Jumat, 15 Juli 2011

~~ DI LANGIT ASA (Part II) ~~

Senja telah menyapa. Matahari memancarkan sinar dengan terangnya di ufuk Barat. Seharian ini langit memang terlihat cerah. Sedikitpun tak ada awan mendung yang memayungi meski tiga hari lagi Oktober berakhir dan musim penghujan kan segera datang. Mungkin ini yang disebut pemanasan global dimana terjadi perubahan iklim dan cuaca menjadi tidak menentu. Sehingga, tahun ini pun seolah tidak ada musim kemarau. Karena musim kemarau yang seharusnya panas berkepanjangan, musim kemarau tahun ini hujan terus saja mengguyur hampir setiap hari.

Syifa menepikan motornya dan berhenti tepat di depan sebuah tempat yang melayani cetak spanduk, poster maupun undangan.

“Di sini tempatnya?,” tanya Nita, teman seprofesi Syifa di tempatnya mengajar setelah turun dari motor.

Syifa hanya mengangguk seraya tersenyum.

“Yuk, masuk,” ajak Syifa kemudian.

Keduanya pun masuk ke dalam.

“Assalamu’alaikum…,” salam Syifa menyapa orang-orang yang berada di dalam tempat percetakan itu.

“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka semua hangat. Apalagi begitu tahu yang datang adalah Syifa. Syifa memang sudah kenal baik dengan pemilik dan pekerja di tempat percetakan itu.

Seorang ibu muda tampak menghampiri Syifa dengan penuh senyuman.

“Sehat, Fa?,” tanyanya begitu tangannya erat menyalami Syifa.

“Alhamdulillah sehat, Mbak,” jawab Syifa tidak kalah hangatnya.

Ibu muda yang dipanggil mbak itu adalah teman baik Syifa. Usianya sekitar 3 tahun di atas Syifa dan telah memiliki 2 orang putri. Suaminya adalah pemilik percetakan tersebut. Namanya Retno. Sesuai namanya, tentu saja Retno berasal dari suku Jawa. Tepatnya lagi Solo, Jawa Tengah.

“Baru pulang ngajar, Fa?,” tanya Retno lagi.

“Iya, Mbak.”

“Sekedar main atau memang ada perlu?.”

Syifa tersenyum dan melirik Nita yang datang bersamanya.

“Kenalkan ini temanku, Mbak. Namanya Nita,” ujar Syifa memperkenalkan Nita pada Retno.

Retno dan Nita pun bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing.

“Nita ini insya Allah gak lama lagi akan walimah, Mbak. Nah, maksud kami ke sini, ya sudah tentu untuk mencetak undangan walimah Nita,” urai Syifa pada Retno.

“Oh, begitu. Alhamdulillah,” sahut Retno mendengar ikut senang mendengar kabar gembira itu.

Retno pun mempersilahkan Syifa dan Nita duduk. Lalu ia melangkah menuju sebuah lemari kayu bercat hitam dan mengambil 2 buah album. Tak lama kemudian ia pun kembali menemui Syifa dan Nita.

“Ini ada beberapa contoh undangan beserta harga per lembarnya. Silahkan dilihat dan dipilih-pilih sampai menemukan mana yang cocok,” ujar Retno seraya memberikan 2 buah album yang dibawanya pada Nita.

Nita mengambil album itu dan mulai mencari-cari undangan yang hendak dipesannya untuk acara walimahnya nanti. Syifa yang duduk di samping Nita ikut melihat-lihat contoh-contoh undangan yang ada di dalam album. Sesekali ia memberikan pendapatnya tentang undangan-undangan yang sedang dilihatnya bersama Nita. Sedangkan Retno duduk di samping Nita sambil memberikan beberapa keterangan terkait dengan contoh-contoh undangan miliknya itu.

Sambil melihat-lihat undangan, diam-diam Syifa memperhatikan raut wajah Nita yang garis wajahnya terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Ada rona kebahagiaan terpancar di sana. Kebahagiaan yang kini sedang menyelimuti ruang-ruang hati Nita. Begitu indah, begitu mempesona. Membuat Syifa iri melihatnya. Ya! Iri! Sangat iri dengan semua yang dirasakan Nita, dengan semua yang terjadi dalam hidup Nita saat ini. Syifa sangat iri dengan sahabatnya itu. Iri karena di usianya yang hampir menginjak 30 tahun, ia belum bisa menggapai semua yang Nita gapai itu. Padahal usia Nita berada 5 tahun di bawahnya.

