dan tersipu. Lalu ia pun membacakan sebuah puisi untuk Yogie.

“cinta adam dipersembahkan bagi hawa
rindu adam dilabuhkan untuk hawa
Allah ciptakan hawa dari tulang rusuk adam...
tuk jadi belahan jiwanya
tuk jadi bidadari di hidupnya
agar tiada lagi sendiri
agar dapat rasakan cinta
yang dianugrahkan Maha cinta

cintaku ku persembahkan bagi pemilik tulang rusukku
rinduku ku labuhkan bagi mujahidku
sang belahan jiwaku
yang tlah jadikan ku bidadari di hidupnya
agar ku tiada lagi sendri
agar dapat rasakan cinta
yang dianugrahkan Maha cinta.”

Yogie tersenyum mendengar uraian bait puisi Nisa.

“Wah, ternyata Ummi puitis juga!,” puji Yogie pada Nisa.

“Iya donk! Emangnya Abi!,” sahut Nisa.

“Eits! Abi juga punya hadiah lho buat Ummi,” kata Yogie tak mau kalah.

“Apa?,” kali ini Nisa yang penasaran.

“Sebuah lagu khusus buat Ummi,” jawab Yogie cepat. “Mungkin suara Abi gak semerdu suara Bahrul, tapi Abi yakin, lagu Abi lebih dapat menghayati lagu ini dari pada Bahrul,” sambungnya.

Yogie diam sejenak. Ia menarik nafas perlahan. Tak lama, dari bibirnya terdengar sebuah lagu yang 5 tahun lalu pernah dinyanyikan Bahrul di hari pernikahannya. Sebuah lagu milik Edcoustic, “Duhai Pendampingku.”

Di hatimu tersimpan cinta yang suci
Serta mendalam pernikahan dari beda dunia
Meski kau terbiasa hidup tanpa perih
Namun kau ikhlas hidup bersahaja
Namun bahagia

Duhai pendampingku
Akhlakmu permata bagiku
Buat aku makin cinta
Tetapkan selalu janji awal kita bersatu

Maafkan aku jika tak bisa sempurna
Karena ku bukan lelaki yang turun dari surga
Ketulusan hatimu anugrah hidupku
Doakan langkah kita tak berpisah
Untuk selamanya….


***TAMAT***

0 komentar:

Posting Komentar