“Huf!,” Syifa menarik napas.

Retno menoleh ke arah Syifa dan tersenyum melihatnya.

“Fa, bisa kita bicara sebentar?,” tanya Retno mengalihkan perhatian Syifa dan Nita sejenak.

Syifa sedikit terkejut mendengarnya.

“Oh.. iya, Mbak. Bisa,” jawabnya singkat.

“Afwan, ditinggal sebentar ya, Nit,” ujar Retno berpamitan pada Nita sebentar.

Nita hanya mengangguk dan tersenyum mengiyakan.

Retno dan Syifa pun beranjak dari hadapan Nita. Retno membawa ke sebuah ruangan yang kecil dan tidak ada orang di sana.

“Ada apa, Mbak?,” tanya Syifa tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya.

“Ehmmm…. Nggak ada apa-apa. Mbak cuma mau tanya, apa saat ini kamu sedang proses?,” Retno mengajukan pertanyaan yang sangat tidak biasa bagi Syifa. Syifa pun dibuatnya sedikit curiga.

“Nggak, Mbak. Aku lagi gak sedang proses dengan siapa pun kok,” jawab Syifa sambil menerka-nerka arah pembicaraan Retno selanjutnya.

“Jadi saat ini kamu masih dalam masa penantian?,” Retno sepertinya hendak menegaskan jawaban Syifa.

“Iya, Mbak. Memangnya ada apa? Mbak punya rekomendasi ikhwan yang sudah siap menikah?,” Syifa berbalik bertanya.

Retno tersenyum tipis.

“Gak ada sih. Cuma Mbak beberapa waktu yang lalu bertemu sama teman lama dan ternyata binaannya bisa dibilang sudah cukup matang untuk menikah. Kalau kamu mau, berikan data dan foto kamu. Insya Allah nanti Mbak sampaikan pada teman Mbak itu untuk diproses dengan salah satu binaannya,” jawab Retno menjelaskan.
“Bagaimana?.”

“Ehmm… boleh, Mbak. Ya, siapa tahu aja jodoh. Namanya juga ikhtiar,” jawab SYifa cepat.

“Ya, semoga saja.”

“Amiin…,” sahut Syifa mengaminkan. “Kalau begitu, besok atau lusa insya Allah nanti aku kasih data dan foto aku ke Mbak,” sambung Syifa.
Retno tersenyum mendengarnya.

“Alhamdulillah…,” bisik Syifa di dalam hatinya. “Semoga memang ini jalannya. Jalan yang Kau berikan untukku menggapai surga duniaku, jalan yang Kau tunjukkan untukku berjumpa dengan mujahidku, ya Rabb,” doa Syifa kemudian. Doa dari lubuk hati yang sudah sangat merindu. Doa dari jiwa yang sudah sangat mendamba.

Dia….
Entah siapa namanya
Entah seperti apa rupanya
Tak terlintas sedikitpun
Tak terbayang segorespun
Tak ada yang tahu
Tak ada yang dapat menduga
Hanya Rabb-ku yang mengetahuinya
Rabb-ku pula yang masih merahasiakannya
Menyimpannya di balik tabir kehidupan
Karenanya…
Hanya pada-Nya aku memohon
Hanya pada-Nya aku bermunajat
Hanya pada-Nya ku gantungkan segenap asaku
Siapa pun namanya
Seperti apapun rupanya
Berikanlah yang terbaik bagi diri yang rapuh ini
Dia yang mencintai-Mu di atas segalanya
Dia yang selalu berjuang di jalan-Mu
Dia yang rupawan karena kesolehannya
Dia yang mempesona karena akhlaknya
Dia…
Siapa pun dia
Pertemukanlah aku dengannya
Dalam mahligai indah penuh barakah
Amin allahumma amin…

0 komentar:

Posting Komentar